c. Keinginan (Jahat) Hudzail
Terhadap Negara Islam
Pada bulan Shafar,
tahun keempat Hijriyah datang kepada Rasulullah Saw. rombongan dari 'Adlol dan
al-Qorroh. Mereka berkata: “Di tengah-tengah kami banyak yang Islam, untuk itu
kirimlah bersama kami beberapa orang di antara para sahabatmu yang akan mengajari
kami tentang agama, al-Qur'an, dan syari'at-syari'at Islam.” Kemudian,
Rasulullah Saw. mengirim bersama mereka beberapa orang di antara para
sahabatnya. Mereka itu adalah Martsad bin Abi Martsad, Khalid bin al-Bukair,
'Ashim bin Tsabit, Khubaib bin ‘Adi, Zaid bin ad-Datsnah, dan Abdullah bin
Thariq. Rasulullah Saw. mengangkat Martsad bin Abi Martsad untuk menjadi
pemimpin mereka. Mereka pergi bersama rombongan itu.
Ketika mereka sampai
di ar-Raji’ -yaitu mata air milik Hudzail dari arah Hijaz menuju al-Had’ah
(Al-Had'ah adalah tempat antara 'Asfan dan Makkah)- rombongan itu berkhianat.
Mereka berteriak minta tolong kepada Hudzail. Mereka tidak peduli dan tetap
berada di atas kendaraannya, meski di sekitarnya orang-orang yang memegang
pedang telah mengkhianatinya.
Mereka mengambil
pedangnya untuk membunuh mereka. Mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak ingin
membunuh kalian. Akan tetapi, dengan kalian ini kami ingin mendapatkan sesuatu
dari penduduk Makkah. Dengan kalian ada janji Allah agar kami tidak membunuh kalian.”
Martsad bin Abi
Martsad, Khalid bin al-Bukair, ‘Ashim bin Tsabit berkata: “Demi Allah,
selamanya kami tidak menerima perjanjian dan kesepakatan dari orang musyrik.”
Lalu, ‘Ashim bin Tsabit berkata:
“Aku pemanah hebat
yang tidak tertandingi
Anak panahnya sangat
keras mematikan sekali
Ketika mata tombak
yang panjang dari sarangnya lari
Mati pasti, hidup
jangan diharap lagi
Setiap yang
ditakdirkan Tuhan pasti terjadi
Bahkan padanya
seseorang akan mendekat sendiri”
Kemudian mereka
memeranginya, sehingga dua orang sahabat terbunuh. Ketika ‘Ashim telah
terbunuh, maka Hudzail hendak mengambil kepalanya untuk dijual kepada Salafah
bintu Sa’ad bin Syahid -yang telah bernadzar ketika kedua anaknya terbunuh pada
saat perang Uhud: “Kalau saja aku mampu memenggal kepala ‘Ashim, niscaya aku
akan meminum khomer dengan tengkorak kepalanya”- namun lebah-lebah yang
berkerumun menghalanginya. Ketika mereka bebas dari lebah-lebah itu, mereka
berkata: “Biarkan hingga sore, kalau lebah-lebahnya sudah pergi kita ambil.”
Kemudian Allah mengirim lebah, sehingga akhirnya ‘Ashim menghilang bersamanya.
Sedangkan Zaid bin
ad-Datsnah, Khubaib bin ‘Adi, dan Abdullah bin Thariq, maka mereka lebih
memilih bersikap lemah lembut dan mengutamakan hidup, sehingga mereka mau
memberikan tangannya, dan rela menjadi tawanan. Kemudian mereka dibawa ke
Makkah untuk dijual. Ketika mereka sampai di azh-Zhahran, Abdullah bin Thariq
berhasil melepaskan tangannya dari ikatan, lalu dia mengambil pedangnya, namun
orang-orang yang tertinggal melemparinya dengan batu sampai akhirnya dia -rahimahullah- meninggal.
Khubaib bin ‘Adi dan
Zaid bin Datsnah berhasil mereka bawa sampai di Makkah. Orang-orang kafir
Quraisy membeli kedua tawanan itu dari Hudzail ketika keduanya ada di Makkah.
Zaid bin Datsnah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuhnya sebagai balas
dendam ayahnya, Umayyah bin Khalaf. Shafwan mengajak budaknya yang bernama
Nisthas membawa Zaid bin Datsnah ke at-Tan'im (At-Ta’nim adalah tempat antara
Makkah dan Saraf. Jaraknya kira-kira 16 km dari Makkah). Mereka membawa Zaid
keluar Makkah untuk membunuhnya. Sekelompok kaum kafir Quraisy berkumpul, di
antara mereka Abu Sufyan bin Harb.
Abu Sufyan bin Harb
ketika mendekat untuk membunuhnya berkata: “Bersumpahlah atas nama Allah, wahai
Zaid relakah kamu jika Muhammad sekarang ada pada kami berada di tempatmu ini,
lalu kami memenggal lehernya, sedang kamu diam saja berada bersama keluargamu?”
Zaid berkata: “Demi Allah, aku sama sekali tidak akan rela jika Muhammad
sekarang berada di tempatmu, orang-orang akan menghabisi dan menyiksanya,
sedang aku hanya diam saja berada bersama keluargaku.” Abu Sufyan berkata: “Aku
belum pernah melihat seseorang di antara manusia yang mencintai orang lain
seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” Lalu, Nisthas
membunuhnya-rahimahullah.
Sedang, Khubaib dibeli
oleh Hujair bin Abi lahab untuk ‘Aqobah bin Harits bin Amir agar dibunuhnya
sebagai balas dendam ayahnya. Hujair menahan Khubaib di tempat budaknya,
Mawiyah -yang telah masuk Islam.
Mawiyah berkata: “Khubaib ditawan di rumahku. Suatu hari aku melihatnya,
ternyata di tanganya ada setangkai anggur sebesar kepala manusia yang sedang
dia makan. Aku tidak tahu dari bumi Allah mana anggur yang sedang dia makan.”
Ketika hampir dibunuh dia berkata kepadaku: “Beri aku potongan besi yang
dengannya aku akan bersuci sebelum dibunuh.” Lalu aku memberi sebilah pisau
kepada anak muda dari kampung. Aku berkata: “Pergi dengan membawa pisau ini
pada orang di rumah itu.” Dia berkata: “Demi Allah, tidaklah dia itu, kecuali
dia pasti datang dengan membawa pisau.” Aku berkata: “Apa yang akan kamu
perbuat harus benar sasarannya. Demi Allah, seseorang akan membalas dendam
dengan membunuh anak muda ini, sehingga seseorang dibunuh karena membunuh
seseorang. Namun, ketika ia membawa potongan besi itu, maka aku mengambilnya
dari tanganya.” Kemudian dia berkata: “Demi hidupku, jangan khawatir aku tidak
akan berkhianat, di saat kamu mengirim potongan besi kepadaku.” Lalu dia pergi.
Mereka membawa Khubaib
untuk menyalibnya. Ketika sampai di at-Tan’im, Khubaib berkata kepada mereka:
“Kerjakan apa yang ingin kalian kerjakan, setelah aku mendirikan shalat dua
rakaat.” Mereka berkata: “Silakan dirikan shalat.” Lalu dia dirikan shalat dua
rakaat dengan sempurna dan baik. Kemudian Khubaib menghadap mereka dan berkata:
“Demi Allah, sekiranya aku tidak khawatir bahwa kalian menyangka apa yang aku
lakukan hanyalah untuk mengulur-ulur waktu saja karena takut dibunuh, niscaya
aku akan memperbanyak shalat.” Khubaib bin ‘Adi adalah orang pertama yang
menjalankan dua rakaat ini ketika kaum muslimin hendak dibunuh. Kemudian,
mereka menaikkan Khubaib ke atas potongan kayu. Ketika mereka telah
mengikatnya, Khubaib berkata: “Ya Allah, sungguh kami telah menyampaikan
risalah utusan-Mu, sampaikan kepadanya besok pagi apa yang terjadi dengan
kami.” Lalu dia berkata lagi: “Ya Allah, lemahkan kekuatan mereka, bunuhlah
mereka dalam keadaan tercerai-berai, dan jangan biarkan seorangpun dari mereka
yang selamat!” Kemudian, mereka membunuhnya-rahimahullah.
Mu'awiyah bin Abi
Sufyan berkata: “Suatu hari aku turut hadir di antara orang-orang yang hadir
bersama Abu Sufyan bin Harb, sungguh aku lihat dia menyampaikan kepadaku
tentang adanya perpecahan di suatu daerah akibat do’a Khubaib. Mereka berkata:
“Jika seseorang dido'akan jelek oleh Khubaib maka berbaringlah di lambungnya,
niscaya keburukan itu tidak akan jadi kenyataan.” Umar bin Khaththab
mempekerjakan Sa’id bin Amir bin Hidzyam al-Jumahi sebagai amil, di sebagian Wilayah Syam. Dia pingsan
ketika berada di tengah-tengah mereka. Lalu dia menceritakan hal itu kepada
Umar bin Khaththab. Dikatakan bahwa orang itu mengalami kesulitan. Ketika dia
menghadap Umar, Umar bertanya: “Apa yang terjadi denganmu?” Dia berkata: “Demi
Allah, wahai Amirul Mukminin, tidak ada masalah denganku. Akan tetapi, aku
berada di antara orang-orang yang (dahulu) hadir ketika Khubaib bin Adi dibunuh
dan aku juga mendengar do'anya. Demi Allah, tidak ada yang aku ingat lagi di
tempat itu, sebab aku pingsan.” Dengan demikian, bertambahlah kebaikan di sisi
Umar.
Ibnu Abbas berkata:
“Ketika musibah menimpa pasukan yang di dalamnya ada Martsad dan ‘Ashim di
ar-Raji’, orang-orang di antara orang-orang munafik berkata: “Demikianlah,
celaka mereka orang-orang yang gila, mereka tidak tinggal diam bersama
keluarganya, dan mereka tidak menunaikan risalah sahabat mereka.” Sehingga
turunlah ayat yang berkaitan dengan perkataan orang-orang munafik:
“Dan di antara manusia
ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan
di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, sedang Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan
kepadamu: “Bertakwalah kepada Allah, ” maka bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) Neraka Jahannam. Dan
sungguh Neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan
Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 204-207)
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan
Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar