e. Shulhu al-Hudaibiyyah
(Penjanjian Damai Hudaibiyah)
1. Sebab-sebab Diadakannya
Perjanjian ini
Telah sampai berita
kepada Rasulullah Saw. bahwa persekutuan militer telah diadakan antara kaum
kafir Quraisy di wilayah selatan Madinah al-Munawwarah dan Khaibar di wilayah
utaranya. Tujuan dari diadakannya persekutuan ini adalah untuk menjadikan
Negara Islam di Madinah al-Munawwarah berada di antara dua ujung catut
(penjepit), kemudian secara bersamaan kedua kekuatan ujung catut menjepit
(menyerang) Negara Islam di Madinah al-Munawwarah, sehingga berakhirlah
keberadaan Islam di Madinah.
Setelah Rasulullah
Saw. merasa tidak mampu menghancurkan persekutuan militer itu dengan
konfrontasi bersenjata,
Rasulullah Saw. berpikir untuk menghancurkannya melalui politik. Untuk itu,
Rasulullah Saw. harus memperhatikan hal berikut:
Dalam pandangan bangsa
Arab seluruhnya bahwa Ka’bah bukanlah milik kaum kafir Quraisy, tetapi ia
merupakan peninggalan nenek moyang mereka, Ismail. Dengan demikian kaum kafir
Quraisy tidak berhak sekehendaknya mencegah dan membolehkan siapa saja yang berkeinginan
mengunjungi Ka’bah. Inilah kebenaran yang tidak diperselisihkan lagi di
kalangan bangsa Arab dan di kalangan kaum kafir Quraisy itu sendiri. Sehingga
izin mengunjungi Ka’bah termasuk hak yang dimiliki oleh Muhammad dan para
sahabatnya. Rasulullah Saw. berpikir, jika beliau bertekad untuk melakukan
kunjungan ini dan pergi menuju Ka'bah, maka tidak bisa tidak pasti menghadapi
salah satu dari tiga kemungkinan:
Kemungkinan pertama: Kaum kafir Quraisy akan
mencegah beliau dengan kekuatan agar beliau tidak memasuki Makkah dan tidak
mengunjungi Ka’bah. Mengingat telah terjadi pertumpahan darah antara keduanya
(kaum kafir Quraisy dan kaum Yahudi Khaibar) dengan pihak Rasulullah Saw. Akan
tetapi, kaum kafir Quraisy sekali-kali tidak akan berani melakukan tindakan
karena dua hal:
Pertama, tindakan seperti itu akan
membangkitkan keturunan bangsa Arab untuk melawan kaum kafir Quraisy, sebab
kaum kafir Quraisy telah menghalangi orang yang ingin mengagungkan Ka’bah yang
mereka agungkan. Jika kaum kafir Quraisy berani melakukan tindakan ini, maka
pasti menguntungkan Negara Islam, sebab barisan bangsa Arab yang memusuhi
Negara Islam akan terpecah-belah. Sehingga untuk melakukan tindakan seperti itu
kaum kafir Quraisy harus berpikir panjang terlebih dahulu.
Kedua, keberadaan Negara Islam di Jazirah Arab
telah kuat, sehingga ditakuti oleh suku-suku bangsa Arab, sedang kaum kafir
Quraisy tahu persis tentang kenyataan ini. Untuk itu, kaum kafir Quraisy
sekali-kali tidak akan bertindak sembrono yang akan menyeretnya masuk ke dalam
peperangan dengan Negara Islam.
Kemungkinan kedua: Kaum kafir Quraisy
membolehkan Rasulullah dan para sahabatnya memasuki Makkah, namun harga diri
dan kehormatan bangsa Arab pasti menolak hal itu, sebab bagaimana mungkin
membiarkan sang pembunuh dengan bebas dan aman menginjakkan kakinya di wilayah
orang yang dibunuhnya, apalagi memberinya perlindungan?! Atas dasar dugaan
belaka bahwa kaum kafir Quraisy akan mengabaikan itu semua, dan membolehkan
Muhammad dan para sahabatnya memasuki Makkah, namun siapa yang akan menjamin
tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (pembunuhan) ketika orang yang
membunuh ayah dan saudaranya terlihat aman dan bebas melangkah di hadapannya?!
Jika terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (pembunuhan), maka hal itu sekali-kali tidak akan
menguntungkan kaum kafir Quraisy, sebab akan tersebar di antara bangsa Arab
bahwa kaum kafir Quraisy membunuh di tanah haram orang yang datang untuk
mengagungkan Ka’bah, sehingga itu akan menjadi isu yang dampak buruknya sangat
besar bagi kaum kafir Quraisy.
Kemungkinan ketiga: Kaum kafir Quraisy akan
menawarkan kepada Rasulullah Saw. untuk kembali dan tidak memasuki Makkah.
Dalam kondisi yang demikian, beliau sekali-kali tidak akan kembali, kecuali
dipenuhinya beberapa syarat yang beliau tentukan. Sedang kaum kafir Quraisy pasti
setuju dengan apa yang diinginkan Rasulullah, sebab mereka khawatir dan tidak
ingin terjadi salah satu dari dua kemungkinan di atas. Sehingga, apapun yang
terjadi, yakni yang manapun dari ketiga kemungkinan itu yang terjadi, maka
Negara Islamlah yang tetap diuntungkan jika dilihat dari sudut pandang politik.
2. Pergi Umrah
Untuk itu, Rasulullah
Saw. mengumumkan bahwa beliau hendak pergi Umrah. Orang-orang pun berkumpul dan
beliau pergi bersama mereka ke Hudaibiyyah. Sehingga terjadilah kemungkinan
ketiga. Perjanjian genjatan senjata (damai) Hudaibiyyah yang diadakan antara
kaum kafir Quraisy dan Negara Islam telah selesai, sedang bentuknya sudah
dikenal dalam sirah (sejarah hidup
Rasulullah saw). Sedang rinciannya adalah sebagai berikut:
Memasuki bulan Dzul
Qa'dah -salah satu di antara al-asyhuru
al-haram (bulan-bulan haram/ yang dimuliakan), di mana pada bulan-bulan
ini bangsa Arab tidak melakukan peperangan. Rasulullah Saw. mengumumkan bahwa
beliau hendak pergi ke Makkah untuk melakukan
umrah dan untuk mengagungkan Ka’bah, kepergian beliau bukan untuk berperang,
untuk itu beliau tidak membawa senjata. Orang-orang yang ada di sekitar beliau
di antara orang-orang Arab Badui bersiap-siap untuk pergi bersama Rasulullah
Saw. tanpa membedakan antara mereka yang muslim dan musyrik. Alasan membiarkan
orang-orang musyrik pergi bersama Rasulullah Saw. tidak lain agar hal itu
membantu beliau dalam melaksanakan rencananya. Banyak di antara bangsa Arab
yang ketinggalan. Rasulullah Saw. pergi bersama kaum Muhajirin dan kaum Anshar
serta orang-orang Arab yang menyusulnya.
Beliau membawa
binatang korban, dan berihram untuk
umrah, agar orang-orang aman dari peperangan, dan agar mereka tahu bahwa tujuan
beliau pergi hanya semata-mata untuk mengunjungi Baitullah
saja, dan untuk mengagungkannya. Rasulullah Saw. terus berjalan, sehingga
ketika beliau berada di 'Usfan, beliau bertemu dengan Bisyir bin Sufyan
al-Kalbiy. Bisyir berkata: “Wahai Rasulullah, kaum kafir Quraisy telah
mendengar perjalananmu ini. Mereka telah pergi, untuk bekalnya, mereka membawa
unta yang subur air susunya. Mereka telah berada di Dzu Thawa yang akan
mengadakan perjanjian kepada Allah agar kamu tidak memasuki wilayah mereka
selamanya. Itu, Khalid bin Walid memimpin pasukan berkuda mereka telah datang
ke Karra’ al-Ghamim.
('Usfan adalah sumber
mata air yang berada dua hari perjalanan dari Makkah. Dzu Thawa adalah tempat
dekat Makkah. Karra’ al-Ghamim adalah lembah berada delapan mil di
depan'Usfan.)
Rasulullah Saw.
bersabda: “Alangkah celakanya kaum kafir Quraiys! Sungguh, peperangan telah
membinasakannya. Kalau aku dan bangsa Arab yang lain sedang berkumpul, apa yang
dapat mereka perbuat, jika mereka dapat mengalahkan aku, maka itulah yang
mereka inginkan; dan jika Allah memenangkan aku atas mereka, maka mereka akan
berbondong-bondong masuk Islam; jika mereka tidak melakukan, maka perangilah,
meski mereka dalam kondisi kuat, apa yang menjadi pertimbangan kaum kafir
Quraisy? Demi Allah, aku akan terus berjihad demi memperjuangkan agama yang
karena agama itu aku diutus hingga Allah memenangkan agama itu atau hingga
leherku ini yang terpisah.”
Statemen politik
Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa analisa politik kami terhadap perjanjian
gencatan senjata (damai) Hudaibiyyah adalah benar. Sungguh Rasulullah Saw.
sebenarnya tidak bermaksud menunaikan haji, meski beliau kelihatannya hendak
menunaikan haji, tujuan beliau sebenarnya tidak lain adalah untuk mendapatkan
perjanjian gencatan senjata (damai) antara beliau dan kaum kafir Quraisy,
sehingga dengan adanya perjanjian itu memungkinkan beliau melakukan gerakan
secara militer dengan aman. Dan kami tidak meragukan lagi bahwa statemen
politik ini benar-benar telah sampai pada kaum kafir Quraisy. Untuk itu, kaum
kafir Quraisy berusaha melakukan genjatan senjata, sehingga secara riil
genjatan senjata itu mulai dilakukan perundingannya.
Kemudian, Bisyir
berkata: “Di antara seseorang yang pergi bersama kami mengetahui bahwa mereka
menempuh jalan yang tidak biasa mereka lewati?” Tiba-tiba seseorang di antara
Bani Aslam berkata: “Akulah orang yang mengetahui itu, wahai Rasulullah. Mereka
menempuh jalan yang tidak rata, penuh bebatuan di antara bebukitan. Mereka
menuju Hudaibiyyah.”
Setelah pasukan
berkuda kaum musyrikin melihat bahwa kaum muslimin memutar balik arah
perjalanannya, mereka cepat-cepat memberitahukan kaum kafir Quraisy tentang hal
itu. Sedang Rasulullah Saw., maka setelah beliau sampai di Hudaibiyyah, beliau
mengistirahatkan untanya.
Rasulullah Saw.
bersabda: “Cegahlah kaum kafir Quraisy dengan mencegah gajah dari Makkah. Saat
ini kaum kafir Quraisy tidak mengundangku untuk suatu rencana, jika di tempat
ini mereka meminta kepadaku mengadakan silaturrahmi, maka pasti aku
memberikannya.” Kemudian beliau bersabda kepada mereka: “Turunlah kalian!”
Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, apakah di lembah yang akan kami turuni itu
ada airnya?” Lalu beliau mengeluarkan anak panah dari tabungnya, selanjutnya
memberikan anak panah itu kepada seseorang di antara para sahabatnya. Sahabat
itu turun dengan membawa anak panah itu ke dalam sumur di antara sumur-sumur
itu, lalu ia menusukkan anak panah itu persis di tengah-tengah sumur, maka
memancarlah air di sumur itu sehingga unta dan mereka yang ada semua puas
minum, dan mereka juga mengambil air dari sumur itu untuk dijadikan bekal.
3. Utusan kedua belah pihak
bergantian mengunjungi
Setelah Rasulullah
Saw. merasa tenang, datang menemui beliau Badil bin Warqa' al-Khuza’iy dengan
ditemani beberapa orang dari Khuza’ah. Mereka berbicara dengan Rasulullah dan
menanyakan beliau tentang apa tujuan sebenarnya beliau datang.
Kemudian Rasulullah
Saw. memberitahukan mereka bahwa beliau datang tidak untuk berperang,
kedatangan beliau tidak lain kecuali untuk berkunjung ke Baitullah, dan mengagungkan kehormatannya.
Lalu beliau berkata kepada mereka seperti yang beliau katakan kepada Bisyir bin
Sufyan. Setelah mereka kembali kepada kaum kafir Quraisy, mereka berkata:
“Wahai orang-orang Quraisy, tangguh kalian telah tergesa-gesa dalam
menyimpulkan tentang tujuan kedatangan Muhammad. Sesungguhnya Muhammad datang
tidak untuk berperang, namun kedatangannya tidak lain kecuali untuk berkunjung
ke Baitullah. Dengan demikian, kalian
telah menuduh mereka, dan membicarakan mereka tentang sesuatu yang tidak mereka
sukai.” Kaum kafir Quraisy berkata: “Jika kedatangan Muhammad tidak hendak
berperang, maka demi Allah, selamanya Muhammad tidak akan memasuki Makkah
tempat kami berada dengan kekerasan, dan dengan demikian bangsa Arab tidak lagi
membicarakan tentang kami.”
Tuduhan kaum kafir
Quraisy tidak lain karena kaum kafir Quraisy menyadari betul bahwa kematian
adalah aib yang menguntungkan Rasulullah Saw., baik kematian itu di pihak orang
muslim maupun di pihak orang musyrik, sebab hal itu sedikitpun tidak dapat disembunyikan
di Makkah.
Kemudian kaum kafir
Quraisy mengutus kepada Rasulullah Saw. Mukriz bin Hafsh bin al-Akhif. Ketika
Rasulullah Saw. melihat Mukriz yang datang berikutnya, beliau bersabda: “Ini
seorang pengkhianat.” Setelah Mukriz sampai pada Rasulullah dan berbicara kepada
beliau, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya seperti yang beliau katakan
kepada Badil dan teman-temannya. Mukriz kembali kepada kaum kafir Quraisy
menyampaikan kepada mereka seperti yang disabdakan Rasulullah kepadanya.
Kemudian mereka
mengutus lagi kepada Rasululah Saw. al-Hulais bin ‘Alqamah (Ibnu Zabban),
ketika itu al-Hulais adalah pemimpin orang-orang Ahabisy. Ketika Rasulullah
melihatnya, beliau bersabda: “Sungguh orang ini termasuk di antara orang-orang
yang rajin ibadah dan senantiasa mengagungkan Allah.” Lalu para sahabat
melepaskan binatang-binatang korban di hadapan Hulais hingga ia melihatnya.
Setelah ia melihat
binatang-binatang korban tersebut sedang berjalan-jalan mengelilingi lembah
dengan tali pengikat di lehernya, bahkan bulu-bulu di lehernya banyak yang
rontok karena jauhnya perjalanan dari tempat penyembelihan korban di tanah
haram.
Hulais kembali kepada
kaum kafir Quraisy, padahal ia belum sampai pada Rasulullah, karena menghormati
apa yang telah dilihatnya. Hulais mengatakan pengalamannya itu kepada kaum
kafir Quraisy. Mereka berkata kepada Hulais: “Duduklah! Kamu ini orang Arab Badui
yang tidak memiliki pengetahuan tentang itu.” Mendengar itu Hulais marah, dan
berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, kami bersekutu mengadakan
perjanjian dengan kalian bukan untuk itu. Apakah kalian akan mengusir dari Baitullah orang-orang yang datang dengan
tujuan mengagungkannya. Demi Dzat yang jiwa Hulais ada dalam kekuasaannya,
benar-benar lupakanlah Muhammad dan tujuan kedatangannya, atau aku dan
orang-orang Ahabisy akan benar-benar pergi karena satu orang.” Kaum kafir Quraisy
berkata: “Tunggu! Tahan wahai Hulais, sehingga kami mengambil keputusan yang
kami meridhainya.”
Kemudian kaum kafir
Quraisy mengutus lagi kepada Rasulullah Saw. ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.
‘Urwah pergi hingga akhirnya ia pun sampai pada Rasulullah Saw., lalu duduk di
dekat Rasulullah Saw., kemudian berkata: “Wahai Muhammad, kamu telah mengumpulkan
berbagai suku manusia, kamu mendatangkan mereka untuk menyerang kaum Quraisy!!
Sungguh kaum Quraisy telah keluar, sebab mereka melihat adanya permusuhan
kepadanya, dan mereka berjanji kepada Allah, bahwa mereka tidak akan membiarkan
kamu selamanya memasuki Makkah tempat mereka berada dengan kekerasan.”
Rasulullah Saw.
menegaskan kepada ‘Urwah bahwa kedatangannya tidak untuk melakukan peperangan,
namun untuk menunaikan haji. Sebelum ia pergi meninggalkan Rasulullah Saw., ia
melihat besarnya penghormatan dan kecintaan sahabat terhadap Rasulullah Saw.
Setelah ia kembali kepada kaum kafir Quraisy, ia berkata: “Wahai orang-orang
Quraisy, aku telah mendatangi Kisra dalam kekuasaannya, Kaisar dalam
kekuasaannya, dan an-Najasyi dalam kekuasaannya, namun demi Allah, aku belum
pernah sama rekali melihat kekuasaan dalam suatu kaum seperti kekuasaan
Muhammad terhadap para sahabatnya! Aku benar-benar telah menyaksikan suatu kaum
yang tidak menyerahkan sesuatu apapun selamanya kecuali hanya kepadanya. Jika
demikian, maka apa pendapat kalian.”
Kemudian Rasulullah
Saw. memanggil Kharrasy bin Umayyah al-Khuza’iy, lalu beliau mengutusnya kepada
kaum kafir Quraisy di Makkah dengan mengendarai unta milik beliau yang bernama
“ats-Tsa’lab” untuk menyampaikan pesan beliau kepada para pembesar Quraisy tentang
tujuan kedatangannya. Mereka menyembelih unta Rasulullah Saw. yang dibawanya,
dan mereka juga hendak membunuhnya, namun orang-orang Ahabisy menyelamatkannya
dan melindunginya, lalu menyuruhnya pergi, hingga akhirnya ia kembali kepada
Rasulullah Saw.
Selanjutnya Rasulullah
Saw. memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Makkah guna menyampaikan
pesan beliau kepada para pembesar Quraisy tentang tujuan kedatangannya. Umar
berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku mengkhawatirkan kaum kafir Quraisy akan
berbuat jahat kepadaku, sebab di Makkah tidak ada di antara Bani Adi bin Ka'ab
seseorang yang akan membelaku, padahal kaum kafir Quraisy tahu betul
permusuhanku kepada mereka, dan kekasaranku atas mereka, namun aku tunjukkan
kepadamu seseorang yang lebih layak untuk tugas ini daripada aku, yaitu Utsman
bin ‘Affan.”
Usulan Umar kepada
Rasulullah Saw. agar mengirim Utsman bin Affan, sebab Utsman bin Affan termasuk
di antara Bani Umayyah, sedang kepemimpinan kaum kafir Quraisy diwakili oleh
pribadi Abu Sufyan al-Umawy. Umar menilai bahwa Abu Sufyan sekali-kali tidak akan
mencelakakan kerabatnya sendiri, Utsman. Sehingga ketika dalam menjalankan
tugasnya dengan sendirinya Utsman akan mendapatkan perlindungan.
Rasulullah Saw.
memanggil Utsman bin Affan, lalu beliau mengutusnya kepada Abu Sufyan dan para
pembesar kaum kafir Quraisy yang lain guna memberitahu mereka bahwa kedatangan
Rasulullah Saw. tidak untuk melakukan peperangan, namun kedatangannya tidak
lain hanyalah untuk mengunjungi Baitullah
saja dan untuk mengagungkan kehormatannya.
Utsman pergi ke
Makkah. Ia bertemu dengan Aban bin Sa’id bin al-‘Ash ketika memasuki Makkah
atau sebelumnya. Aban membawanya dan membantunya hingga Utsman dapat
menyampaikan pesan Rasulullah Saw. Utsman pergi hingga ia bertemu Abu Sufyan
dan pembesar-pembesar kaum kafir Quraisy yang lain. Kemudian Utsman
menyampaikan kepada mereka pesan Rasulullah yang karenanya ia diutus.
Ketika Utsman telah
selesai menyampaikan pesan Rasulullah Saw. kepada mereka, maka mereka berkata
kepada Utsman: “Jika kamu ingin berthawaf
di Baitullah, maka thawaflah.” Utsman berkata: “Aku tidak akan
melakukannya sampai aku bisa berthawaf
bersama Rasulullah Saw.” Kaum kafir Quraisy menahan Utsman, akhirnya sampai
berita (yang keliru) kepada Rasulullah Saw. dan kaum muslimin bahwa Utsman bin
Affan telah terbunuh.
4. Bai’atur Ridhwan
Setelah sampai berita
kepada Rasulullah Saw. bahwa kaum kafir Quraisy telah membunuh Utsman bin
Affan, Rasulullah Saw. sangat marah. Beliau bersabda: “Kami tidak akan berhenti
memerangi mereka.” Rasulullah Saw. memanggil semua orang yang bersamanya agar berbai’at
untuk mati. Beliau berdiri di bawah pohon, dan di bawah pohon inilah beliau
mengambil bai'at untuk mati dari para sahabatnya ridhwanullahi
‘alaihim.
Orang-orang pun
berbai’at kepada Rasulullah Saw., tidak seorangpun di antara kaum muslimin yang
ada yang tidak turut berbai’at, kecuali al-Jad bin Qais, saudara Bani Salamah.
Tentang al-Jad bin Qais ini, Jabir Abdullah berkata: “Demi Allah, sepertinya aku
melihat al-Jad bin Qais menempel pada ketiak unta betinanya. Ia melakukan itu
agar orang-orang tidak melihatnya.” Bai’at ini dinamakan dengan Bai’atur
Ridhwan, karena firman Allah terkait dengan bai’at ini.
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon” (TQS.
al-Fath [48]: 18)
Kemudian Rasulullah
Saw. mengetahui bahwa berita yang didengarnya tentang Utsman ternyata tidak
benar. Bagaimanapun juga bai'at yang telah dilakukan ini lebih membuat
Rasulullah Saw. merasa puas, sebab para sahabat yang dipimpinnya benar-benar
siap untuk membela Negara Islam dan melindungi akidah hingga titik darah
penghabisan (mati). Mengingat inilah tujuan ketika membangun kesadaran politik.
Sedang Rasulullah Saw. sangat ingin sekali sampai pada tujuan itu, dan sekarang
tujuan beliau itu benar-benar telah tercapai.
5. Negosiasi-negosiasi untuk
Perdamaian
Kemudian, kaum kafir
Quraisy mengutus Suhail bin Amru, saudara Bani Amir bin Luai kepada Rasulullah
Saw. Mereka berkata kepada Suhail: “Datanglah kepada Muhammad, lalu ajaklah ia
berdamai, dalam mengajak berdamai kamu harus memintanya agar pada tahun ini ia
pulang kembali meninggalkan kami, demi Allah, dengan demikian bangsa Arab tidak
lagi membicarakan tentang kami bahwa selamanya Muhammad memasuki negeri kami
dengan kekerasan.”
Suhail bin Amru
mendatangi Rasulullah Saw., ketika Rasulullah Saw. melihat Suhail telah datang,
beliau bersabda: “Kaum kafir Quraisy ingin berdamai ketika mereka mengutus
orang ini.” Sabda Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa beliau Saw. benar-benar
menguasai karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat tiap-tiap pemimpin di
antara para pemimpin musuh. Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah memberi kami
pelajaran penting dalam melakukan diplomasi sehubungan dengan kepentingan
negara. Setelah Suhail sampai pada Rasulullah Saw., ia berbicara. Suhail
berbicara panjang, sehingga keduanya terlibat dalam pembicaraan, lalu keduanya
sepakat tentang dasar-dasar perdamaian.
Ketika para sahabat
melihat bahwa perdamaian telah disepakati oleh kedua negosiator tersebut, maka
mereka merasa tidak puas dengan perdamaian ini, sebab dalam perdamaian ini
mereka melihat adanya penghinaan dan pelecehan, sebab mengapa mereka harus
kembali ke Madinah, padahal mereka belum menunaikan apa yang menjadi tujuan
mereka pergi, yaitu mengagungkan Baitullah,
sebab dalam pandangan mereka, kepergiannya bukan untuk tujuan politik, namun
murni untuk urusan agama. Umar bin Khaththab melompat, lalu mendatangi Abu
Bakar.
Umar berkata: “Wahai
Abu Bakar, bukankah dia itu Rasulullah?” “Benar,” jawab Abu Bakar. Umar
berkata: “Bukankah kami ini orang-orang Islam?” “Benar,” jawab Abu Bakar. Umar
berkata: “Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?” “Benar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata: “Jika demikian, maka atas dasar apa kami memberikan penghinaan
terhadap agama kami?” Abu Bakar berkata: “Wahai Umar, taatilah perintah
Rasulullah, aku bersaksi bahwa dia itu Rasulullah.” Umar berkata: “Aku pun
bersaksi bahwa dia itu Rasulullah.”
Kemudian, Umar bin
Khaththab mendatangi Rasulullah Saw. Umar berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah
anda ini Rasulullah?” “Benar,” jawab beliau. Umar berkata: “Bukankah kami ini
orang-orang Islam?” “Benar,” jawab beliau. Umar berkata: “Bukankah mereka itu orang-orang
musyrik?” “Benar,” jawab beliau. Umar berkata: “Jika demikian, maka atas dasar
apa kami memberikan penghinaan terhadap agama kami?” Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku sekali-kali tidak akan menyalahi
perintah-Nya, dan Dia sekali-kali tidak akan mempersulit aku.” Lalu Umar
berkata: “Aku akan senantiasa bershadaqah, berpuasa, mendirikan shalat, dan
membebaskan dari apa yang telah aku perbuat, saat ini aku merasa takut dengan
perkataanku yang telah aku katakan, sehingga yang aku harapkan sekarang
hanyalah kebaikan.”
6. Teks Perjanjian
Kemudian Rasulullah
Saw. memanggil Ali bin Abi Thalib ridhwanullah
‘alaihi. Beliau bersabda: “Tulislah
Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim.” Suhail berkata: “Aku tidak mengenal
kalimat ini, namun tulislah “Bismika Allahumma.”
Lalu Ali pun menulisnya.
Kemudian beliau
bersabda: “Tulislah ini teks perdamaian yang
telah disepakati Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amru.” Suhail
berkata: “Kalau aku bersaksi bahwa kamu adalah Rasulullah, niscaya aku tidak
akan memerangi kamu, akan tetapi tulislah nama ibu dan ayahmu.” Rasulullah Saw.
bersabda: “Tulislah “Ini teks perdamaian yang
telah disepakati Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amru.”
Keduanya sepakat untuk
menghentikan peperangan selama sepuluh tahun ((bukan 20 tahun)). Selama 10
tahun ini orang-orang akan merasa aman, sebab kedua belah pihak saling
menghentikan peperangan. Siapa saja yang datang kepada Muhammad di antara kaum
Quraisy tanpa mendapatkan izin dari walinya, maka ia harus dikembalikan kepada
kaum Quraisy. Dan siapa saja yang datang kepada kaum Quraisy di antara pengikut
Muhammad, maka ia tidak boleh dikembalikannya. Sesungguhnya di antara kami
benar-benar ikhlas dan rela dengan perjanjian ini. Sehingga tidak akan ada lagi
pencurian, penculikan, dan pengkhianatan. Siapa saja yang ingin bergabung ke
dalam perlindungan dan jaminan keamanan kaum Quraisy, maka bergabunglah.
Kemudian teks
perjanjian ini diperlihatkan kepada kelompok di antara kaum muslimin dan
kelompok di antara kaum musyrikin. Orang-orang Khuza'ah bergabung dengan
Rasulullah, sedang Banu Bakar bergabung dengan kaum Quraisy.
7. Rasulullah Melaksanakan
Kesepakatan, Sedang Abu Jandal Menolaknya
Ketika Rasulullah Saw.
dan Suhail bin Amru sedang menulis surat perjanjian, tiba-tiba beliau didatangi
Abu Jandal bin Suhail bin Amru yang berjalan pelan-pelan dengan berpegang pada
besi. Ia datang untuk mengharap keselamatan (perlindungan) dari Rasulullah Saw.
Sedang para sahabat Rasulullah Saw. benar-benar telah pergi (merasa kecewa),
sebab mereka tidak melihat akan terjadinya penaklukan Makkah, seperti yang
terlihat oleh Rasulullah Saw. Sehingga ketika mereka melihat dampak dari
perdamaian, keharusan mengembalikan, dan beban yang harus dipikul oleh
Rasulullah Saw. sendiri, maka para sahabat merasa mendapatkan ujian besar
sehingga membuatnya hampir-hampir binasa.
Ketika Suhail melihat
Abu Jandal, maka ia mendekatinya memukul wajahnya, dan memegang kerah bajunya.
Kemudian Suhail berkata: “Wahai Muhammad, telah selesai kesepakatan atas suatu
persoalan antara aku dan kamu sebelum orang ini datang kepadamu.” Rasulullah
Saw. bersabda “Kamu benar.” Rasulullah Saw. mulai menarik Abu Jandal untuk
dikembalikan kepada kaum kafir Quraisy. Abu Jandal mulai berteriak dengan suara
sangat keras: “Wahai orang-orang Islam, apakah aku akan dikembalikan kepada
orang-orang musyrik yang akan menyiksaku agar beralih agama?” Kenyataan itu
membuat para sahabat bertambah marah yang sebelumnya mereka memang telah marah.
Rasulullah Saw.
bersabda: “Wahai Abu Jandal, bersabar dan
bertahanlah, sungguh Allah akan membuat kelapangan dan jalan keluar untuk kamu
dan orang-orang yang bersamamu di antara orang-orang yang lemah. Sungguh kami
telah mengadakan kesepakatan berdamai antara kami dan mereka. Kami akan memberi
mereka berdasarkan kesepakatan itu, dan mereka akan memberi kami sumpah atas
nama Allah. Sunggah kami tidak akan mengkhianati mereka.”
Umar bin Khaththab
melompat menuju Abu Jandal yang sedang berjalan di dekatnya, dan berkata:
“Bersabarlah, wahai Abu Jandal. Ingat! Mereka adalah orang-orang musyrik.
Sungguh darah salah seorang dari mereka tidak lain adalah darah anjing.” Umar
mendekatkan pegangan pedang kepadanya. Umar berkata: “Aku berharap dia
mengambil pedang itu, lalu dengan pedang itu ia akan memenggal ayahnya!” Orang
itu (Abu Jandal) tidak mau membunuh ayahnya, dan akhirnya urusan (kesepakatan)
itu pun dilaksanakan.
8. Kembali ke Madinah
Setelah selesai
membuat perjanjian berdamai, Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabatnya agar
melakukan tahallul dari ihram mereka
dengan mencukur rambutnya, dan menyembelih binatang korban mereka sebagai
persiapan untuk kembali ke Madinah, namun para sahabat menunda melaksanakan
perintah Rasulullah dengan harapan dalam penundaannya ini turun wahyu yang
membatalkan perjanjian berdamai yang telah dilakukan oleh Rasulullah, sebab
seperti yang kami sebutkan, para sahabat sangat tidak senang dengan perjanjian
damai itu.
Rasulullah Saw.
menjadi gelisah dengan kenyataan itu, lalu dengan perasaan berduka-cita beliau
menemui istri beliau, dan menceritakan kepada istrinya tentang penundaan para
sahabat dalam melaksanakan perintahnya. Rasulullah Saw. memberi isyarat yang
akan memulai dahulu melakukan tahallul. Kemudian Rasulullah Saw. pergi, lalu
mencukur rambutnya, dan menyembelih binatang korbannya. Ketika para sahabat
melihat Rasulullah Saw. melakukan tahallul dari ihramnya,
maka merekapun merasa yakin bahwa perjanjian damai yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Saw. itulah yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Kalau saja perkara itu
tidak dicintai dan diridhai oleh Allah, niscaya turun wahyu yang meluruskan
Rasulullah Saw. Untuk itu mereka mulai berebut melakukan tahallul dari ihram
mereka dengan menyembelih binatang korban mereka dan mencukur rambut mereka. Setelah
mereka selesai melakukan itu semua, maka merekapun segera kembali ke Madinah.
Dan di tengah
perjalanan pulang menuju Madinah turunlah kepada Rasulullah Saw. firman Allah:
“Sesungguhnya Kami
telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan
kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.”
(TQS. al-Fath [48]: 1-2)
Kemudian Allah Swt.
berfirman:
“Sesungguhnya Allah
akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya
(yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan
mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka
Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu
kemenangan yang dekat.” (TQS. al-Fath [48]: 27)
Yang dimaksud dengan fathan qariba (kemenangan yang dekat) adalah
perjanjian damai Hudaibiyyah.
9. Hasil-hasil secara politik
dari perjanjian damai Hudaibiyyah
Allah Swt. mensifati
perjanjian damai Hudaibiyyah dengan hasil-hasil yang gilang-gemilang untuk
kebaikan kaum muslimin dengan al-fathu al-mubin
(kemenangan yang nyata). Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
kemenangan yang nyata.”
Dan berikut ini
hasil-hasil terpenting dari perjanjian damai Hudaibiyyah ini:
a. Sesungguhnya kaum kafir Quraisy yang
sebelumnya menganggap Muhammad Saw. hanyalah seorang yang berada di luar
undang-undang, adat istiadat, dan tradisi bangsa Arab, sedang Negara Islam di
Madinah al-Munawwarah hanyalah kumpulan manusia yang menempati sebuah negeri
tempat berlindungnya. Sehingga penandatangan kaum kafir Quraisy dan orang-orang
Arab yang bergabung kepada kaum kafir Quraisy bersama Negara Islam yang
dipimpin oleh Muhammad Saw. terhadap perjanjanjian damai Hudaibiyyah merupakan
pengakuan terhadap eksistensi Negara Islam ini, dan pengakuan kepada Muhammad
Saw. sebagai kepala negaranya.
b. Hasil-hasil yang diperoleh dari perjanjian
damai Hudaibiyyah adalah materi perjanjian tentang penghentian perang antara
kaum kafir Quraisy dan Negara Islam. Sungguh materi ini memiliki arti yang
sangat penting sekali, sebab materi ini telah memberi Negara Islam kebebasan
melakukan gerakan politik dan militer tanpa ada kekhawatiran sedikitpun.
Tentang gerakan yang
bersifat militer, maka terlihat jelas dalam dua hal: Pertama, Rasulullah Saw. mulai menyebar pasukannya ke berbagai
tempat di seluruh penjuru jazirah Arab, (Lihat Lampiran 12, Mobilisasi pasukan
Islam antara penaklukkan Khaibar sampai penaklukkan Makkah). Kedua, Negara Islam -setelah berhasil
membekukan permusuhan kaum kafir Quraisy terhadap Negara Islam, dan amannya
Negara Islam dari permusuhannya- mampu melakukan pembersihan terhadap institusi
Yahudi Khaibar -seperti yang akan kami kemukakan- sebagai pelaksanaan atas
rencana yang telah disusun oleh Rasulullah Saw. dalam rangka membersihkan
musuh-musuh Negara Islam.
Adapun tentang gerakan
yang sifatnya politik, maka terlihat jelas dengan dikirimnya beberapa utusan
oleh Negara Islam kepada para penguasa di berbagai daerah untuk meminta mereka
mengakui eksistensi Negara Islam, dan mengakui sistem yang dijalankannya.
c. Membangkitkan opini umum bangsa Arab untuk
melawan kaum kafir Quraisy, karena mereka telah mencegah orang-orang
mengunjungi dan mengagungkan Baitullah.
d. Adapun hasil-hasil yang diperoleh dari
perjanjian damai Hudaibiyyah terkait syarat bahwa Negara Islam harus
mengembalikan setiap orang Quraisy yang datang pada Negara Islam adalah
terbentuknya kelompok orang-orang beriman yang dikembalikan oleh Rasulullah
Saw. kepada mereka. Selanjutnya, kelompok ini akan tetap menunjukkan
loyalitasnya terhadap Negara Islam di Madinah al-Munawwarah; kelompok ini akan
menyerang kaum musyrikin, kafilah-kafilah mereka, dan para pedagang mereka,
sedang Negara Islam tidak lagi bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
kelompok ini.
Kelompok ini terbentuk
ketika Abu Bashir -salah seorang di antara orang-orang yang baru beriman-
berhasil melarikan diri dari tempat penahanan,
setelah membunuh salah seorang dari mereka. Abu Bashir tinggal di jalan antara
Makkah dan Syam. Kemudian dia mulai diikuti oleh setiap orang-orang yang baru
masuk Islam, yaitu mereka yang berhasil melarikan diri dari Makkah.
Sehingga akhirnya
kelompok mereka -yang selanjutnya mendapat bantuan materi dan non-materi dari
Negara Islam di Madinah al-Munawwarah- ini menjadi sumber kegelisahan dan
kekacauan bagi kaum kafir Quraisy. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy terpaksa
mengirim delegasi kepada Rasulullah Saw. -kepala Negara Islam- yang secara
khusus meminta kesepakatan pembatalan materi dari perjanjian damai ini kepada
Rasulullah Saw., sehingga orang-orang Islam yang datang kepada Rasulullah Saw.
dari Makkah tidak perlu dikembalikan.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar