d. Perang Khondak
1. Orang-orang Yahudi dan kaum
paganis bersepakat untuk menyerang Negara Islam
Orang-orang Yahudi
telah melihat kekuatan harga diri yang dicapai Negara Islam, dan Negara Islam
yang telah berhasil menancapkan kekuasaannya atas suku-suku bangsa Arab. Mereka
yakin bahwa tercerai-berainya kekuatan merupakan penyakit yang akan mengikis habis
kekuatannya, karenanya Negara Islam terus-menerus menelan satu persatu
suku-suku bangsa Arab sampai sebagian besar suku di Jazirah Arab tunduk pada
Negara Islam… Sehingga jika kekuatan penentang terhadap negara yang masih muda
ini belum juga bersatu, dan belum juga bersepakat untuk menyerangnya dari satu
busur panah, maka tidak lama lagi Negara Islam akan menjadi negara superpower yang tidak satupun berani
menantangnya.
Untuk itu, mereka
berusaha mengumpulkan semua kekuatan penentang Negara Islam ini, di antara
bangsa Arab dan Yahudi untuk menyerang negara ini dan menghancurkan
sendi-sendinya. Sekelompok pemimpin Yahudi yang bangkit di antaranya: Sallam
bin Abi al-Haqiq an-Nadhari, Huyay bin Akhthab an-Nadhari, Kinanah bin Abi
al-Haqiq an-Nadhari, Hudah bin Qais al-Waili, dan Abu Ammar al-Waili berada
dalam kelompok di antara Bani an-Nadhir dan kelompok di antara Bani Wail, lalu
mereka datang kepada kaum kafir Quraisy di Makkah.
Mereka mengajak kaum
kafir Quraisy untuk memerangi Rasulullah Saw. Mereka berkata: “Sungguh kami
bangkitkan kalian untuk memerangi Muhammad. Untuk kalian kami akan mengumpulkan
bangsa Arab agar mereka membantu kalian. Kami akan sungguh-sungguh bersama kalian
sehingga kami mampu menghabisi Muhammad.”
Kaum kafir Quraisy
percaya sekali bahwa akidah yang dibawa oleh Muhammad adalah perkara yang dapat
diterima oleh akal dan tidak dapat dibantah oleh logika apapun. Akan tetapi,
para penganut nenek-moyangisme memiliki pengaruh kuat dalam diri kaum kafir Quraisy
dalam menciptakan pergolakan internal yang membakar. Selanjutnya kaum kafir
Quraisy berkonsultasi kepada orang-orang Yahudi mengingat mereka adalah
penganut agama samawi, apalagi orang-orang Yahudi punya pengalaman keagamaan
secara turun-temurun.
Kaum kafir Quraisy
berkata: “Wahai orang-orang Yahudi, sesungguhnya kalian adalab ahli kitab yang
pertama, dan kalian adalah kaum yang memiliki pengetahuan tentang apa yang kami
perselisihkan dengan Muhammad. Maka jawablah dengan jujur, apakah agama kami
yang lebih baik, ataukah agamanya?” Orang-orang Yahudi berkata: “Tentu, agama
kalianlah yang lebih baik daripada agamanya, dan kalianlah yang lebih benar.”
Mereka mengatakan itu semua dengan berbohong agar kaum kafir Quraisy mau
bergabung bersama mereka dalam peperangan untuk membalas dendam Bani Qainuqa’
dan Bani Nadhir yang telah diusir oleh Rasulullah Saw. dari Madinah
al-Munawwarah.
Kaum kafir Quraisy
merasa senang dengan apa yang didengarnya. Mereka menyambut baik ajakan
orang-orang Yahudi untuk memerangi Rasulullah Saw. Mereka sepakat untuk
memerangi Rasulullah Saw., dan mereka menentukan waktu untuk bertemu sebelum
menyerang Madinah al-Munawwarah.
Kemudian, kelompok
orang-orang Yahudi pergi mendatangi orang-orang Ghathfan, lalu mengajaknya
untuk memerangi Rasulullah Saw., mereka memberitahukannya tentang kesepakatan
yang telah dibuatnya bersama kaum kafir Quraisy.
Orang-orang Ghathfan
setuju untuk membantu mereka dalam memerangi Rasulullah Saw., lalu mereka
menentukan waktu untuk bertemu sebelum menyerang Madinah al-Munawwarah.
Ketika waktu yang
telah ditentukan tiba, kaum kafir Quraisy pergi dengan dipimpin oleh Abu
Sufyan, sedang orang-orang Ghathfan, Bani Fazarah dipimpin oleh ‘Uyainah bin
Hishin, Bani Marrah dipimpin oleh Harits bin Auf, dan orang-orang dari Asyja’
dipimpin oleh Mis’ar bin Rukhailah.
2. Membentengi Madinah dan
Menghindari Konflik
Rasulullah Saw.
-melalui para intelejen yang disebarnya di seluruh penjuru Jazirah Arab, yang
selalu menginformasikan setiap ada gerakan bawah tanah yang hendak melawan
Negara Islam- mengetahui tentang bersekutunya orang-orang Yahudi dan kaum
paganisme. Rasulullah Saw. menilai bahwa persekutuan ini akan mampu
mengumpulkan tidak kurang dari 10.000 pasukan untuk melawan Negara Islam.
Sementara Rasulullah Saw. memiliki tidak lebih dari 3.000 mujahid. Dalam
kondisi yang tidak berimbang begini sulit
melakukan konflik bersenjata (peperangan), sebab jika memaksakan diri untuk
melakukan peperangan, bisa-bisa hal itu mengulang kembali tragedi
Uhud yang berakibat lemahnya sendi-sendi Negara Islam.
Untuk itu, Rasulullah
Saw. mulai mencari strategi untuk menang tanpa melakukan konflik bersenjata.
Akan tetapi, apa yang mendorong semangat kemanusian untuk membela Madinah,
padahal tujuan mereka menyerang Madinah tidak lain adalah untuk menghabisi
pemimpinnya, dan mengakhiri keberadaan Islam di Madinah? Akhirnya, Rasulullah
Saw. -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya-mengharuskan untuk membuat
penghalang yang dapat mencegah terjadinya konflik bersenjata antara dua pihak.
Dengan demikian, memungkinkan bagi Rasulullah Saw. bertindak dengan bijaksana
berdasarkan kejeniusannya dalam berpolitik.
Keputusan yang
demikian itu diusulkan oleh Salman al-Farisi ra. Rasulullah Saw. membuat skema
untuk Madinah al-Munawwarah. Beliau mendapati bahwa Madinah terlindungi dari
tiga arah pembatas, yaitu dua tanah vulkanik dan perkebunan, sehingga serangan
kemungkinan datang dari arah pembatas yang keempat. Untuk itu, Rasulullah Saw.
memutuskan membuat penghalang di arah pembatas keempat ini. Rasulullah Saw.
mengumpulkan setiap sarana dan kemampuan yang dimilikinya, lalu beliau menggali
khondak (parit) di antara dua tanah vulkanik. (Lihat Lampiran 9, Peta Perang
Ahzab)
Semua kaum muslimin
-dengan dipimpin sendiri oleh Rasulullah Saw.- bekerja menggali parit itu
dengan penuh semangat dan kerja keras, kecuali beberapa orang-orang munafik
yang tidak ikhlas dalam kerja mereka, mereka turut bekerja agar kemunafikan
mereka tidak diketahui oleh kaum muslimin, mereka berada di antara kelompok
kaum muslimin, sedang yang lain lari dari pekerjaan itu. Mereka menyelinap dan
bersembunyi di rumah-rumah mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah Saw. dan tanpa
izin dari Rasulullah Saw.
Mereka lari dari
pekerjaan itu, sebab dalam hati mereka ada kabut dan niat mereka buruk, sebab
mereka menginginkan kecelakaan menimpa Rasulullah Saw. dan negaranya. Hal itu
tampak ketika mereka berbicara dengan Rasulullah Saw. tidak menggunakan gaya
berbicara yang sopan, dan mereka lari ketika mereka diajak bekerja menggali
parit. Tentang mereka itu, Allah Swt. berfirman:
“Janganlah kalian
jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian
kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang
yang angsur-angsur pergi (menyelinap) di antara kalian dengan berlindung
(kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (TQS. an-Nur [24]: 63)
Adapun kaum muslimin
yang ikhlas, maka mereka bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja.
Bahkan jika salah seorang di antara kaum muslimin ingin buang hajat yang tidak
tertahan lagi, maka dia berbicara terus-terang dan meminta izin kepada Rasulullah
Saw. untuk buang hajat dulu, lalu beliau pun mengizinkannya. Setelah selesai
buang hajat, dia langsung kembali ke tempat kerjanya lagi, karena keikhlasan
dan kecintaannya terhadap kebaikan. Allah Swt. berfirman tentang mereka
orang-orang yang beriman:
“Sesungguhnya yang
sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama Rasulullah dalam suatu urusan yang
memerlukan pertemuan (kerjasama), mereka tidak meninggalkan (Rasulullah)
sebelum meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena
sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa saja yang kamu kehendaki di antara
mereka, dan mohonlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (TQS. an-Nur [24]: 62)
3. Datangnya Pasukan Sekutu
(Ahzab)
Ketika Rasulullah Saw.
telah selesai membuat parit, pasukan kaum kafir Quraisy dari arah Rumah tiba
dan mereka sampai di daerah Mujtama’ al-Asyal yang berada di antara al-Juruf
dan Zaghobah dengan kekuatan 10.000 pasukan gabungan dari beberapa kelompok yang
dibantu Bani Kinanah dan penduduk Tihamah, sedang orang-orang Ghathfan juga
datang dengan dibantu penduduk Najed, mereka bergerak terus sampai mereka semua
tiba di daerah Dzanab Naqma yang berada di sisi Uhud.
Rasulullah Saw. dan
kaum muslimin pergi hingga mereka sampai di Sal’ (Yaitu gunung di Madinah)
dengan kekuatan 3.000 mujahid, di tempat ini mereka membangun perkemahan,
sedang parit berada di antara pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum kafir
Quraisy. Rasulullah Saw. memerintahkan agar melindungi kaum perempuan, sehingga
menjadikan mereka semua berada dalam perlindungan.
4. Bani Quraizhah Bergabung pada
Pasukan Sekutu
Huyay bin Akhthab
an-Nadhari pergi mendatangi Ka’ab bin Asad al-Qurazhi, orang yang mempunyai
otoritas melakukan akad dan perjanjian untuk kebaikan Bani Quraizhah. Sedang
Ka’ab atas nama kaumnya telah membuat kesepakatan dan perjanjian damai dengan
Rasulullah Saw. Ketika Ka’ab mengetahui bahwa Huyay bin Akhthab datang, maka
dia menghindar dengan menutup pintu untuk menjaga kehormatannya. Lalu Huyay bin
Akhthab meminta izin, namun Ka'ab tetap enggan membukakan pintu.
Akhirnya, Huyay bin
Akhthab berseru: “Celaka kamu, wahai Ka'ab! Bukakanlah aku pintu.” Ka’ab
membalas berkata: “Celakalah kamu, wahai saudaraku. Sesungguhnya kamu orang
yang malang yang dibayang-bayangi ketakutan. Aku telah membuat perjanjian
dengan Muhammad, sehingga aku tidak mungkin merusak perjanjian yang telah
diadakan antara aku dan dia, sebab aku belum pernah melihat Muhammad kecuali
dia setia dan selalu menepati janjinya.” Huyay bin Akhthab berseru lagi:
“Celakalah kamu! Bukakanlah aku pintu, aku ingin berbicara denganmu.” Ka’ab
menjawab: “Aku tidak akan melakukannya.”
Huyay bin Akhthab
berkata: “Kamu tidak menutup pintu guna menghindar dariku untuk menjaga
kehormatanmu, tetapi kamu melakukan itu karena kamu takut aku makan bersamamu.”
Perkataan itu telah mengubah hati Ka’ab, sehingga dia mau membukakannya pintu.
Huyay bin Akhthab berkata: “Celakalah kamu, wahai Ka'ab! Aku datang kepadamu
dengan kemuliaan masa dan berakhirnya bencana. Aku datang dengan dukungan kaum
kafir Quraisy yang dipimpin sendiri oleh para pembesar mereka yang telah sampai
di daerah Mujtama' al-Asyal dari arah Rumah, dan juga orang-orang Ghathfan yang
dipimpin sendiri oleh para pembesar mereka yang sudah tiba di daerah Dzanab
Naqma yang berada di sisi Uhud. Mereka telah membuat perjanjian dan kesepakatan
denganku untuk terus-menerus berperang hingga berhasil menghabisi Muhammad dan
pengikutnya.” Ka’ab berkata: “Demi Allah, kamu datang dengan kehinaan masa, dan
dengan awan yang sudah tidak mengandung air. Sehingga adanya halilintar dan
kilat tidak memberikan apa-apa. Celakalah kamu, wahai Huyay! Kamu mengajak aku,
sedang aku harus melakukan sebaliknya. Sebab aku belum pernah melihat Muhammad
kecuali dia setia dan selalu menepati janjinya.”
Huyay dan Ka’ab masih
tenggelam dalam debat kusir, sehingga akhirnya Huyay menyerahkan kepada Ka’ab
untuk memberikan penjanjiannya kepada Allah. Kalau saja kaum Quraisy dan
orang-orang Ghathfan pulang, dan mereka belum berhasil membunuh Muhammad, maka
aku akan bersamamu di rumahmu, sehingga aku merasakan apa yang kamu rasakan.
Kemudian, Ka’ab bin Asad membatalkan perjanjian yang dibuatnya antara dia dan
Rasulullah Saw.
Ketika berita tentang
mereka telah sampai kepada Rasulullah Saw. dan kaum muslimin, maka Rasulullah
Saw. mengutus Sa’ad bin Mu’adz bin Nu’man yang ketika itu dia adalah pemimpin
Aus, dan Sa’ad bin ‘Ubadah bin Dulaim yang ketika itu dia adalah pemimpin Khazraj.
Keduanya ditemani oleh Abdullah bin Rawwahah dan Khowwat bin Jubair. Rasulullah
Saw. bersabda: “Pergilah sehingga kalian melihat, apakah berita tentang mereka
yang telah sampai kepada kami itu benar atau tidak? Jika itu benar, maka
beritahu apa yang kamu ketahui, dan janganlah kalian menghancurkan kekuatan
mereka. Jika mereka masih setia dengan perjanjian yang dibuat antara kami dan
mereka, maka umumkan itu pada mereka.”
Mereka pergi hingga
mereka sampai pada Bani Quraizhah. Mereka mendapatkan Bani Quraizhah lebih
buruk dari berita yang telah sampai pada mereka dan yang mereka terima dari
Rasulullah Saw. Mereka berkata: “Siapa itu Rasulullah, antara kami dan Muhammad
tidak ada perjanjian dan tidak pula kesepakatan.” Sa’ad bin Mu’adz mencaci-maki
mereka, dan mereka balik mencaci-makinya. Seseorang di antaranya berteriak.
Sa’ad bin Ubadah berkata kepadanya: “Kamu tidak usah mencaci-maki mereka, sebab
tidak ada gunanya antara kami dan mereka saling mencaci-maki.”
Kemudian, Sa’ad bin
Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, serta mereka yang bersama keduanya kembali
menghadap Rasulullah Saw. Setelah mereka memberi salam, maka mereka berkata,
“Adhal dan Qarah!” Artinya seperti pengkhianatan orang-orang Adhal dan Qarah di
Ashhabir Raji’: yaitu Khubaib dan teman-temannya. Rasulullah Saw. bersabda: “Allahu Akbar! Sampaikan kabar gembira, wahai
kaum muslimin!”
5. Munculnya Orang-orang Munafik
Ketika itu bencana
besar dan sangat menakutkan, musuh mereka datang dari berbagai penjuru.
Sehingga orang-orang mukmin berpikir yang bukan-bukan, dan kemunafikan
terpancar dari orang-orang munafik. Sampai-sampai Mu’attib bin Qusyair berkata:
“Dahulu Muhammad menjanjikan kami harta simpanan Kisro dan Kaisar. Sekarang,
keluar untuk buang hajat saja salah seorang di antara kami tidak merasa aman.”
Aus bin Qaizhi berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya rumah-rumah kami adalah
aib yang dikuasai musuh -akibat ketamakan mereka, para pemimpinnya- maka
izinkanlah kami pergi dan kembali ke rumah-rumah kami, sebab rumah-rumah kami
berada di luar Madinah.”
Namun Rasulullah Saw.
dan kaum muslimin yang bersama beliau tetap teguh. Sementara kaum musyrikin
terus mengepung selama kurang lebih satu bulan. Namun, di antara mereka tidak
terjadi peperangan, kecuali beberapa serangan lemparan anak panah dan pengepungan
saja.
6. Serangan terhadap Kaum
Muslimin
Rasulullah Saw. dan
kaum muslimin yang bersamanya tinggal di dalam, sedang musuh-musuh mereka
mengepungnya, dan di antara mereka tidak terjadi peperangan. Hanya saja, Amru
bin Wudda al-Amiri yang banyak menderita luka-luka pada saat perang Badar,
sehingga dia tidak mampu ikut serta dalam perang Uhud. Namun, sekarang dia
keluar bersama pasukan sekutu (ahzab). Dia benar-benar menonjolkan diri di
antara manusia dengan memakai tanda tertentu agar orang-orang melihat
keberaniannya dalam berperang. Amru tidak senang dengan suasana tenang dan sepi
seperti ini, dia meminta sekelompok pahlawan-pahlawan dan panglima-panglima
Quraisy, di antara mereka ‘Ikrimah bin Abu Jahal, Hubairah bin Abu Wahab,
Dharrar bin Akhthab asy-Sya’ir agar pergi menyerang tentara Muhammad. Mereka
berharap dengan tindakan ini dapat menarik Muhammad dan para sahabatnya ke
medan peperangan, dan menerobos parit dari tempat yang sempit.
Ali bin Abi Thalib dan
sekelompok kaum muslimin menghadapi mereka. Amru bin Wuddan berjalan kaki dari
kudanya sambil meminta untuk bertanding. Ali bin Abi Thalib tampil
menghadapinya, Ali berkata: “Wahai Amru, sungguh kamu dahulu telah berjanji
kepada Allah, tidaklah seseorang di antara kaum Quraisy mengajakmu pada salah
satu di antara dua kebiasaan, kecuali kamu akan menerimanya.” Amru berkata:
“Benar!” Ali berkata lagi: “Kalau begitu, aku ajak kamu kepada Allah,
Rasul-Nya, dan kepada Islam.” Amru berkata: “Aku tidak butuh itu semua
sekarang.” Ali berkata: “Jika demikian, aku ajak kamu berperang.” Amru berkata:
“Untuk apa, wahai anak saudaraku? Demi Allah, aku tidak ingin membunuhmu.” Ali
berkata: “Tetapi, demi Allah, aku ingin sekali membunuhmu.”
Amru naik darah dan
memukuli kudanya, lalu dia pergi menuju Ali, kemudian keduanya saling
berhadapan dan saling menyabetkan pedangnya, sampai akhirnya Ali berhasil
membunuhnya. Melihat Amru bin Wuddan mati, maka kelompok yang lain lari
terbirit-birit. Sedang slogan para sahabat Rasulullah pada perang Khondak
adalah Hamiim La Yunshoruun.
8. Pertolongan Allah kepada
Rasul-Nya
Allah Swt. mengirim
angin kepada mereka pada malam yang curah hujannya sangat tinggi dan malam yang
dinginnya sangat dingin sekali. Kuali-kuali mereka mulai berterbangan, dan
tenda-tenda mereka tercabut hingga tersapu bersih.
9. Rasulullah sangat serius
mencari tahu berita tentang musuh
Ketika sampai pada
Rasulullah Saw. bahwa mereka telah berselisih dan Allah mencerai-beraikan
persatuan mereka, Rasulullah Saw. menjalankan shalat malam. Kemudian, beliau
memanggil Hudzaifah bin Yaman.
Beliau bersabda
kepadanya: “Wahai Hudzaifah, pergilah, lalu
menyusuplah ke tengah-tengah mereka, selanjutnyaa perhatikan apa yang mereka
kerjakan. Dan kamu jangan melakukan sesuatu apapun sampai kamu kembali kepada
kami.”
Hudzaifah berkata:
“Aku pergi, lalu menyusup ke tengah-tengah mereka. Angin dan tentara Allah
telah menghajar mereka. Kuali, api, dan tenda yang mereka miliki sudah tidak
tersisa lagi.
Abu Sufyan berdiri,
lalu berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, lihatlah orang yang menjadi teman
duduknya.” Hudzaifah berkata: “Lalu aku mengambil tangan orang yang ada di
sampingku. Aku bertanya: “Siapa kamu?” Dia berkata: “Fulan bin Fulan” Kemudian,
Abu Sufyan berkata: “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, sebelum besok pagi
kalian harus sudah berada ke negeri kalian sendiri, (sebab) kuda dan unta telah
lenyap semua, Bani Quraizhah telah mengecewakan kami, telah sampai kepada kami
siapa yang memperdayainya, kami telah berhadapan dengan kekuatan angin seperti
yang kalian lihat sendiri, kami sudah tidak memiliki kuali, tidak dapat
menyalakan api, dan tidak memiliki tenda untuk didiami, pergilah, aku juga akan
pergi.”
Kemudian dia mendekati
untanya yang sedang diikat, lalu duduk di atasnya, dia memukul untanya, dan
untanya baru mau melangkah setelah dipukul tiga kali. Demi Allah, dia tidak
melepaskan ikatan untanya, kecuali dia dalam keadaan berdiri. Kalau saja tidak ada
wasiat Rasulullah Saw. kepadaku: “Kamu jangan
melakukan sesuatu apapun sampai kamu kembali kepadaku,” aku ingin
membunuhnya dengan anak panah.
Hudzaifah berkata:
“Aku kembali kepada Rasulullah, beliau sedang berdiri menjalankan shalat di
atas mirthi milik sebagian istrinya (al-Mirthu adalah pakaian terbuat dari bulu
domba (wol) atau linen atau yang sejenis keduanya. Seorang wanita memakainya sebagai
penutup, yakni dengan pakaian itu seorang wanita menutupi tubuhnya). Ketika
beliau melihat aku, beliau mempersilakan aku masuk, beliau memakaikan ujung
Mirthi kepadaku, kemudian beliau ruku’ dan sujud, sedang aku benar-benar ada di
dekatnya. Ketika beliau telah salam, aku sampaikan berita yang aku peroleh
kepadanya.
Aku mendengar bahwa
orang-orang Ghathfan melakukan seperti yang dilakukan orang-orang Quraisy,
mereka juga kembali ke negeri mereka. Ketika pagi tiba, Rasulullah Saw.
meninggalkan parit (khondak) kembali ke Madinah, kaum muslimin
yang bersamanya juga kembali, dan merekapun meletakkan senjata. (Lihat Lampiran
10, Orang-Orang Yahudi yang Mengelilingi Madinah)
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar