B. Memproklamirkan Berdirinya
Negara Islam Secara Politik
Setelah Rasulullah
Saw. membangun pusat Negara Islam secara resmi, memperbaiki situasi dan kondisi
internal, orang-orang telah banyak yang berpihak kepada Rasulullah Saw.,
kepemimpinan dan kekuasaan ada dalam genggamannya, dan mereka semua mentaati
Rasulullah Saw., maka kami dapat mengatakan bahwa Negara Islam secara de facto telah berdiri, sehingga tidak ada
keperluan lain, kecuali melakukan langkah berikut, yaitu memproklamirkan secara
resmi berdirinya Negara Islam.
Para penulis Sirah menuturkan bahwa setelah Rasulullah Saw.
merasa puas dengan Madinah, saudara-saudara beliau dari orang-orang Muhajirin
dan orang-orang Anshar telah berkumpul semuanya di sekitar beliau, urusan Islam
telah solid, shalat telah dijalankan, zakat dan puasa telah diperintahkan,
hudud telah ditegakkan, yang halal telah dihalalkan, yang haram telah
diharamkan, Islam di hadapan banyak orang diposisikan pada tempat yang penting,
maka mulailah Rasulullah Saw. berpikir tentang metode yang akan digunakan untuk
menyeru orang-orang agar menunaikan shalat.
Orang-orang hingga
saat itu datang untuk menunaikan shalat ketika tiba waktunya tanpa ada seruan
sebelumnya. Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah ra. melihat Rasulullah Saw. sangat
berkonsentrasi dengan permasalahannya ini. Akhirnya dia ikut berkonsentrasi sebagaimana
Rasulullah Saw., ketika dia tidur di waktu malam, dia tetap dalam kondisi
berpikir tentang permasalahan Rasulullah Saw. ini, kemudian dia pergi dengan
tergesa-gesa menemui Rasulullah Saw., setelah bertemu berkata kepada Rasulullah
Saw.:
“Wahai Rasulullah,
malam ini aku bermimpi. Seseorang memakai dua pakaian berwarna hijau melintasi
aku, sedang di tangannya memegang kelintingan (genta kecil), aku bertanya
kepadanya: “Wahai Abdullah, apakah kamu akan menjual kelintingan ini? ” “Apa
yang akan kamu perbuat dengan kelintingan ini?” dia balik bertanya. Aku
berkata: “Dengannya aku akan menyeru orang agar melaksanakan shalat.” Dia
berkata: “Bagaimana kalau aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari
itu?” “Apa itu?” tanyaku. Dia berkata: “Kamu berkata: “Allahu Akbar Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar. Asyhadu alla
Ilaha Illallah, Asyhadu alla Ilaha Illallah. Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayya ‘alash Shalah. Hayya
‘alash Shalah. Hayya ‘alal Falah, Hayya ‘alal Falah. Allahu Akbar Allahu Akbar.
La Ilaha Illallah.”
Setelah dia
memberitahukan hal itu kepada Rasulullah Saw., Rasulullah Saw. bersabda:
“Sungguh ia adalah mimpi yang haq, insya Allah.
Berdirilah dengan Bilal, ajarkan ia pada Bilal, lalu suruhlah Bilal azan dengan
kalimat itu, sebab suara Bilal lebih keras dibanding suaramu.”
Ketika Bilal azan
dengan kalimat itu, Umar bin Khaththab mendengarnya ketika dia sedang di
rumahnya, lalu dia pergi menemui Rasulullah Saw. sambil menarik selendangnya,
setelah bertemu dia berkata: “Wahai Nabiyullah,
demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh aku
benar-benar bermimpi persis seperti mimpinya.” Rasulullah Saw. bersabda: “Hanya kepada Allah segala puji atas semuanya itu.”
Akhirnya, masalah
seruan shalat diputuskan dengan menggunakan azan ini.
Kami, dengan
menetapkan ini semua, mengakui dan mempercayai bahwa azan merupakan seruan
untuk shalat, namun kami dengan telinga yang dalam mendengar suara hatiku
berkata bahwa azan memiliki makna lain dan fungsi lain di samping fungsi
sebagai seruan untuk shalat, yakni azan sebagai seruan resmi yang dikeluarkan
dari pusat resmi negara -masjid- dengan menggunakan media informasi yang resmi
-yaitu juru azan yang telah diangkat oleh Rasulullah Saw., sebagai kepala
negara- melalui berdirinya negara Allah di bumi, di bawah kepemimpinan Muhammad
Rasulullah Saw.
Semua itu terjadi,
setelah Rasulullah Saw. berhasil melewati setiap rintangan yang dipasang oleh
para pemuja kegelapan
di jalan menuju tegaknya Negara Islam. Ternyata rencana Allah di atas rencana
siapapun, dan kekuatan Allah di atas kekuatan siapapun. Kalau saja Anda mau
merenungkan kalimat-kalimat azan yang pertama “Allahu
Akbar Allahu Akbar” maka Anda akan mengerti bahwa Allah Swt. lebih besar
daripada mereka para thaghut, sehingga
otomatis Allah lebih besar dalam membuat rintangan, dan Dia Maha Memenangkan
semua urusan-Nya.
“Asyhadu alla Ilaha Illallah” ini artinya bahwa
tidak ada kedaulatan dalam negara Islam kepada selain Allah, dan tidak ada
hukum selain hukum Allah:
“Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah.” (TQS. al-An'am [6]: 57)
“Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” artinya
bahwa Allah Swt. telah menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad, sehingga tidak
ada seorangpun yang berhak merampas kepemimpinan darinya. Beliau tetap dengan
kepemimpinannya hingga Allah menyempurnakan agama-Nya melalui al-Qur’an yang
diturunkan kepada Rasul-Nya, dan juga melalui as-Sunnah yang diilhamkan Allah
kepada Rasul-Nya.
“Hayya ‘alash Shalah. Hayya ‘alal Falah”
artinya bahwa bersegeralah, wahai manusia,
untuk bergabung di bawah bendera negara Islam yang murni karena Allah ini, dan
telah menetapkan bahwa di antara tujuannya adalah memperkokoh hubungan manusia
dengan Tuhannya, memperkokoh hubungan manusia dengan sesamanya berdasarkan ajaran
Islam yang sangat tinggi.
“Qad Qamatish Shalat” artinya bahwa shalat itu
benar-benar telah ditegakkan dengan berdirinya negara Islam ini, dan seandainya
negara Islam ini tidak berdiri, niscaya orang-orang tidak akan berani beribadah
kepada Allah. “Allahu Akbar Allahu Akbar.
La Ilaha Illallah” kemudian di akhir
azan dipertegas kembali bahwa kedaulatan dalam Negara Islam hanya milik Allah
semata, dan hukum yang ada dalam Negara Islam hanya syari'at-Nya saja.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar