7. Perang
Mu’tah
(Mu’tah adalah nama
desa (kampung) bagian dari wilayah al-Balqa' di negeri Syam. Sekarang Mu’tah
dikenal dengan nama al-Kark.)
a. Sebab perang Mu’tah
Rasulullah Saw.
mengirim Harits bin Umair al-Azdi kepada penguasa Bashra yang dikuasai Romawi,
Syarhabil bin Amru al-Ghasani untuk menyampaikan risalah Islam dan menyerunya
untuk memeluk Islam. Syarhabil menahan Harits bin Umair al-Azdi, mengikatnya,
dan membunuhnya. Apa yang dilakukan Syarhabil ini merupakan pelecehan yang
besar terhadap Negara Islam yang tidak boleh didiamkan. Untuk itu, Rasulullah
Saw. menyiapkan tentara untuk memberi pelajaran kepada pemimpin bangsa Arab
Syarhabil yang menjual dirinya kepada bangsa Romawi.
b. Tentara Islam
Rasulullah Saw. telah
memperhitungkan bahwa orang-orang Romawi -para pemimpin di balik Syarhabil-
akan bergerak untuk memberikan perlindungan terhadap antek mereka Syarhabil.
Untuk itu, Rasulullah menyusun tentaranya ini dengan setiap potensi yang dimiliki
Negara Islam, sehingga kekuatannya mencapai 3.000 mujahid.
Dan ini merupakan tentara terbesar yang pernah dikirim oleh Rasulullah Saw.
hingga sekarang.
Rasulullah Saw.
menilai bahwa kerugian-kerugian yang akan menimpa tentara ini sangatlah besar.
Tentara ini akan mendapatkan komando dari para pimpinannya. Rasulullah Saw.
mengangkat untuk tentara ini tiga orang pemimpin yang akan menangani
kepemimpinan secara bergantian. Setiap pemimpin terbunuh, maka kepemimpinan
diserahkan kepada pemimpin yang lain sesudahnya. Mereka itu adalah Zaid bin
Haritsah, jika Zaid bin Haritsah gugur maka diganti oleh Ja’far bin Abu Thalib,
dan jika Ja’far bin Abu Thalib gugur maka digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Dalam dunia politik,
reputasi Negara Islam telah mampu mempengaruhi berbagai negeri. Meski terkadang
reputasi dan wibawa Negara Islam tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat
diwujudkan oleh tentara Negara Islam. Karena itu, Rasulullah Saw. tidak menunda-nunda
lagi pengiriman tentara ini, meskipun menurut penilaiannya tidak berimbangnya
kekuatan dan besarnya kerugian yang akan dideritanya, namun beliau harus
mengirimnya demi menjaga reputasi Negara Islam.
Tentara Negara Islam
itu telah mengadakan persiapan, dan mereka bersiap-siap untuk berangkat
menunaikan tugas. Ketika saat keberangkatan tiba, kaum muslimin melepas dan
mengucapkan salam. Ketika mereka melepas Abdullah bin Rawahah bersama para
komandan pasukan yang diangkat Rasulullah Saw., Abdullah bin Rawwahah menangis.
Mereka bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Rawwahah?”
Abdullah bin Rawwahah menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukan karena cintaku
kepada dunia, atau rinduku kepada kalian, namun aku pernah mendengar Rasulullah
Saw. sedang membaca ayat di antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengingatkan
tentang Neraka.
“Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan
mendatangi Neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah
ditetapkan.“ (TQS. Maryam [19]: 71)
Sungguh, aku tidak
tahu bagaimana nasibku setelah kematian.” Kaum muslimin berkata, “Semoga Allah
menyertai kalian, melindungi kalian, dan mengembalikan kalian kepada kami dalam
keadaan selamat.” Kemudian Abdullah bin Rawwahah berkata:
“Namun, aku memohon
kepada ar-Rahman ampunan
Pukulan keras hingga
darah bermuncratan
Atau tikaman dari
kedua tangan bajingan
Dengan tombak yang
menembus usus dan hati pembawa kematian
Sehingga, saat mereka
melewati kuburanku, mereka mengatakan
Allah membimbing para
pejuang, dan ia telah mendapatkan”
Tentara kaum muslimin
berjalan hingga sampai di Mu’an bagian dari wilayah Syam. Di Mu’an ini tentara
kaum muslimin mendapatkan informasi bahwa Herakleus telah tiba di Ma’ab bagian
dari wilayah al-Balqa' dengan membawa pasukan berkekuatan 100.000 Romawi ditambah
100.000 tentara gabungan dari Judzam, al-Qain, Bahra', dan Bali yang bergabung
dengan mereka. Setelah kaum muslimin mendengar informasi tersebut, mereka
tinggal di Mu’an selama dua malam sambil memikirkan rencana mereka selanjutnya.
Sebagian dari mereka
berkata, “Kita kirim surat kepada Rasulullah Saw. dan kita jelaskan tentang
kekuatan musuh, agar beliau mengirim bantuan personel atau menyuruh kita
kembali.” Abdullah bin Rawwahah memotivasi mereka dengan berkata, “Wahai kaum muslimin, demi Allah, sesuatu yang kalian
takuti pada hakikatnya adalah sesuatu yang kalian minta selama ini, yaitu mati
syahid. Kita tidak memerangi musuh karena besarnya jumlah kita, kuatnya kita,
tidak pula karena banyaknya kita, namun kita memerangi mereka karena agama
Islam yang dengan agama ini Allah memuliakan kita. Berangkatlah kalian, niscaya
kalian mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau mati syahid.”
Kaum muslimin berkata, “Sungguh demi Allah, Abdullah bin Rawwahah berkata
benar.”
Demikian inilah
perkataan Abdullah bin Rawwahah ra. yang dibakar oleh semangat keimanan,
kejujuran, dan rindunya yang amat sangat terhadap Surga. Namun, perkataannya
ini dianggap membahayakan tentara kaum muslimin. Sekiranya Rasulullah Saw.
tahu, tentu beliau tidak menyetujuinya. Alasannya, apa yang terjadi setelah
itu, Rasulullah Saw. menganggap baik penarikan mundur Khalid bin Walid dan
pasukannya dari medan pertempuran yang membinasakan ini. Dengan penarikan
mundur itu, Rasulullah Saw. memberi mereka pendapat lain, dengan resiko
kerugian lebih sedikit, namun reputasi Negara Islam tetap terjaga.
c. Konflik bersenjata
Setelah kaum muslimin
bertekad untuk menghadapi pasukan yang bergemuruh dari musuh-musuh Negara
Islam, kaum muslimin terus berjalan. Ketika mereka sampai di perbatasan
al-Balqa’, tepatnya di desa Masyarif, mereka bertemu pasukan Romawi
dan pasukan gabungan bangsa Arab. Lalu kedua belah pihak saling mendekat, namun
kaum muslimin pindah ke desa Mu’tah. Di sanalah kedua belah pihak bertemu.
Kaum muslimin telah
bersiap-siap untuk menghadapi mereka dengan menunjuk salah seorang dari Bani
Udzrah bernama Quthbah bin Qatadah sebagai komando pasukan sayap kanan, dan
salah seorang dari kaum Anshar bernama Abayah bin Malik sebagai komando pasukan
sayap kiri. Kemudian kedua belah pihak bertemu, dan lalu saling serang.
Zaid bin Haritsah
bertempur dengan membawa bendera Rasulullah Saw. hingga ia menderita banyak
luka-luka, dan mengalami pendarahan yang sangat, akhirnya ia pun bertemu Allah
sebagai syahid. Kemudian, Ja’far bin Abu Thalib mengambil bendera Rasulullah
Saw. tersebut, lalu Ja’far bertempur dengan membawa bendera Rasulullah sambil
menunggang kudanya yang berwarna pirang. Akan tetapi, tidak lama kemudian,
Ja’far turun dari kudanya dan menyembelihnya. Lalu Ja’far menyerang musuh
hingga gugur. Ja’far bin Abu Thalib berkata:
“Betapa indah dan
telah dekatnya Surga
Keadaannya nyaman dan
segar minumannya
Orang-orang Romawi itu
sinting dekat sekali siksanya
Mereka itu kafir jauh
dari sanak keluarganya
Aku harus menyerangnya
jika aku menjumpainya”
Ibnu Hisyam
menceritakan bahwa Ja’ar bin Abu Thalib memegang bendera dengan tangan
kanannya, setelah tangan kanannya terputus, ia memegangnya dengan tangan
kirinya, dan setelah tangan kirinya terputus, ia mendekapnya dengan kedua
lengannya, hingga akhirnya Ja’far ra. gugur dalam usia 30 tahun. Allah Swt.
memberinya pahala dalam bentuk dua sayap, sehingga dengan dua sayap itu ia
dapat terbang ke manapun ia mau.
Ketika Ja’far bin Abu
Thalib gugur, Abdullah bin Rawwahah mengambil alih bendera perang. Dengan
memegang bendera perang, ia terjun ke medan perang dengan menunggang kudanya.
Karena ia agak ragu-ragu, maka ia mendorong dirinya dengan untaian-untaian kata
berikut ini:
“Wahai diriku, aku
bersumpah, terjunlah ke medan perang
Atau aku memaksamu
terjun, meski kamu tidak senang
Mereka berteriak dan
berkumpul mengeluarkan gema
Namun aku melihatmu
sedang membenci Surga
Sudah sekian lama
engkau merasakan keadaan tenang
Tidakkah engkau ini
hanya setetes air mani dalam kantong air usang”
Abdullah bin Rawwahah
berkata juga:
“Wahai diriku, jika
engkau tidak terbunuh, engkau tetap akan mati
Inilah keranda
kematian telah menanti
Apa yang engkau
harapkan telah diberikan
Jika engkau melakukan
aktivitas keduanya, maka akan engkau dapati bimbingan”
Setelah itu, Abdullah
bin Rawwahah terjun ke medan perang. Di medan perang ini ia melakukan kebaikan.
Dalam kitab sirah (sejarah hidup Nabi
Saw.) disebutkan bahwa Abdullah bin Rawwahah menyendiri di suatu tempat untuk
beristirahat, lalu ia didatangi oleh sepupunya yang membawa daging. Sepupunya
berkata: “Kuatkan badanmu dengan daging ini, karena aku lihat kamu lapar sejak
beberapa hari ini.” Abdullah bin Rawwahah mengambil daging tersebut dari tangan
sepupunya, dan mengangkatnya ke mulut, namun sebelum daging itu sampai ke
mulutnya, ia mendengar suara orang-orang yang sedang bertempur. Ia pun membuang
daging itu dari tangannya, dan berkata: “Hai daging, kamu hanya untuk dunia.”
Kemudian, ia mengambil pedangnya, lalu terjun ke medan perang dan bertempur
hingga gugur.
Setelah Abdullah bin
Rawwahah gugur, bendera perang diambil-alih oleh Tsabit bin Aqram saudara Bani
al-Ajlan. Ia berkata: “Wahai kaum muslimin, angkatlah salah seorang dari kalian
yang kalian sepakati untuk menjadi komandan pasukan.” Kaum muslimin berkata:
“Engkaulah orangnya.” Tsabit bin Aqram berkata: “Aku tidak siap.”
Akhirnya, kaum
muslimin sepakat mengangkat Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan mereka.
Setelah Khalid bin Walid memegang bendera perang, ia menyerang musuh dan
bertempur dengan mereka sore hari. Setelah senja hari, Khalid memerintahkan
pasukannya bertahan di tempatnya.
Khalid mengutus
orang-orang yang akan menebarkan debu dari jauh, sehingga musuh mengira bahwa
Khalid mendapat bantuan personel yang banyak. Setelah pagi tiba, Khalid mulai
menyerang musuh, kemudian mundur. Sehingga musuh menduga yang tidak-tidak.
Dengan demikian, kekalahan di pihak pasukan musuh,
sedang kemenangan di pihak pasukan kaum muslimin.
d. Rasulullah diberitahu tentang
syahidnya para komandan perang
Sampai wahyu kepada
Rasulullah tentang musibah yang menimpa pasukan kaum muslimin di Mu’tah. Sedang
yang syahid di antara pasukan kaum muslimin adalah para komandan perangnya.
Musibah itu diceritakan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya.
Rasulullah Saw.
bersabda, “Bendera perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, kemudian ia
bertempur hingga gugur sebagai syahid, lalu bendera perang diambil alih oleh
Ja’far bin Abu Thalib, kemudian ia bertempur hingga gugur sebagai syahid.” Lalu
Rasulullah Saw. diam sehingga wajah orang-orang Anshar tampak berubah. Mereka
menyangka bahwa sesuatu yang tidak mereka senangi telah terjadi pada Abdullah
bin Rawwahah. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda lagi, “Kemudian bendera perang
diambil alih oleh Abdullah bin Rawwahah, kemudian ia bertempur hingga gugur
sebagai syahid.” Rasulullah Saw. bersabda lagi, “Dalam mimpiku, aku melihat
mereka di Surga berada di atas singgasana dari emas. Aku lihat singgasana
Abdullah bin Rawwahah agak berbeda dari singgasana dua sahabatnya. Melihat itu
aku bertanya, “Mengapa singgasana Abdullah bin Rawwahah agak berbeda?” Lalu aku
diberitahu bahwa Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abu Thalib keduanya bertempur
tanpa ragu, sedang Abdullah bin Rawwahah agak ragu-ragu, kemudian ia bertempur.”
e. Kembali ke Madinah
al-Munawwarah
Khalid bin Walid ra.
mengumpulkan pasukannya dan membawa mereka kembali ke Madinah al-Munawwarah.
Ketika pasukan Islam mendekati Madinah, Rasulullah Saw. bersama kaum muslimin
menyambut mereka, sedang anak-anak berlarian ikut menyambut mereka. Rasulullah
Saw. datang menyambut mereka bersama kaum muslimin dengan mengendarai kuda.
Beliau bersabda, “Ambillah anak-anak, lalu bawa mereka, dan berikan kepadaku
anak Ja’far.”
Abdullah bin Ja'far
dibawa kepada Rasulullah Saw., kemudian beliau mengambilnya dan membawanya
dengan menaruhnya di depan beliau. Kaum muslimin mulai menaburkan debu di depan
pasukan Islam sambil berkata, “Wahai orang-orang yang melarikan diri, kalian melarikan
diri dari jalan Allah.” Rasulullah Saw. bersabda “Mereka
tidak melarikan diri, namun mereka itu mundur kemudian menyerang kembali insya
Allah.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar