BAB
IV MEMPROKLAMIRKAN BERDIRINYA NEGARA ISLAM
A. Persiapan Untuk
Memproklamirkan Berdirinya Negara Islam
Setelah Rasulullah
Saw. sampai di Madinah al-Munawwarah, maka beliau mulai menyiapkan berbagai
persiapan untuk memproklamirkan berdirinya Negara Islam sebagai sebuah
institusi politik di antara institusi-institusi politik di dunia, serta sebagai
suatu kekuatan yang akan menolong dan melindungi semua orang yang berlindung
dan hidup di bawah naungannya, dan sebagai sebuah kekuasaan yang akan mengawasi
mereka.
1. Menyiapkan Sentral Negara
yang Resmi
Rasulullah Saw. mulai
membangun masjid sebagai sentral negara yang resmi. Dari sentral negara yang
resmi ini diundangkan undang-undang, di dalam sentral negara yang resmi ini
semua persoalan didiskusikan, dari sentral negara yang resmi ini disiarkan semua
keterangan, dan di dalam sentral negara yang resmi ini diselesaikan setiap
bentuk pertengkaran dan permusuhan.
2. Pengorganisasian Situasi dan
Kondisi Secara Internal
Setelah Rasulullah
Saw. memasuki Madinah al-Munawwarah, dan beliau sudah bertekad bulat untuk
mendirikan Negara Islam di Madinah, maka beliau harus menciptakan keamanan dan
stabilitas di dalam Madinah, agar beliau sendiri dan orang-orang yang ada di
sekitar beliau mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk membangun Negara
Islam, dan agar mereka tidak disibukkan atau dihambat oleh gangguan-gangguan
internal yang menjadikan mereka lupa akan tugas membangun Negara Islam, yaitu
negara yang akan menjadi pelindung yang sebenarnya bagi agama Allah.
Mengingat di Madinah
terdapat kaum Anshar yang hidupnya telah dilelahkan oleh berbagai perselisihan
dan pertengkaran antara Suku Aus dan Khazraj. Di samping itu di Madinah
terdapat komunitas Yahudi, mereka merupakan komunitas yang tidak dapat
dipercaya, sebab jiwa mereka dipenuhi oleh perasaan benci terhadap agama baru
(Islam). Mereka telah dikenal berusaha menggagalkan agama baru dengan berbagai
cara-cara mereka yang kotor. Di Madinah juga terdapat kaum Muhajirin, mereka
datang dari Mekkah al-Mukarramah, yang demi agamanya mereka lari kepada Allah.
Rasulullah Saw. dengan
pandangan politiknya yang cemerlang dan pengaturannya yang baik terhadap
berbagai persoalan ternyata beliau mampu mengendalikan semua persoalan, dan
mampu merajut persatuan kelompok yang ada, sehingga menjadikan mereka sangat
loyal dengan kepemimpinannya.
c. Memecahkan Persoalan
Orang-Orang Muhajirin
Ketika orang-orang
Muhajirin meninggalkan negeri mereka Mekkah, mereka tidak membawa harta benda,
sebab harta benda mereka semuanya ditinggalkan di Mekkah, maka di saat mereka
telah berada di Madinah, mereka tidak memiliki rumah yang akan mereka diami, serta
mereka tidak memiliki harta benda yang akan membantu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan demikian, Rasulullah Saw. harus sesegera
mungkin melakukan langkah-langkah pengaturan ekonomi, di samping pengaturan
masalah politik dan sosial kemasyarakatan. Untuk itu, Rasulullah Saw.
mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dengan orang-orang Anshar.
Rasulullah Saw.
bersabda: “Jadikanlah kalian saudara karena Allah dua orang-dua orang.”
Kemudian, beliau mengambil tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Ini
saudaraku.” Dengan demikian, Rasulullah Saw. penghulu para rasul, pemimpin
orang-orang yang bertakwa, utusan Tuhan semesta alam, manusia yang tiada duanya
dan tiada bandingannya di antara hamba-hamba-Nya bersaudara dengan Ali bin Abi
Thalib ra.
Hamzah bin Abdul
Muththalib singa Allah, singa Rasulullah Saw., dan sekaligus paman Rasulullah
Saw. bersaudara dengan Zaid bin Haritsah budak Rasulullah Saw. sehingga pada
waktu perang Uhud, ketika Hamzah memasuki medan pertempuran, dia berwasiat,
jika dia mengalami peristiwa yang menghantarkannya pada kematian, maka
sampaikan peristiwa ini kepada Zaid.
Ja’far bin Abi Thalib
yang memiliki dua sayap burung di Surga bersaudara dengan Mu’adz bin Jabal
saudara laki-lakinya Bani Salamah.
Abu Bakar ash-Shiddiq
ra. bin Abi Quhafah bersaudara dengan Kharijah bin Zuhair.
Umar bin Khaththab
bersaudara dengan ‘Itban bin Malik.
Abu Ubaidah bin Jarrah
bersaudara dengan Sa’ad bin Mu’adz.
Abdurrahman bin Auf
bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi’.
Zubair bin Awwam
bersaudara dengan Salamah bin Salamah bin Waqsy.
Utsman bin Affan
bersaudara dengan Aus bin Tsabit bin Mundzir.
Thalhah bin Ubaidillah
bersaudara dengan Ka’ab bin Malik.
Su'aid bin Zaid bin
Amru bin Nufail bersaudara dengan Ubay bin Ka'ab.
Mush'ab bin Umair
bersaudara dengan Abu Ayyub Khalid bin Zaid.
Abu Hudzaifah bin
‘Utbah bersaudara dengan ‘Abbad bin Basyar.
‘Ammar bin Yasir
bersaudara dengan Hudzaifah bin al-Yaman.
Abu Dzar al-Ghifari
bersaudara dengan Mundzir bin ‘Amru.
Hathib bin Abi
Balta'ah bersaudara dengan ‘Uwaim bin Sa’idah.
Salman al-Farisi
bersaudara dengan Abu Darda.
Bilal budak Abu Bakar
bersaudara dengan Abu Ruwaihah.
Berangkat dari
persaudaraan ini, maka mulailah salah seorang di antara orang-orang Anshar
memberikan kepada saudaranya orang Muhajirin sebagian harta bendanya yang dapat
menolong memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada perhitungan sedikitpun, dan
di antara mereka mulai memberi warisan kepada yang lain, sebab di antara
keduanya ada hubungan kekeluargaan yang telah diikat oleh Rasulullah Saw.
Hal yang demikian itu
terus berlangsung hingga turunnya firman Allah Swt.:
“Dan orang-orang yang
beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang itu
termasuk golonganmu juga. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (TQS.
al-Anfaal [8]: 75)
Islam telah menghapus
kebiasaan waris-mewarisi berdasarkan hubungan persaudaraan yang terkait dengan
Islam. Selanjutnya, Islam menetapkan waris-mewarisi berdasarkan hubungan
kekerabatan yang terkait dengan nasab.
Dengan demikian,
Rasulullah Saw. telah selesai memperbaiki situasi dan kondisi internal,
sehingga keadaan aman dan damai mewarnai seluruh wilayah Negara Islam yang
sedang berkembang.
3. Mempotensikan Semua Dukungan
yang Dapat Diandalkan
Setelah memperhatikan
dengan seksama, maka Rasulullah Saw. mendapatkan bahwa Negara Islam yang akan
beliau dirikan sangat membutuhkan setiap kekuatan yang dapat diandalkan, setiap
pemikiran yang bersih dan setiap hati yang ikhlas, agar semuanya bersatu-padu
saling membantu dalam membangun Negara Islam. Sebab, negara Islam yang masih
muda ini memiliki tugas yang sangat besar, yaitu mengemban misi kebangkitan dan
perbaikan
manusia. Sedang semua itu tidak mungkin dicapai, kecuali dengan menggunakan
setiap potensi manusia yang ikhlas dalam menjalankannya.
Rasulullah Saw.
memohon bimbingan dan arahan kepada Tuhannya, agar kaki tidak terperosok,
pikiran tidak menyimpang
dari ketentuan, dan persoalannya tidak berjalan lambat. Akhirnya turun firman
Allah Swt. yang memerintahkan kepada setiap orang yang telah mengatakan “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu utusan Allah”
di manapun dia berada agar berhijrah ke Madinah al-Munawwarah. Allah Swt.
berfirman:
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah.” (TQS. al-Anfaal [8]: 72)
Rasulullah Saw.
mengumumkan bahwa komunitas orang-orang Islam yang ada dalam Negara Islam tidak
bertanggung-jawab atas setiap orang yang tidak berhijrah dan tidak bergabung
kepada mereka, setiap orang yang tidak berhijrah tidak berhak mendapatkan
sesuatu di antara harta hasil rampasan perang, sebelum dia berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan bergabung kepada komunitas orang-orang Islam yang
berada dalam kekuasaan
Negara Islam.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar