2. Kekalahan pada Perang Uhud
a. Sebab Perang Uhud
Ketika terjadi perang
Badar kaum kafir Quraisy menderita kekalahan di Ashabul Qulaib, maka rombongan
mereka kembali ke Makkah, Abu Sufyan bin Harb dan rombongannya juga kembali.
Abdullah bin Abi Rabi’ah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Shofwan bin Umayyah berjalan
di tengah-tengah kaum kafir Quraisy, di antara mereka yang orangtuanya,
anak-anaknya, dan saudara-saudaranya menjadi korban pada saat terjadi perang
Badar. Mereka berkata pada Abu Sufyan bin Harb, dan orang-orang yang ada dalam
rombongan itu yang masih memiliki barang dagangan. “Wahai orang-orang Quraisy,
sungguh Muhammad telah menzhalimi kalian, dan membunuh orang-orang yang kalian
cintai, untuk itu bantulah kami dengan hartamu ini guna memerangi Muhammad.
Barangkali dengan harta ini kami mampu membalaskan dendam orang-orang kami yang
menjadi korban.” Orang-orang yang masih memiliki barang dagangan itu berkata,
“Harta yang berupa barang dagangan yang kami miliki memang kami sediakan untuk
memerangi Muhammad dan para sahabatnya.”
b. Kaum Kafir Quraisy Keluar
Menuju Perang
Dengan hartanya ini,
kaum kafir Quraisy mampu mengumpulkan orang-orang yang siap perang, di antara
Suku Kinanah, penduduk Tihamah, dan sebagian besar koalisi bangsa Arab, serta
orang-orang yang bergabung pada mereka, sehingga terkumpul 3.000 orang yang siap
perang. Lalu, dengan pasukan yang banyak ini, mereka pergi untuk memerangi
Rasulullah Saw. Mereka juga membawa kaum perempuan agar mereka tidak lari dari
peperangan.
Abu Sufyan bin Harb
-sebagai pimpinan- keluar bersama istrinya, Hindun bintu Utbah, Ikrimah bin Abi
Jahal membawa istrinya Umi Hukaim bintu Harits bin Hisyam bin Mughirah, Harits
bin Hisyam bin Mughirah membawa istrinya Fatimah bintu Walid bin Mughirah, Shofwan
bin Umayyah membawa istrinya Barzah bintu Mas'ud ats-Tsaqafiyah, dan Amru bin
Ash membawa istrinya Raithah bintu Munabbih bin al-Hajjaj.
Mereka menjadikan
Khalid bin Walid sebagai pemimpin pasukan berkuda sayap kanan dan menjadikan
Ikrimah bin Abu Jahal sebagai pemimpin pasukan berkuda sayap kiri, sedang
Shofwan bin Umayyah dijadikan pemimpin bagi pasukan yang berjalan kaki.
c. Kaum Muslimin juga Keluar
Menuju Perang
Sebenarnya berita
tentang berkumpulnya kaum kafir Quraisy dan persiapan mereka untuk memerangi
kaum muslimin telah sampai kepada Rasulullah Saw. pada hari Jum’at sebelum kaum
kafir Quraisy bergerak. Sebab, Abbas, paman Rasulullah Saw. dan yang lainnya adalah
mata-mata Rasulullah Saw. di Makkah untuk kaum kafir Quraisy. Oleh karena itu,
kami lihat Rasulullah Saw. melarang membunuhnya (Abbas) dan sekelompok orang
pada perang Badar.
Abbas mengirim berita
itu kepada Rasulullah Saw. Lalu, Rasulullah Saw. mengumpulkan para sahabatnya,
dan meminta masukan kepada mereka tentang masalah keluar untuk memerangi kaum
kafir Quraisy, atau memperkuat benteng pertahanan di Madinah al-Munawwarah.
Rasulullah Saw. menceritakan mimpinya -mimpi seorang Nabi pasti benar- pada
para sahabat.
Di antara yang beliau
katakan pada para sahabat, “Demi Allah, aku benar-benar bermimpi kebaikan,
bermimpi sapi milikku disembelih, bermimpi pada bagian pedangku yang tajam ada
yang pecah, dan bermimpi bahwa aku memasukkan kedua tanganku ke dalam baju besi
pelindung.” “Adapun sapi itu adalah orang-orang di antara para sahabatku yang
terbunuh, sedang pecah pada bagian pedangku yang tajam adalah salah seorang di
antara ahli baitku yang terbunuh, tentang baju besi pelindung itu adalah
Madinah. Jika kalian berpendapat untuk tetap tinggal di Madinah, maka sambutlah
mereka kapan saja mereka tiba. Namun, jika kalian tetap tinggal di Madinah,
maka berarti kalian tetap tinggal di tempat yang paling buruk. Dan jika mereka
menyerang kami, maka kami perangi mereka di tempat ini.”
Sebab itu, Rasulullah
Saw. mengutamakan tetap di Madinah. Abdullah bin Ubay bin Salul sependapat
dengan Rasulullah Saw. untuk tidak keluar memerangi mereka, bukan karena ia
ikhlas dengan pendapatnya ini, namun lebih dikarenakan untuk menyelamatkan
diri. Orang-orang di antara kaum muslimin yang mengharap dapat kemuliaan syahid
pada perang Uhud dan yang lainnya, serta orang-orang yang tidak mendapatkannya
pada perang Badar berkata, “Wahai Rasulullah, keluarlah bersama kami untuk
memerangi musuh-musuh kami sehingga mereka tidak menganggap bahwa kami pengecut
atau takut menghadapi mereka.”
Rasulullah Saw.
-sebagai pemimpin yang ditaati- pasti mampu membulatkan tekad para sahabatnya
untuk tetap di Madinah al-Munawwarah dengan memperkuat benteng pertahanan.
Seandainya Rasulullah Saw. melakukan itu, tentu para sahabat akan mentaatinya.
Akan tetapi, Rasulullah Saw. ((dalam hal ini)) lebih mengutamakan untuk
menyesuaikan diri dengan para sahabatnya, di samping tetap di Madinah juga
tidak menjamin keamanannya.
Bahkan melakukan
perang di Madinah beban yang harus dipikul akibatnya sangatlah banyak. Sebab,
Madinah bukanlah tempat yang layak bagi kaum muslimin untuk melakukan
peperangan, mengingat di Madinah terdapat banyak orang-orang Yahudi, dan
orang-orang Yahudi itu tunduk kepada Rasulullah Saw. karena kekuatan, sehingga
tidak mustahil mereka balik melawan dan memerangi, serta membantu musuh.
Apalagi hubungan mereka dengan kaum kafir Quraisy belum putus, ini dilihat dari
satu sisi…
Setelah Rasulullah
Saw. selesai menunaikan shalat Jum'at, beliau masuk ke dalam rumahnya dan
memakai peralatan perang, kemudian beliau keluar menemui para sahabatnya.
Ketika Rasulullah Saw. berada dalam rumahnya sedang memakai peralatan perang,
orang-orang yang berkeinginan keras untuk melakukan peperangan di luar Madinah
saling berkata, di antara perkataan mereka, “Kami telah memaksa Rasulullah Saw.
padahal kami tidak ingin berbuat demikian.” Pada saat Rasulullah Saw. keluar
menemui mereka, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu,
padahal kami tidak ingin berbuat demikian. Jika kamu mau, maka kamu tidak perlu
ikut, semoga shalawat tetap tercurahkan kepadamu.” Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai
untuk umatnya pakaian perang dilepaskan kembali sebelum berperang.”
Rasulullah Saw. keluar
dengan 1.000 pasukan dari para sahabatnya. Rasulullah Saw. memeriksa
pasukannya, beliau mendapati dalam pasukannya ada sekelompok anak-anak muda
belia, meski mereka masih muda belia, namun kesiapan mereka dalam melakukan
peperangan sangatlah sempurna, dan karena sangat rindunya mereka terhadap
Surga, sehingga mereka menyelinap ke dalam barisan mujahidin, dengan harapan
mereka dapat turut serta dalam meninggikan rayah
al-Islam (bendera Islam) dan menghancurkan pilar-pilar penopang
keburukan di muka bumi ini, atau mereka akan mendapatkan keberuntungan dengan
mati syahid.
Turut sertanya
anak-anak muda belia dalam pasukan ini menunjukkan suksesnya rencana Rasulullah
Saw. seperti yang telah kami kemukakan di awal bahwa tentara itu terdiri dari
rakyat. Di antara anak-anak muda belia yang menyelinap ke dalam barisan tentara
adalah dua anak muda yang sangat jenius, keduanya adalah Samurah bin Jundub dan
Rafi’ bin Khudaij, umur keduanya belum mencapai 15 tahun. Rasulullah Saw.
mengeluarkan keduanya dari barisan tentara dan memerintahkannya kembali ke
Madinah.
Dikatakan kepada
Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rafi’ ini sangat mahir dalam
memanah.” Mendengar penjelasan itu akhirnya beliau mengizinkan Rafi’ turut
serta dalam berjihad. Samurah menghadap Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah, jika
Rafi’ diterima sebagai pasukan panah, maka ketahuilah bahwa aku lebih baik dari
Rafi’.” Akhirnya, Rasulullah Saw. pun mengizinkannya juga. Namun, Rasulullah
Saw. tetap mengembalikan anak-anak muda belia yang lain ke Madinah, di
antaranya adalah Usamah bin Zaid, Abdullah bin Amr, Zaid bin Tsabit, Barra’ bin
Azib, Amr bin Hazm, Usaid bin Hudhair, dan lainnya.
Sebelum kami berjalan
bersama pasukan kaum muslimin menuju Uhud, kami harus mengingatkan bahwa
Rasulullah Saw. tidak setuju adanya elemen di antara elemen-elemen tentaranya
yang tidak jelas. Seperti tampak pada reaksi beliau atas perkataan sebagian
kaum Anshar, “Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak meminta bantuan pada sekutu
kami di antara orang-orang Yahudi?” Rasulullah Saw. bersabda, “Kami tidak
memerlukan mereka.”
Di sini ada banyak
pertanyaan, mengapa Rasulullah Saw. menolak meminta bantuan orang-orang Yahudi,
padahal beliau sangat membutuhkan bantuan, apalagi antara beliau dan
orang-orang Yahudi ada perjanjian untuk saling menolong, lebih dari itu,
Rasulullah Saw. sering meminta bantuan orang-orang kafir. Beliau pernah meminta
bantuan Abdullah bin Arqath sebagai penunjuk jalan yang menunjukkannya jalan ke
Madinah, padahal Abdullah seorang musyrik; beliau pernah minta bantuan Muth’im
bin Adi ketika beliau hendak memasuki Makkah setelah beliau kembali dari Thaif;
beliau pernah minta bantuan Shofwan bin Umayyah ketika beliau hendak menuju
Hunain, dari Shofwan ini beliau meminjam 100 baju besi dan banyak jenis
senjata; dan beliau pernah juga meminta bantuan Ma’bad bin Abi Ma’bad
al-Khuza’i di Hamra’ al-Asad ketika kaum kafir Quraisy berhasil menelantarkan
kaum muslimin.
Jawabannya adalah jika
kami amati dengan cermat jenis-jenis bantuan yang diminta oleh Rasulullah Saw.,
maka kami dapati di antara jenis bantuan yang dimintanya itu adalah terkait
dengan pengalaman, perlengkapan perang dan lainnya, atau terkait dengan pemberian
proteksi, dan tidak kami dapati di antara bantuan yang diminta Rasulullah Saw.
itu yang terkait dengan bantuan pendapat, dan terkait dengan bantuan perang
secara langsung. Sebab, tidak ada satupun riwayat bahwa Rasulullah Saw. pernah
meminta masukan pendapat kepada orang-orang kafir terkait dengan
persoalan-persoalan perang, dan beliau juga tidak pernah meminta orang-orang
kafir turut membantu beliau dalam peperangan.
Adapun tentang
Rasulullah Saw. tidak meminta bantuan pendapat pada orang-orang kafir, maka
sebabnya adalah karena kami tidak percaya dengan pendapat yang diajukannya,
apalagi mereka tidak akan pernah ikhlas dengan pendapatnya dalam membantu agama
kami.
Sedangkan terkait
dengan tidak meminta orang-orang kafir membantu kami dalam peperangan, dan
mereka terdiri dari banyak orang sebagaimana kabilah-kabilah Yahudi yang
sekadar terikat perjanjian, dan keberadaan mereka dalam pasukan menjadi
diperhitungkan, maka dalam keadaan yang demikian ini kami tidak boleh
membiarkan adanya mereka di tengah-tengah tentara kaum muslimin, sebab
keberadaan mereka sangat membahayakan kaum muslimin.
Oleh karena itu, kami
dapati Rasulullah Saw. menjauhkan orang-orang Yahudi dari medan pertempuran.
Beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku
tidak akan meminta bantuan pada orang musyrik.” Sebab, orang-orang Yahudi itu
tidak dipercaya oleh Rasulullah Saw.
Kami berkata: al-Isti’anah bi al-Kafir (meminta bantuan pada
orang kafir) bukan at-Ta'awun ma’a al-Kafir
(saling tolong-menolong dengan orang kafir). Sebab, meminta bantuan artinya
manfaat dari bantuan itu kembali pada kaum muslimin, dan tidak kembali kepada
orang-orang kafir. Sedang saling tolong-menolong artinya manfaatnya kembali
pada kami dan juga mereka, memperkuat kami dan juga memperkuat mereka.
Setelah Rasulullah
Saw. menyempurnakan persiapan pasukannya sesuai kemampuan, maka beliau berjalan
membawa pasukannya menuju Uhud. Namun, sebelum Sampai di asy-Syauth, tempat
antara Uhud dan Madinah, pemimpin kaum munafik Abdullah bin Ubay bin Salul dan kelompoknya
memisahkan diri dari tentara kaum muslimin. Mereka yang memisahkan diri sangat
besar mencapai sepertiga pasukan dengan alasan bahwa Rasulullah Saw.
benar-benar mengikuti usulan para pemuda di antara para sahabatnya yang
mengusulkan untuk keluar dari Madinah. Sebaliknya, beliau menolak pendapat
sebagian dari mereka, seperti yang dituduhkan oleh si munafik ini. Perkataannya
adalah, “Sesungguhnya Muhammad benar-benar mengikuti pendapat mereka,
sebaliknya ia menolak usulanku. Namun kami tidak tahu siapa yang lebih mengerti
bahwa kami akan mengorbankan diri kami sendiri, wahai manusia.”
Rasulullah Saw. terus
berjalan hingga mencapai jalan di bukit dari Uhud yang ada di bibir lembah
gunung. Rasulullah Saw. menghadapkan pasukannya menuju Uhud, dan menempatkan di
atas gundukan yang menghadap gunung Uhud satu peleton pasukan pemanah yang mahir,
yang berjumlah 50 orang, pasukan pemanah ini dipimpin oleh Abdullah bin Jubair,
pasukan pemanah ini diperintahkan agar tidak turun dari atas gunung kecuali
dengan ada perintah dari Rasulullah Saw. Beliau menetapkan tugas pasukan
pemanah ini adalah menghujani tentara kaum musyrikin dengan anak panah ketika
mereka menyerang kaum muslimin, atau ketika mereka hendak berpaling. Para
pasukan pemanah ini diperintahkan agar tidak memulai peperangan sehingga ada
perintah untuk itu dari Rasulullah Saw. Kata sandi yang ditetapkan Rasulullah
Saw. dalam perang ini adalah “umt, umt”.
Mereka memanggilnya dengan kata ini untuk memberitahu yang lain. Pasukan
pemanah ini tetap konsisten meski kaum kafir Quraisy mengembalakan kuda-kudanya
dan unta-untanya di ladang-ladang kaum muslimin yang telah ditanaminya di
as-Shahfah -dekat Uhud- tindakan itu dilakukan kaum kafir Quraisy guna
memprovokasi kaum muslimin. Namun, sedikitpun kaum muslimin tidak terprovokasi,
sebab mereka menjalankan dengan baik perintah Rasulullah Saw. tentang hal ini.
d. Peperangan
Rasulullah Saw.
memobilisir pasukannya dan menyiapkannya untuk berperang, memakai baju perang,
dan menyerahkan panji Perang kepada Mush'ab bin Umair. Beliau mulai mendorong
pasukannya untuk ikhlas dalam berperang. Beliau mengambil pedangnya yang tajam,
lalu mengangkatnya ke udara, dan bersabda, “Siapa yang akan mengambil pedang
ini dan lalu menunaikan haknya?” Orang-orang pun berebutan, namun Rasulullah
Saw. menjauhkan pedang itu dari mereka. Abu Dujanah Simak bin Kharasyah yang
ikut berebut pedang berkata, “Apa haknya yang harus dipenuhi, wahai
Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda, “Haknya
adalah kamu menghantamkannya ke tubuh musuh hingga ia tersungkur.” Abu
Dujanah berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan mengambilnya dan akan menunaikan
haknya.” Lalu Rasulullah Saw. memberikan pedang itu kepadanya.
Abu Dujanah seorang
yang sangat pemberani yang banyak bergaya ketika berperang, ia menonjolkan diri
dengan ikat kepala miliknya yang berwarna merah, dan dengan mengikatkan ikat
kepala itu pada kepalanya orang-orang akan tahu bahwa ia akan berperang. Setelah
mengambil pedang dari Rasulullah Saw. ia mengeluarkan ikat kepala, dan lalu
mengikatkannya pada kepalanya. Dan setelah itu ia mulai bergaya di antara
barisan tentara. Ketika Rasulullah Saw. melihat Dujanah, beliau bersabda, “Gaya berjalan Abu Dujanah ini sangat dibenci oleh
Allah, kecuali berada di tempat seperti ini.”
Para pasukan bergerak
maju, perang pun berkecamuk dengan sengitnya. Ada di antara pasukan berkuda
dari pihak para sahabat Rasulullah Saw. yang tampak menonjol sekali, yaitu dua
orang pemberani, Abu Dujanah dan Ashim bin Tsabit bin al-Aqlah yang berjanji menyiramkan
anggur terbaik pada kepalanya jika Allah mengizinkannya, sebab dalam peperangan
ini anaknya terbunuh; Hanzholah bin Abu Amir yang mendapatkan syahid pada malam
pertama bulan madunya, bahkan ia syahid sebelum sempat menunaikan mandi
janabat. Namun Rasulullah Saw. mengabarkan bahwa ia dimandikan oleh malaikat;
Mush’ab bin Umair yang membawa panji perang; Ali bin Abi Thalib yang membawa
panji perang setelah Mush'ab dan Hamzah bin Abdul Muththalib, ketika Hindun bin
Utbah melihatnya, Hindun meminta budaknya, Jubair bin Muth'im -yang selalu
tepat sasaran dalam melempar pisau- agar berbuat biadab, yaitu membunuh Hamzah
dengan imbalan akan dimerdekakan. Lalu, ia pun menikam bagian bawah perut
Hamzah, sehingga akhirnya Hamzah rahimahullah
meninggal sebab tikaman itu.
Kaum muslimin berhasil
mengalahkan kaum musyrikin, sehingga panji perang kaum musyrikin jatuh ke tanah
dan tidak seorangpun yang berani mengambilnya, kondisinya tetap demikian sampai
Amrah bintu Alqamah al-Haritsiyah berhasil mengambilnya, lalu mengangkatnya
untuk kaum kafir Quraisy, sehingga akhirnya orang-orang berkumpul mengitarinya.
f. Mengawasi Mundurnya Musuh
Untuk Mengetahui Niat sebenarnya
Rasulullah Saw. tidak
membiarkan kaum musyrikin pergi begitu saja tanpa dilakukan pengawasan terhadap
mereka dengan teliti, terutama setelah mereka tahu bahwa beliau masih hidup.
Sebab, bisa saja mereka kembali menyusun kekuatan dan menyerang lagi untuk menghabisi
Rasulullah Saw.
Oleh karena itu,
Rasulullah Saw. berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Pergilah, ikuti mereka, lalu perhatikan apa yang mereka perbuat dan
mereka inginkan. Jika mereka berjalan ke arah samping kuda dan mereka
menunggang unta, maka mereka hendak ke Makkah. Jika mereka menunggang kuda dan
menggiring unta, maka mereka hendak menuju Madinah. Demi Dzat yang jiwaku ada
dalam kekuasaannya, jika saja mereka menuju Madinah, maka saya akan benar-benar
menyerang dan memerangi mereka di Madinah.” Ali bin Abi Thalib pergi
mengikuti mereka. Ali bin Abi Thalib mendapati mereka berjalan ke arah samping
kuda, mereka menunggang unta, dan pergi menuju Makkah.
Di sini ada
pertanyaan: Kenapa Rasulullah Saw. tidak akan memerangi mereka jika mereka
menuju Makkah. Namun, Rasulullah Saw. akan benar-benar memerangi mereka jika
mereka menuju Madinah?
Jawabannya adalah jika
mereka kembali ke Makkah, maka artinya Rasulullah Saw. benar-benar kalah
perang. Sedang kalah perang dalam sejarah umat manusia bukan apa-apa. Sebab,
tidak masuk akal mendirikan negara, membangun peradaban, dan menghancurkan
banyak negara, serta membangun kembali negara-negara yang telah dihancurkan itu
akan sukses dengan sempurna tanpa sama sekali mengalami kerugian. Akan tetapi
kerugian yang diderita kaum muslimln di Uhud keberadaannya tidak ubahnya api
yang menghilangkan kotoran besi. Meski itu membakar, tetapi ia memberikan
manfaat. Sungguh perang Uhud telah berakhir, akan tetapi peperangan baru akan
dimulai.
Tiap-tiap orang yang
beriman hendak berteriak, “Inilah balasan bagi siapa saja yang menyalahi
perintah Allah dan Rasul-Nya.” Demikianlah, peperangan ini memberi kepada kaum
muslimin orang-orang yang berbeda dari orang-orang yang turut sama Rasulullah
Saw. pada peperangan Uhud. Sungguh mayoritas mereka sangat sungguh-sungguh
dalam hal ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan orang-orang baru ini,
Rasulullah Saw. akan segera memasuki peperangan baru, yaitu perang Hamra'
al-Asad -sebagaimana kami akan bicarakan sebentar lagi-. Kerugian yang dialami
dalam peperangan berguna untuk membangun pikiran, dan muhasabah, meningkatkan
pengalaman sehingga sebanyak apapun kerugian tetap dianggap sebagi perkara yang
dapat diterima.
Adapun jika mereka
menuju Madinah, maka hal itu berarti mereka bertujuan untuk menghabisi
Muhammad, dakwahnya dan negaranya. Artinya mereka memahami dimensi-dimensi
politik peperangan. Sungguh jika mereka melakukan itu, mereka benar-benar
memahami bahwa persoalan tidak selesai dengan membunuh beberapa puluh orang,
atau mundurnya semua pasukan, akan tetapi harus dihancurkan negara yang
menyiapkan orang-orang itu dan yang mendorongnya berperang.
Apabila pemahaman kaum
musyrikin sampai pada usaha memerangi dengan bentuk ini, maka persoalannya akan
menjadi gawat, dan sekali-kali Rasulullah tidak akan menerimanya. Apabila kaum
musyrikin bertekad berusaha memerangi dengan bentuk ini, maka tidak bisa
dibiarkan, kecuali dengan mengorbankan kaum muslimin, sebab tidak ada artinya
hidup di bawah kekuasaan pemerintahan orang kafir yang tidak akan mengakui
agama mereka, dan tidak akan membiarkan mereka menjalankan syiar-syiar
agamanya.
Untuk itu, Rasulullah
bersumpah akan benar-benar memerangi mereka, jika mereka menuju Madinah.
Sungguh, sekali-kali Rasulullah Saw. tidak akan meletakkan senjatanya sampai
beliau mendapatkan kemenangan, atau sampai Allah memberinya perlindungan.
h. Kembalinya Kaum Muslimin ke
Madinah.
Setelah kaum muslimin
mengubur semua yang terbunuh, Rasulullah Saw. dan pasukannya kembali ke Madinah
al-Munawwarah. Orang-orang menyambut Rasulullah Saw. dalam keadaan puas, sebab
beliau masih hidup. Di antara mereka adalah perempuan Bani Dinar yang dalam
peperangan kali ini saudaranya, ayahnya, dan suaminya meninggal. Ketika dia
tahu terbunuhnya mereka, dia berkata: “Bukan tentang ini yang aku tanyakan
kepada kalian. Akan tetapi beritahu aku tentang Rasulullah Saw.” Para mujahid
berkata kepadanya, “Beliau baik-baik, wahai ibu fulan.” Dia berkata, “Mana dia
aku ingin melihatnya.” Lalu, dia ditunjukkan kepada Rasulullah Saw. Sehingga,
ketika dia melihatnya, dia berkata: “Setiap musibah setelah kamu besar, wahai
Rasulullah.”
Ketika Rasulullah Saw.
sampai di rumahnya, beliau memberikan pedangnya pada putrinya, Fatimah, dan
berkata: “Wahai putriku, bersihkanlah darah
dari pedang ini. Demi Allah, sungguh hari ini Dia telah memberi kebaikan
kepadaku.” Ali bin Abi Thalib mengambil pedangnya, dan berkata: “Ini
juga, bersihkan darahnya dari pedang ini. Demi Allah, sungguh hari ini Dia
telah memberi kebaikan kepadaku.” Rasulullah Saw. berkata: “Jika perang itu
memberi kebaikan kepadamu, maka ia juga memberi kebaikan kepada orang yang
bersamamu, yaitu Suhail bin Hanif dan Abu Dujanah.”
i. Belajar dari Kekalahan
Mengalami beberapa
kekalahan dalam hidup ini termasuk perkara yang penting, sebab dengannya akan
diketahui siapa lawan
dan siapa kawan. Jika bagi manusia biasa saja mengalami kekalahan itu penting,
maka akan lebih penting lagi bagi para pengemban dakwah dan bagi para pemimpin,
sebab mereka lebih membutuhkan untuk mengetahui siapa yang ikhlas dan siapa
yang tidak di antara orang-orang yang mendukungnya.
Kekalahan pada perang
Uhud menyingkap bagi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya tentang siapa yang
benar-benar beriman dan siapa yang munafik. Sehingga, setelah peristiwa itu
orang-orang yang munafik tidak akan berani kembali lagi.
Berdasarkan sudut
pandang politik, kekalahan kaum muslimin pada peperangan manapun adalah suatu
keharusan. Negara
Islam dalam fase pembentukannya yang pertama harus memisahkan yang buruk dari
yang baik, hal itu dilakukan pada perang Uhud, sehingga yang buruk itu dapat
dijauhkan dari aktivitas politik,
akhirnya aktivitas itu murni bagi yang baik saja.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar