Perubahan Sistem Mata Uang Dunia
2. Mengubah Sistem Mata Uang Dunia
2.1. Pada awal Revolusi Industri, karena adanya kebutuhan yang
mendesak untuk menjamin perluasan industri, Inggris mendirikan sebuah bank yang
berwenang mengedarkan uang yang ditopang jaminan emas. Setelah Perang Dunia I,
AS menguasai 70% cadangan emas dunia. Kemudian pada tahun 1929 terjadilah
depresi dan kemerosotan yang parah di pasar-pasar modal, karena adanya
permainan nilai mata uang oleh negara-negara industri untuk bersaing dalam
ekspor.
Pada tahun 1934, AS
dan negara-negara Eropa mengadakan pertemuan dan menyepakati pembatasan
transfer antar bank dan antar negara hanya dalam mata uang dolar AS dan
poundsterling Inggris, sebagai ganti dari emas.
2.2. Pada tahun 1944, delegasi 44 negara mengadakan pertemuan di
Bretton Woods, dan menyepakati penerimaan dolar sebagai asas untuk menilai mata
uang yang berbeda-beda. Prinsip-prinsip IMF mulai diterapkan, yaitu penetapan
margin tidak lebih dari 1% untuk pengubahan nilai berbagai mata uang. Jika
terjadi ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan, maka akan dilakukan
penaikan atau penurunan nilai mata uang, sebagai hasil perundingan
internasional melalui IMF. AS telah menyetujui untuk mengikat dolar dengan
standar emas pada batas 35 dolar AS untuk 1 ounce emas.
Dengan demikian,
dolar AS telah mendominasi sistem mata uang dan ekonomi dunia.
2.3. Disebabkan beban biaya yang besar sebagai konsekuensi peran
AS secara internasional, berkecamuknya Perang Vietnam, adanya biaya pangkalan-pangkalan
militer dan perlombaan senjata, maka neraca perdagangan AS mengalami defisit.
Maka dari itu, cadangan emas AS pun semakin berkurang hingga tinggal 50 trilyun
dolar AS pada tahun 1970. AS tidak mampu lagi mengkonversi dolar menjadi emas
bila ada permintaan. Maka Inggris segera menurunkan nilai mata uangnya untuk
memukul dolar, mengingat Inggris adalah saingan AS dalam cadangan emas.
Akibatnya, Presiden Nixon pada tahun 1971 menghapuskan keterkaitan dolar dengan
emas, sehingga dolar tak dapat dikonversi lagi menjadi emas. Maka dolar pun
menguasai sistem mata uang dunia dan memaksa Jepang dan Jerman mendukung dolar,
karena kedua negara tersebut mempunyai cadangan emas sangat besar di dunia, di
samping kemerosotan dolar yang drastis tentu akan mengurangi pendapatan kedua
negara tersebut hingga 30%. Jepang mempunyai surplus neraca perdagangan dengan
AS sebesar 15 milyar dolar AS/ tahun, sedang Jerman 11 milyar dolar AS/tahun.
Defisit yang terus
menerus pada neraca perdagangan AS tersebut mengakibatkan jatuhnya harga dolar,
tanpa ada intervensi dari AS. Maka pada tahun 1987 anjloklah dolar secara
dramatis ketika AS menurunkan harga dolar, sebagai reaksi dari tindakan Jerman
menaikkan suku bunga; suatu tindakan yang menyalahi perjanjian Louvre di antara
negara-negara G-7. Para pedagang saham segera beramai-ramai menjual saham
mereka dan terjadilah kerugian internasional yang mencapai lebih dari 200
milyar dolar AS dalam beberapa jam saja.
3. Membentuk Lembaga-Lembaga Ekonomi
Internasional
Sejalan dengan
ide-ide AS yang menyatakan bahwa politik polarisasi dan blok-blok internasional
akan dapat menyulut perang-perang dunia, maka AS bertekad memantapkan prinsip-prinsip
Tata Dunia Baru yang didasarkan pada pembentukan lembaga-lembaga internasional
di bidang politik, ekonomi, kesehatan, peradilan, dan pendidikan. Maka lalu
berperanlah PBB, Dewan Keamanan, IMF, Bank Dunia, Mahkamah Internasional, dan
lembaga-lembaga dunia lainnya.
Penting di sini
kita bahas peran IMF dan WTO dalam upaya AS menguasai ekonomi dunia.
3.1. Peran IMF
(International Monetery Fund) :
IMF berdiri tahun
1944 sesuai perjanjian Bretton Woods, yang menetapkan pembentukan sistem mata
uang internasional. IMF menjalankan 3 (tiga) tugas pokok: (1) Menjaga nilai
tukar (kurs) mata uang, (2) Mengawasi neraca perdagangan, (3) Mengontrol
cadangan mata uang berbagai negara.
Tugas-tugas
tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi AS di muka, yakni adanya
ketidakstabilan nilai tukar dan defisit
dalam neraca perdagangan AS, yang disebabkan oleh peran internasional AS, gaya
hidup orang Amerika yang sangat rakus dan konsumtif, dan terjadinya
krisis-krisis keuangan. Krisis yang terjadi antara lain adanya inflasi yang
terus menerus, dalam arti jumlah uang yang beredar tidak sama dengan barang dan
jasa yang ada, atau sebaliknya, pertambahan uang yang beredar akan menaikkan
harga-harga.
Peran IMF untuk mendominasi
negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, antara lain ditempuh dengan
cara memberikan bantuan dan merekayasa krisis yang menyebabkan kebutuhan akan
hutang. Jika kondisi ini terwujud, IMF akan datang untuk memanfaatkan semua
pengendalian ekonomi, dengan tujuan menghancurkan sisa-sisa kedaulatan dari
banyak negara. Tujuan ini dapat disimpulkan dari pertemuan yang diadakan IMF di
Helifax (Kanada), yang menetapkan prinsip-prinsip untuk memaksakan pengontrolan
terhadap perekonomian berbagai negara di dunia, dan memaksakan syarat-syarat
reformasi ekonomi kepada berbagai negara agar kondisi ekonominya disesuaikan
dengan kehendak IMF, sebagai imbalan dari penjadwalan kembali hutang-hutangnya.
Syarat-syarat itu adalah:
(1) Kebebasan dalam perdagangaan dan penukaran mata uang.
(2) Menurunkan nilai mata uang.
(3) Melaksanakan program penghematan, yang meliputi:
(a) Menetapkan
syarat-syarat untuk peminjaman lokal dengan menaikkan suku bunga, yang akan
mengakibatkan kegagalan kegiatan ekonomi.
(b) Mengurangi belanja
negara dengan meningkatkan pajak dan tarif jasa-jasa, menghentikan subsidi
untuk barang-barang konsumtif, dan tidak menaikkan gaji pegawai negeri.
(c) Menarik modal asing untuk
investasi dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam tata aturannya.
(d) Mengambil sejumlah
kebijakan untuk mengesahkan undang-undang guna mendukung ide swastanisasi, yang
menurut IMF, berguna untuk menggairahkan kegiatan ekonomi.
Swastanisasi ini
dilakukan dengan mengubah sektor publik menjadi sektor swasta, untuk mengurangi
peran negara dan beban biaya sejumlah besar sektor jasa, seperti komunikasi,
transportasi, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. Dengan swastanisasi,
penanganan sektor-sektor tersebut beralih ke pihak swasta. Ini akan melahirkan
dominasi orang-orang kaya untuk menangani sektor-sektor jasa yang sangat vital
itu, yang seharusnya diberikan oleh negara tanpa mengambil keuntungan.
Seharusnya rakyat mendapatkan layanan jasa dengan harga rendah. Tetapi jika
kebijakannya demikian, orang-orang kaya itu akan dapat menetapkan harga sesuai
kepentingan mereka. Maka yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.
Belum lagi adanya kenaikan jumlah pengangguran sebagai akibat pengurangan
tenaga kerja ketika terjadi perubahan sektor publik menjadi sektor swasta. Ini
ditambah lagi dengan pemaksaan ide "globalisasi" yang menjadi sarana
bagi modal asing dan perusahaan asing untuk mengendalikan berbagai peraturan
perundang-undangan, yang bertujuan melindungi perdagangan bebas, investasi, dan
pembukaan pasar-pasar modal untuk bersaing melawan modal asing.
Kebijakan-kebijakan
di bidang ekonomi yang dipaksakan IMF tersebut, sesungguhnya telah melahirkan ancaman serius bagi kedaulatan dan kemandirian berbagai negara. Sebagai contoh, dengan kebijakan pencabutan
subsidi bagi barang-barang kebutuhan pokok dan tidak adanya kenaikan gaji atau
upah, maka yang akan menderita adalah masyarakat banyak. Lalu terjadilah banyak
kekacauan, demonstrasi, dan kerusuhan. Pada saat itulah, negara-negara
kapitalis akan menuntut penerapan ide-ide demokrasi dan kebebasan, sebagaimana
yang pernah terjadi di Yordania dan Maroko, dan juga di negeri-negeri lain.
Berikut ini akan
kami sajikan sebuah contoh kebijakan IMF, untuk membuktikan betapa
kebijakan-kebijakan IMF sebenarnya tidaklah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Bahkan kebijakan-kebijakan ini pada hakikatnya telah menjerumuskan
berbagai negara ke jurang kemelaratan, kesengsaraan, dan kehancuran. Maroko,
sebagai contoh, telah mengadakan reformasi sistem pertanian dengan target
ekspor jeruk nipis dan buah-buahan lain dengan cara memperbaharui jaringan
irigasi. Tapi reformasi ini justru dimanfaatkan oleh para pengusaha besar yang
berkemampuan membeli sarana-sarana pertanian secara kredit. Sementara itu rakyat yang harus memikul beban hutang berikut bunganya. Jelas ini bukan investasi yang
produktif. Hutang Maroko sendiri pada tahun 1970 adalah 18% dari produk
nasionalnya. Kemudian pada tahun 1984, hutangnya telah menjadi 110% dari produk
nasionalnya. Dengan kata lain, telah terjadi penurunan 10% dari seluruh produk
nasional. Bahkan dalam dua tahun saja harga-harga telah naik 86%, dan Maroko
pun yang semula negara pengekspor gandum ke Perancis, berubah menjadi negara
pengimpor gandum sebesar 3 juta ton/tahun.
Perubahan Sistem Mata Uang
Dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar