2. Pembersihan Institusi Politik
Bani Mushtaliq
a. Peperangan (perang ini disebut juga dengan perang
Muraisi’)
Rasulullah Saw.
menerima informasi bahwa Bani Mushtaliq bersatu untuk melawan beliau. Mereka
dikomandoi oleh Harits bin Dhirar. Setelah Rasulullah Saw. mengetahui rencana
mereka, pada bulan Sya’ban tahun keenam Hijriyah, beliau pergi pada mereka,
sampai akhirnya beliau bertemu mereka di mata air yang bernama al-Muraisi’ dari
arah Qadid ke as-Sahil.
Di tempat ini kedua
belah pihak saling serang dan bertempur hingga akhirnya Allah mengalahkan Bani
Mushtaliq. Banyak dari pihak Bani Mushtaliq yang tewas.
Selanjutnya Rasulullah
Saw. menguasai
anak-anak mereka, para istri mereka dan harta benda mereka. Allah memberikan
semua itu kepada Rasulullah Saw. sebagai harta rampasan perang (fay’i).
b. Kejadian-kejadian penting
Sungguh, dalam
peperangan ini telah terjadi peristiwa-peristiwa penting, yang tidak
terpisahkan dari perjalanan peperangan ini, di antaranya:
1. Api fitnah
Ketika Rasulullah Saw.
sedang berada di mata air, setelah berhasil mengatasi musuhnya, orang-orang pun
berdatangan. Umar bin Khaththab datang bersama Jahjah bin Mas’ud dari Bani
Ghifar yang dipekerjakan sebagai penuntun kuda Umar. Di mata air ini Jahjah berdesak-desakan
dengan Sir bin Wabar al-Juhni, lalu keduanya bertengkar. Al-Juhni teriak,
“Wahai orang-orang Anshar!” Sedang Jahjah berteriak, “Wahai orang-orang
Muhajirin!”
Melihat kejadian itu,
Abdullah bin Ubay bin Salul -yang ketika itu bersama sekelompok orang di antara
kaumnya, termasuk di antara mereka Zaid bin Arqam yang masih muda belia- marah,
lalu berkata, “Lihat apa yang mereka lakukan! Mereka sok kuasa dan meremehkan
kita di negeri kita sendiri. Demi Allah, kita tidak rela menjadi bawahan
gembel-gembel Quraisy ini (Julukan bagi orang-orang Islam dari kalangan
Muhajirin. Kaum Musyrikin menjuluki mereka dengan julukan gembel-gembel
Quraisy.), namun seperti perkataan orang-orang tua dulu, “Gemukkan anjingmu,
niscaya ia memakanmu.” Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, maka
orang-orang mulia pasti akan mengusir orang-orang hina ini dari Madinah.”
Abdullah bin Ubay bin
Salul menghadap kepada orang-orang di antara kaumnya yang berada di tempat itu,
lalu berkata, “Inilah hasil dari perbuatan kalian sendiri. Kalian tempatkan
mereka di negeri kalian, dan membagi harta benda kalian dengan mereka. Demi Allah,
seandainya kalian tidak memberikan apapun yang kalian miliki kepada mereka,
niscaya mereka pasti telah pergi meninggalkan negeri kalian.”
Ucapan Abudullah bin
Ubay bin Salul didengar oleh Zaid bin Arqam. Kemudian, Zaid pun pergi kepada
Rasulullah Saw. guna memberitahukan apa yang ia dengar. Ketika itu Rasulullah
Saw. ditemani Umar bin Khaththab. Umar berkata, “Kirimlah Abbad bin Bisyir untuk
membunuhnya!” Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika itu dilakukan, apa kata
orang nanti wahai Umar, orang akan mengatakan, “Lihat itu Muhammad membunuh
sahabat-sahabatnya sendiri.” Tidak! Wahai Umar, namun umumkan pada mereka agar
kembali ke Madinah.” Peristiwa itu terjadi pada saat Rasulullah Saw. belum
kembali ke Madinah, sedang orang-orang telah kembali ke Madinah.
Abdullah bin Ubay bin
Salul pergi menghadap Rasulullah Saw., setelah mengetahui bahwa Zaid bin Arqam
melaporkan apa yang telah didengarnya kepada Rasulullah Saw. Di depan
Rasulullah Saw. Abdullah bin Ubay bin Salul bersumpah atas nama Allah, “Aku
tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Zaid, sungguh aku tidak pernah
mengatakannya.”
Di tengah-tengah
kaumnya, Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh yang diagungkan. Sehingga
salah seorang di antara sahabat dari kaum Anshar yang ketika itu bersama
Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Rasulullah, bisa jadi pemuda itu (Zaid) salah
dalam ucapannya, sebab ia tidak hafal apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay bin
Salul.” Dia berkata yang demikian itu karena rasa simpatik kepada Abdullah bin
Ubay bin Salul, dan untuk membelanya.
Ketika Rasulullah Saw.
dalam perjalanan pulang menuju Madinah, beliau bertemu dengan Usaid bin
Hudhair, lalu Usaid mengucapkan salam kenabian kepada beliau, dan ia berkata:
“Wahai Nabi Allah, demi Allah, tampaknya engkau pergi dalam kondisi yang tidak
menyenangkan. Sebab aku tahu bahwa engkau belum pernah pergi dalam kondisi
seperti ini sebelumnya.” Rasulullah Saw. bersabda: “Apakah kamu belum mendengar
apa yang dikatakan sahabat kalian?“ “Sahabat yang mana, wahai Rasulullah?”
tanya Usaid. Rasulullah Saw. bersabda: “Abdullah bin Ubay bin Salul.” Usaid
bertanya, “Apa yang ia katakan?” Rasulullah Saw. bersabda: “Katanya, jika telah
kembali ke Madinah, maka orang-orang mulia pasti akan mengusir orang-orang hina
dari Madinah.” Usaid berkata, “Engkaulah yang akan mengusirnya jika engkau mau,
wahai Rasulullab. Sebab, dialah sebenarnya yang hina, sedang engkau yang
mulia.”
Kemudian Usaid berkata
lagi, “Wahai Rasulullah, perlakukan ia dengan lemah-lembut. Sebab, demi Allah,
pada saat engkau datang kepada kami, kaumnya berkumpul meminta ketegaran
sikapnya, karena ia memandang bahwa engkau telah merampas kekuasaannya.”
Kemudian Rasulullah
Saw. meneruskan perjalanannya bersama kaum Muslimin.
Mereka terus berjalan sejak siang hingga malam, dari malam sampai pagi, dan
mereka terus berjalan ketika memasuki hari berikutnya hingga panasnya sinar
matahari terasa menyengat mereka. Kemudian, beliau meminta mereka berhenti
untuk istirahat.
Tidak lama mereka
istirahat, mereka pun mengantuk dan tertidur. Apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw. ini tidak lain kecuali agar mereka melupakan ucapan Abdullah
bin Ubay bin Salul yang diucapkannya kemarin. Dengan sikap dan tindakan yang
amat sangat bijak ini Rasulullah Saw. hendak mengubur fitnah sedalam-dalamnya.
Dan turunlah “Surat
al-Munafiqun” terkait dengan Abdullah bin Ubay bin Salul dan yang sejenisnya.
Ketika surat ini turun, Rasulullah Saw. memegang telinga Zaid bin Arqam, lalu
beliau bersabda: “Orang inilah yang menepati janjinya kepada Allah melalui telinganya.”
Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar perkara yang terjadi tentang
ayahnya. Lalu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendengar bahwa engkau hendak
membunuh Abdullah bin Salul, sebab ucapannya yang telah engkau dengar itu. Jika
engkau benar-benar akan melakukannya, maka perintahlah aku untuk menjalankan
tugas itu, sebab pasti aku akan membawa kepalanya kepadamu. Demi Allah,
orang-orang Khazraj tahu betul bahwa di kalangan mereka tidak ada anak yang
lebih berbakti kepada orangtuanya daripada aku. Aku khawatir engkau menyuruh
orang lain untuk membunuhnya. Jika itu yang terjadi, maka jangan biarkan aku
melihat orang yang telah membunuh Abdullah bin Salul berjalan di tengah-tengah
manusia, sebab pasti aku membunuhnya. Sehingga, akhirnya ada seorang (mukmin)
yang membunuh orang Mukmin (juga) karena membela orang kafir, yang
menjadikannya masuk Neraka.” Lalu, Rasulullah Saw. bersabda: “Namun yang kita
lakukan justru sebaliknya, kita akan bersikap lembut dan bersahabat baik
dengannya selama ia masih bersama kita.”
Tidak lama setelah
kejadian itu, Abdullah bin Ubay bin Salul tiba-tiba melakukan kesalahan,
sehingga kaumnya sendiri yang mengecam, menghukum, dan memarahinya. Ketika
masalah Abdullah bin Ubay bin Salul dan kaumnya ini sampai pada Rasulullah
Saw., beliau bersabda kepada Umar bin Khaththab: “Bagaimana pendapatmu, hai
Umar? Demi Allah, kalau saja aku membunuhnya pada hari engkau menyuruhku
membunuhnya, niscaya dengan membunuhnya ketika itu akan terjadi goncangan yang
dahsyat. Kalau saja sekarang aku disuruh membunuhnya, niscaya aku pasti
membunuhnya.” Umar bin Khaththab berkata: “Demi Allah, aku benar-benar tahu
bahwa perintah Rasulullah Saw. lebih besar keberkahannya daripada perintahku.”
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar