d. Rasulullah bersiap-siap untuk
perang
Rasulullah Saw.
memerintahkan kaum muslimin agar bersiap-siap untuk berperang. Namun, beliau
tidak memberitahu seorangpun tujuan yang menjadi target serangan. Sehingga Abu
Bakar pergi ke rumah putrinya, Aisyah, istri Rasulullah. Abu Bakar bertanya
kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah memerintahmu menyiapkan perbekalan yang
diperlukan beliau?” Aisyah menjawab, “Ya.” Abu Bakar bertanya lagi, “Tahukah
engkau ke mana beliau akan pergi?” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tidak
tahu.”
Tidak lama setelah
itu, Rasulullah Saw. memberitahukan para tentaranya bahwa beliau hendak pergi
ke Makkah, benteng kemusyrikan dan kaum musyrikin. Kemudian, beliau mengangkat
kedua tangannya ke langit, lalu berdo’a, “Ya Allah, rahasiakan informasi ini dari
orang-orang Quraisy, agar kami bisa menyerang mereka dengan tiba-tiba di negeri
mereka sendiri.”
Di Makkah Hathib bin
Abu Balta'ah memiliki sanak keluarga dan harta benda yang melimpah. Hathib
ingin tetap menguasainya. Hathib membuat surat untuk kaum Quraisy yang isinya
memberitahukan tentang perginya Rasulullah menuju mereka. Hathib menyerahkan
surat ini kepada budak perempuan milik salah seorang Bani Abdul Muththalib,
namanya Sarah, yang berprofesi sebagai penyanyi. Hathib memberi Sarah upah, dan
menyuruh Sarah menyampaikan surat tersebut kepada kaum Quraisy. Hathib
melakukan itu, karena ia ingin berjasa kepada kaum Quraisy. Sehingga, apabila
kemenangan di pihak Rasulullah, maka ia tetap beruntung sebagai salah seorang
di antara kaum muslimin, dan harta bendanya pasti kembali kepadanya. Dan jika
kemenangan di pihak kaum Quraisy, maka ia telah berjasa, untuk itu ia berharap
kaum Quraisy dapat berbuat adil dengan mengembalikan harta bendanya. Sarah
mengambil surat tersebut, lalu meletakkannya di antara lipatan rambutnya dan
mengepang ujung-ujungnya. Kemudian, Sarah pergi meninggalkan Madinah.
Rasulullah Saw.
mendapat informasi tentang perbuatan Hathib bin Abu Balta’ah tersebut. Untuk
itu, beliau mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam. Beliau bersabda
kepada keduanya, “Kejarlah wanita yang membawa surat Hatib bin Abu Balta’ah
yang berisi informasi kepada orang-orang Quraisy tentang rencana kita terhadap
mereka.” Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam berangkat dan berhasil
mengejarnya. Keduanya langsung menggeledah kendaraannya untuk mencari surat
tersebut, namun tidak menemukan apa-apa.
Ali bin Abi Thalib
berkata kepada wanita tersebut, “Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa
Rasulullah Saw. tidak berkata dusta dan kita tidak mendustakannya. Serahkan
surat itu kepada kami atau kami akan menelanjangimu.” Ketika wanita tersebut
melihat bahwa Ali bin Abu Thalib sungguh-sungguh, ia berkata “Berpalinglah
dariku.” Ali bin Abu Thalib pun berpaling. Wanita itu segera membuka kepang
rambutnya, mengeluarkan surat, dan menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Ali bin Abi Thalib menyerahkan surat tersebut kepada Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw.
memanggil Hathib bin Abu Balta’ah dan bersabda, “Wahai Hathib, apa yang
mendorongmu melakukan hal itu?” Hathib bin Abu Balta'ah menjawab, “Wahai
Rasulullah, demi Allah, aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak
berubah dan tidak berganti agama. Hanya saja aku orang yang tidak mempunyai
asal-usul di Quraisy, sedangkan anak dan keluargaku ada di tempat mereka. Oleh
karena itu, aku mengambil muka terhadap mereka.” Umar bin Khaththab berkata,
“Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang ini, karena ia telah
munafik.” Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Umar, engkau tidak tahu apa yang
akan terjadi, barangkali Allah melihatnya seperti para mujahid Badar pada saat
perang Badar, kemudian Allah berfirman, “Kerjakan apa saja yang kalian
inginkan, karena Aku telah mengampuni kalian.”
Terkait dengan kasus
Hathib bin Abu Balta’ah ini, Allah Swt. menurunkan wahyu yang terdapat pada
awal surat al-Mumtahanah.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada
Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan
secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih
sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. Dan siapa saja di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya
dia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya
mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka
kepadamu dengan menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.
Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfaat bagimu pada hari
Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami
dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman
kepada Allah saja.” (TQS. al-Mumtahanah [60]: 1-4) hingga akhir kisah.
e. Berjalan menuju Makkah
Rasulullah saw.
berjalan menuju Makkah. Dan, sebagai imam sementara di Madinah, beliau menunjuk
Abu Rahn Kultsum bin Hushain al-Ghifari. Beliau berangkat pada tanggal sepuluh
Ramadhan, tahun kedelapan Hijriyah. Dengan demikian, beliau dan kaum muslimin yang
bersamanya berpuasa. Namun, membatalkan puasanya ketika beliau dan kaum
muslimin tiba di al-Kudaid, yaitu tempat antara Usfan dan Amaj. Kemudian
Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanannya hingga beliau sampai di Marru
adz-Dzahran bersama sepuluh ribu kaum muslimin. Mereka terdiri dari kaum
Muhajirin dan kaum Anshar, sebab tidak seorangpun dari mereka yang tidak ikut,
seribu dari kabilah Muzainah, dan hampir seribu dari Bani Sulaim.
Meski beliau dan kaum
muslimin telah berada di Marru adz-Dzahran, kaum Quraisy tidak mengetahui
informasi sama sekali tentang kedatangan beliau, sehingga kaum Quraisy tidak
menyadari apa yang akan beliau lakukan. Di sana (Marru adz-Dzahran), beliau
meminta pamannya, Abbas bin al-Muththalib mencarikan seorang dari kaum
musyrikin, di antara mereka yang berkeperluan, seperti para penjual kayu bakar,
para penjual susu, dan yang lainnya agar mereka menyampaikan informasi kepada
kaum Quraisy bahwa Rasulullah Saw. datang dengan membawa pasukan yang besar.
Rasulullah Saw. lebih
mengedepankan perdamaian dan menjauhi pertumpahan darah, sebab kedatangan
beliau tidak lain, kecuali untuk pembersihan eksistensi politik kaum Quraisy.
Namun, apabila kaum Quraisy keras kepala, dan mengangkat pedang untuk membela
eksistensi politiknya, maka Rasulullah terpaksa memeranginya dengan peperangan
yang di dalamnya tidak ada belas kasihan. Kalau hal itu benar terjadi, niscaya
akan membawa pada pembersihan eksistensi politik kaum Quraisy dengan
pembersihan secara fisik dengan melakukan peperangan yang menghancurkan, yang
melibatkan antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Islam dan kekuatan kaum Quraisy.
Sehingga dalam peperangan akan terdapat luka yang dalam dan menyakitkan. Sebab
penduduk Makkah yang mayoritas suku Quraisy adalah kerabat bagi kaum muslimin
Muhajirin. Dengan demikian, akan terpaksa seorang di antara kaum muslimin
membunuh anaknya atau ayahnya dengan tangannya sendiri. Untuk itu, Rasulullah
Saw. lebih mengutamakan jalan damai, dan memecahkan masalah dengan jalan
diplomasi.
Rasulullah Saw. telah
menyerahkan semuanya ini kepada pamannya (Abbas bin Abdul Muththalib) yang
ditugaskan dan yang diminta melakukan tindakan atas dasar (mengutamakan jalan
damai, dan memecahkan masalah dengan jalan diplomasi) ini. Rasulullah Saw. memberikan
bighal-nya yang berwarna putih kepada pamannya, mendudukkannya di atas bighal
tersebut, dan memintanya segera melakukan tindakan dengan cepat.
Abbas bin Abdul
Muththalib berkata, “Akupun duduk di atas bighal milik Rasulullah Saw. yang
berwarna putih tersebut, lalu aku pergi dengan mengendarainya. Setelah aku tiba
di al-Urak, aku berkata, “Mudah-mudahan aku menemukan salah seorang penjual
kayu, penjual susu, atau orang yang berkeperluan lainnya yang sedang menuju
Makkah, sehingga ia akan memberitahu mereka (kaum Quraisy) tentang keberadaan
Rasulullah Saw. agar dengan mendapatkan informasi ini mereka segera datang
kepada Rasulullah untuk meminta jaminan keamanan kepada beliau, sebelum beliau
memasuki mereka dengan kekerasan.”
Abbas bin Abdul
Muththalib berkata, “Demi Allah, aku terus berjalan dengan mengendarai bighal
milik Rasulullah Saw. dan mencari apa yang aku perlukan dalam kepergianku ini.
Tiba-tiba, aku mendengar perbincangan Abu Sufyan bin Harb dan Budail bin Warqa’
yang sedang bertukar pendapat. Abu Sufyan bin Harb berkata, “Aku belum pernah
melihat api dan perkemahan seperti yang kulihat malam ini. ” Budail bin Warqa’
berkata, “Demi Allah, itu adalah api yang sedang dinyalakan orang-orang
Khuza'ah.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Orang-orang Khuza’ah terlalu kecil dan
sedikit sehingga tidak mungkin menyalakan api dan membuat perkemahan seperti
yang terlihat ini.”
Abbas bin Abdul
Muththalib berkata, “Aku mengenali suara Abu Sufyan bin Harb.” Lalu, aku
berkata, “Wahai Abu Handzalah -nama julukan Abu Sufyan.” Abu Sufyan bin Harb
juga mengenali suaraku, ia berkata, “Wahai Abu Fadhl -nama julukan Abbas.” Aku
berkata, “Ya, betul.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu, ada apa denganmu?” Aku berkata, “Celakalah engkau, wahai Abu Sufyan,
itu adalah api dan perkemahan Rasulullah Saw. bersama pasukannya. Demi Allah,
berhati-hatilah kaum Quraisy pada pagi ini.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah
dan ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu semua?” Aku
berkata, “Demi Allah, jika Rasulullah Saw. berhasil menangkapmu, beliau
memenggal lehermu. Oleb karena itu, naiklah di belakang bighal ini, hingga aku
membawamu ke tempat Rasulullah Saw. kemudian kamu meminta kepada beliau jaminan
keamanan untukmu.”
Abu Sufyan bin Harb
pun naik di belakangku, sedang kedua temannya pulang ke Makkah. Aku membawa Abu
Sufyan bin Harb, dan setiap kali aku melewati api kaum muslimin mereka
bertanya, “Siapa orang ini?” Ketika mereka melihat bighal milik Rasulullah Saw.
dan aku berada di atasnya, mereka berkata, “Paman Rasulullah Saw. sedang
mengendarai bighal beliau.” Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin
Khaththab. Ia berkata, “Siapa ini? “ Ia mendekatiku, dan ketika ia melihat Abu
Sufyan bin Harb, ia berkata, “Abu Safyan bin Harb musuh Allah. Segala puji bagi
Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian sebelumnya.”
Kemudian Umar bin
Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah Saw., dan aku pun memacu bighal
hingga mendahului Umar bin Khaththab seperti halnya hewan pelan yang mendahului
orang yang jalannya pelan. Aku turun dari bighal, kemudian masuk ke tempat
Rasulullah Saw., dan pada saat yang sama Umar bin Khaththab juga masuk ke
tempat beliau. Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan
bin Harb. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleb karena
itu, izinkanlah aku memenggal lenernya.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku
telah melindungi Abu Sufyan bin Harb.” Setelah itu, aku duduk di dekat
Rasulullah Saw. dan memegang kepala beliau sambil berkata, “Demi Allah, pada
malam ini tidak boleh ada orang lain selain diriku yang berbicara denganmu.”
Ketika Umar bin Khaththab banyak berbicara tentang Abu Sufyan bin Harb, aku
berkata, “Wahai Umar, tenanglah. Demi Allah, seandainya Abu Sufyan bin Harb ini
berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, tentu engkau tidak akan berkata seperti itu.
Namun, engkau berkata seperti itu karena engkau tahu bahwa Abu Sufyan bin Harb
berasal dari Bani Abdu Manaf.” Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Abbas,
tenanglah. Demi Allah, keislamanmu ketika engkau masuk Islam itu lebih aku
sukai daripada keislaman Khaththab kalau ia masuk Islam.” Rasulullah Saw.
bersabda, “Wahai Abbas, pergilah dengan Abu Sufyan bin Harb ke tempat
istirahatmu, dan menghadaplah kepadaku besok pagi.”
Aku pun pergi dengan
Abu Sufyan bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku -kami
yakin bahwa pada malam itu Abbas bin Abdul Muththalib memberi masukan kepada
Abu Sufyan bin Harb dan menyakinkannya tentang pentingnya solusi secara damai,
dan pentingnya menghindari pertumpahan darah, sebab kaum Quraisy tidak akan
mampu berperang dengan Negara Islam- Abbas berkata, “Ketika pagi tiba, aku
segera membawa Abu Sufyan bin Harb ke tempat Rasulullah Saw.”
Ketika beliau melihat
Abu Sufyan bin Harb, beliau bersabda, “Celakalah engkau wahai Abu Sufyan,
apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah?” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku
menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan suka menyambung hubungan
kekerabatan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada Tuhan lain
selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti sebelumnya telah mencukupiku dengan
sesuatu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Celakalah engkau wahai Abu Sufyan, apakah
belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu
Sufyan bin Harb berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat
lembut, mulia, dan suka menyambung hubungan kekerabatan. Adapun tentang hal
ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat ganjalan hingga sekarang ini.”
Abbas bin Abdul
Muththalib berkata kepada Abu Sufyan bin Harb, “Celakalah engkau wahai Abu
Sufyan, masuk Islamlah, dan bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah...” Abbas berkata,
“Akhirnya, Abu Sufyan bin Harb bersaksi dengan syahadat yang benar dan masuk
Islam.” (Lihat Lampiran 13, Masuknya pasukan Islam ke Makkah al-Mukarramah)
Meredam Dendam
Abbas berkata, “Wahai
Rasulullah, Abu Sufyan bin Harb adalah orang yang senang dengan kebanggaan.
Oleh karena itu, berikan sesuatu kepadanya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Ya,
untuk itu, siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan bin Harb maka ia aman;
siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia aman; dan siapa saja yang memasuki
Masjidil Haram, maka ia aman.”
Sungguh kami katakan:
Bahwa Rasulullah Saw. lebih mengedepankan pemberian amnesti dalam
masalah-masalah internal, mengerahkan segala kemampuannya untuk meredam dendam
kesumat, dan menanam benih-benih kasih sayang di dalam hati umatnya. Dan ini
satu-satunya yang mampu menjamin loyalitas rakyat kepada beliau, dan menjamin
keikhlasannya terhadap negaranya.
Abu Sufyan bin Harb
ini masuk Islam bukan karena cintanya yang murni kepada Rasulullah Saw., namun
dia masuk Islam karena untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Akan
tetapi, rasa dendam Abu Sufyan bin Harb kepada Rasulullah yang tersembunyi
dalam hatinya memungkinkannya dapat berbuat apa saja -mengingat dia di Makkah
adalah pemimpin yang ditaati perintahnya- seperti yang pernah dilakukan
Abdullah bin Ubay bin Salul di Madinah al-Munawwarah.
Rasulullah -sebagai
seorang politisi yang bijak- harus meredam rasa dendam ini dari hati Abu Sufyan
bin Harb, dan membuktikan kepadanya bahwa kedudukan yang dimilikinya di sisi
kaum Quraisy tidak akan berkurang sedikitpun ketika memeluk Islam jika dia benar-benar
ikhlas dalam memeluknya, dan mengerahkan segala kemampuannya untuk Islam.
Rasulullah Saw.
mengutus orang yang akan menyeru: “Siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan
bin Harb, maka ia aman…” Sungguh dengan semua itu, Rasulullah Saw. telah
membeli Abu Sufyan bin Harb, permusuhannya, dan meredam rasa dendam di dadanya.
Demikian itu merupakan tindakan politik yang bijak.
Rasulullah Saw. juga
harus meredam rasa dendam dari hati penduduk Makkah, dan membuktikan kepada
mereka, bahwa telah berbuat salah dengan memusuhi
beliau. Untuk itu, ketika mereka telah berkumpul di hadapan Rasulullah, hati
mereka dikuasai oleh perasaan takut.
Rasulullah Saw.
bersabda kepada mereka: “Menurut perkiraan kalian, aku akan berbuat apa pada
kalian?” Mereka menjawab: -sedang hati mereka kacau gemetar karena rasa takut,
mereka terbawa oleh prasangka bahwa sekali-kali tidak seorangpun dari mereka
yang akan selamat- engkau akan berbuat baik, (sebab) engkau saudara (kami) yang
baik, dan engkau anak dari saudara (kami) yang baik.” Rasulullah Saw. bersabda:
“Pergi! Kalian semua bebas.” Mendengar sabda beliau, sepertinya hati mereka
tidak percaya dengan kegembiraan yang sedang dirasakannya, akhirnya mereka
yakin bahwa mereka telah melakukan kesalahan ketika mereka memusuhi Muhammad
dan negaranya.
Sungguh, Muhammad
telah membeli hati mereka dengan amnesti. Padahal beliau mampu membunuh mereka,
menyiksa mereka, atau.... Akan tetapi untuk melakukan itu semua Rasulullah Saw.
harus berpikir seribu kali. Dengan pemberian amnesti, berubah berbagai pandangan
dan pertanyaan: Bagaimana mungkin ia akan merasa aman dan tentram berada di
daerah yang rakyatnya memusuhinya, dan bagaimana mungkin keberadaan suatu
negara akan terus berlangsung sedang rakyatnya senantiasa memeranginya… Sungguh
ini kondisi yang membinasakan, jika itu terjadi, maka beliau tidak akan mampu
mengembalikannya.
Dengan demikian,
merupakan kebijakan yang paling bijak adalah memberi kedudukan kepada pemimpin
Makkah, dan memaafkan penduduk Makkah yang selama dua puluh tahun selalu
mengangkat senjata untuk memusuhinya. Pemberian maaf dan kedudukan dilakukan
bukan karena cinta, namun dengan pemberian ampunan dan kedudukan ini beliau
hendak membeli hati mereka dan pedang mereka.
Rasulullah Saw.
berpendapat bahwa termasuk tindakan bijak adalah tidak membiarkan panglima
perang kaum Quraisy (Abu Sufyan) kembali kepada kaumnya, sebelum ia melihat kekuatan
kaum muslimin, sehingga ia benar-benar yakin bahwa kaum Quraisy tidak memiliki
kekuatan yang memadai untuk memerangi Negara Islam. Dengan begitu, kaum Quraisy
akan menghentikan peperangan, dan mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sebab,
bukan termasuk tujuan Negara Islam menciptakan pertumpahan darah, namun tujuan
Negara Islam adalah memperkokoh
agama Allah di muka bumi. Apabila tujuan itu dapat dicapai tanpa melalui
pertumpahan darah, maka tidak perlu lagi menggunakan cara-cara lain, selain
cara ini.
Untuk itu, Rasulullah
Saw. memerintahkan agar menyiapkan parade militer yang secara khusus
memperlihatkan kekuatan fisik dan non-fisik kaum muslimin. Rasulullah Saw.
memerintahkan Abbas agar membawa Abu Sufyan bin Harb ke tempat yang tinggi,
sebab parade militer akan dilewatkan di depannya, sehingga ia akan melihat
tentara Allah. Tidak lama kemudian, berbagai kabilah berjalan melewatinya
dengan membawa panji masing-masing. Setiap satu kabilah lewat, Abu Sufyan bin
Harb berkata, “Wahai Abbas, siapa mereka itu?” Abbas berkata “Mereka itu
kabilah Sulaim.” Abu Sufyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan kabilah
Sulaim?“ Kemudian kabilah lain lewat, Abu Sufyan bin Harb kembali berkata,
“Wahai Abbas, siapa mereka itu?” Abbas berkata, “Mereka itu kabilah Muzainah.”
Abu Sufyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan Muzainah.”
Setiap kali kabilah
lewat, Abu Sufyan bin Harb selalu bertanya kepada Abbas tentang kabilah-kabilah
tersebut, dan ketika Abbas menjelaskan kepadanya tentang kabilah tersebut, ia
berkata, ”Apa urusanku dengannya?”
Hingga akhirnya lewat
batalion Rasulullah Saw. yang berwarna hijau yang terdiri dari kaum Muhajirin
dan Anshar radhiyallahu ‘anhum. Abu
Sufyan melihat mereka semuanya dilindungi dengan baju besi. Abu Sufyan bin Harb
berkata, “Maha Suci Allah, wahai Abbas, siapa mereka itu?” Abbas berkata,
“Itulah Rasulullah Saw. bersama kaum Muhajirin dan Anshar.” Abu Sufyan bin Harb
berkata, “Tidak ada seorangpun yang mempunyai kekuatan untuk menghadapi mereka.
Demi Allah, wahai Abu al-Fadhl, kerajaan anak saudaramu besok pagi akan menjadi
sangat agung.” Abbas berkata, “Wahai Abu Sufyan, itulah kenabian.” Abu Sufyan
bin Harb berkata, “Benar.” Abbas berkata, “Jika demikian, sekarang segeralah
pergi kepada kaummu.”
Ibnu Hisyam berkata:
Batalion Rasulullah Saw. dikatakan hijau karena banyaknya besi dan dominasinya
warna hijau dalam batalion tersebut.
Abu Sufyan bin Harb meminta kaum
Quraisy menghindari perang
Setelah parade militer
selesai, dan Abu Sufyan bin Harb telah mengambil pelajaran dari semua itu,
Rasulullah Saw. memberi izin Abu Sufyan bin Harb pergi dan kembali kepada
kaumnya di Makkah. Ketika Abu Sufyan bin Harb sampai kepada mereka, Abu Sufyan
bin Harb berteriak dengan suara sangat keras sekali. “Wahai orang-orang
Quraisy, sebentar lagi Muhammad datang kepada kalian dengan membawa pasukan
yang tidak ada tandingannya. Oleh karena itu, siapa saja yang masuk ke dalam
rumah Abu Sufyan, maka ia aman.” Tiba-tiba istrinya, Hindun bintu Uthbah
mendekat kepada Abu Sufyan bin Harb, lalu memegang kumisnya, dan berkata,
“Perangilah orang yang besar badannya, banyak lemaknya, dan gendut. Sungguh
buruk sekali orang yang ditugasi menjaga kalian.”
Abu Sufyan bin Harb
berkata, “Celakalah kalian, janganlah kalian tertipu oleh wanita ini. Ingatlah
oleh kalian, bahwa Muhammad datang kepada kalian dengan pasukan yang tidak ada
tandingannya. Siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, maka ia aman.”
Orang-orang Quraisy
berkata, “Semoga Allah membunuhmu. Apa arti rumahmu bagi kami?” Abu Sufyan bin
Harb berkata, “Siapa saja menutup pintu rumahnya, maka ia aman, dan siapa saja
yang masuk ke dalam Masjidil Haram, maka ia aman.” Orang-orang Quraisy pun berpencar,
ada yang pergi menuju rumah mereka, dan ada pula yang pergi menuju Masjidil
Haram.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar