Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 01 Agustus 2017

Dalil Shalat Sunat Rawatib Muakkad



BAB KESEBELAS

SHALAT TATHAWWU' ATAU SHALAT NAFILAH

Keutamaan dan Klasifikasi Shalat Tathawwu'

Dalam pembahasan mengenai keutamaan shalat pada bab “hukum shalat dan waktu-waktunya”, telah kami uraikan bahwa shalat merupakan amal perbuatan manusia yang pertama kali dihisab oleh Allah Swt. pada Hari Kiamat. Shalat yang saya maksud adalah shalat fardhu. Maka, jika baik dan sempurna shalat fardhu tersebut, pelakunya bisa berharap memperoleh kebahagiaan, tetapi jika shalatnya tersebut rusak karena ada yang ditinggalkan atau dilupakan dalam hal rukun dan syarat sahnya, maka pelakunya pasti akan mengalami kerugian.
Apabila shalat tersebut memiliki kekurangan, sedangkan pelakunya belum memenuhinya secara sempurna, atau memenuhinya tetapi dalam kondisi ada sedikit kekurangan beberapa kewajibannya, maka Allah Swt. akan menyempurnakan kekurangan shalat orang tersebut dengan shalat tathawwu' yang dilaksanakannya. Dengan demikian, shalat tathawwu' bisa menutupi kekurangan yang ada dalam shalat fardhu pada Hari Kiamat kelak, sehingga tidak ragu lagi bahwa hal ini menjadi keutamaan shalat tathawwu’.

Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya amal perbuatan seorang Muslim yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah shalat wajib. Apabila dia menyempurnakannya (maka selesai persoalannya), jika dia tidak menyempurnakannya maka dikatakan kepada malaikat: “Lihatlah oleh kalian, apakah dia memiliki amalan shalat tathawwu'. Kemudian shalat fardhu tersebut disempurnakan dengan shalat tathawwu'nya, dan semua amal-amal yang wajib lainnya diperlakukan seperti itu.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad dan an-Nasai)

Tamim ad-Dari meriwayatkan hadits ini, dia berkata:

“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalat, jika shalatnya sempurna maka dituliskan sempurna untuknya, dan jika terdapat kekurangan di dalamnya maka Allah Swt. akan berfirman kepada malaikat: “Lihatlah, apakah hamba-Ku ini memiliki amalan shalat tathawwu’? Maka sempurnakanlah oleh kalian kekurangan shalat fardhunya itu dengan shalat tathawwu’nya, dan seperti itulah dengan zakat dan dengan amal-amal perbuatan lainnya.” (HR. ad-Darimi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sebagian keutamaan shalat tathawwu’, terdapat pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah, istri Rasulullah Saw., bahwa dia mendengar Nabi Saw. bersabda:

“Tidaklah seorang hamba Muslim melaksanakan shalat tathawwu’, dua belas rakaat setiap hari karena Allah selain shalat fardhu, kecuali akan dibangun untuknya satu rumah di Surga, atau Allah azza wa jalla akan membangun untuknya dengan shalat tathawwu’ itu satu rumah di Surga.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasai)

Selain disebut shalat tathawwu', shalat ini disebut juga dengan istilah shalat sunat dan shalat nafilah. Ketiga istilah ini adalah untuk satu nama yang sama.

Dari sebagian shalat tathawwu' ada yang memiliki waktu tertentu dan khusus, seperti shalat sunat rawatib, shalat dhuha, dan shalat witir. Tetapi ada juga yang tidak memiliki waktu tertentu yang dikhususkan, seperti shalat tasbih dan shalat istikharah. Di antara shalat-shalat ini ada yang memiliki sebab tertentu, seperti tahiyatul masjid, sujud tilawah, shalat kusuf, atau ada pula yang tidak memiliki sebab, seperti qiyamullail, dan shalat tasbih. Kami akan merinci seluruh shalat sunah dalam penjelasan berikut ini:

A. Shalat Sunat Rawatib Muakkad

Maksudnya adalah beberapa rakaat shalat yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah Saw. menyertai shalat-shalat fardhu yang beliau lakukan, baik sebelum atau sesudahnya, dan beliau tidak meninggalkannya sama sekali dalam kondisi tidak melakukan bepergian alias hadhar.
Rakaat-rakaat shalat ini adalah: dua rakaat sebelum shalat subuh, dua rakaat sebelum shalat dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah shalat maghrib, dan dua rakaat setelah shalat isya. Seluruhnya ada sepuluh rakaat dalam sehari semalam. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:

“Shalat Rasulullah Saw. yang tidak beliau Saw. tinggalkan adalah dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya, dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:

“Aku hafal dari Rasulullah Saw. sepuluh rakaat yang senantiasa beliau Saw. lakukan dalam sehari semalam: dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya yang terakhir. Dia berkata: dan Hafshah mengabarkan kepadaku bahwa beliau Saw. senantiasa shalat sebelum fajar sebanyak dua rakaat.” (HR. Tirmidzi)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata:

“Aku melaksanakan shalat bersama Nabi Saw. dua rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat setelah dhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya, dan dua rakaat setelah Jum'at. Adapun maghrib dan isya maka (dilaksanakan) di rumahnya.” (HR. Bukhari dan Ibnu Hibban)

Muslim meriwayatkan dengan redaksi:

“…Adapun maghrib dan isya serta Jum’at maka aku shalat bersama Nabi Saw. di rumah beliau Saw.”

Ahmad meriwayatkan pula dengan redaksi:

“…Adapun Jum’at dan maghrib, dilaksanakan di rumahnya. Dan ia berkata: lalu saudariku, Hafshah, memberitahuku bahwa beliau senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan jika terbit fajar. Dan ia berkata: dan ini adalah waktu di mana aku tidak mengunjungi Rasulullah Saw. di rumahnya.”

Dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata: aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah Saw., ia menjawab:

“Beliau Saw. senantiasa shalat dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah isya, serta dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Tirmidzi)

Inilah sepuluh rakaat, yakni sunat-sunat rawatib yang muakkad, di mana Rasulullah Saw. tidak melaksanakan shalat sunat kurang darinya. Disebut juga rawatib muakkad karena keistimewaannya dibandingkan yang lain, karena Rasulullah Saw. menetapi dan mendawamkannya tanpa mengabaikannya sedikitpun.




Adapun sunah rawatib dhuhur adalah dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dan ini telah kami sebutkan sebelumnya. Kami ingin menegaskan dengan hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari jalur Ibnu Umar ra., bahwa ia berkata:

“Aku shalat bersama Nabi Saw. dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya.”

Mengenai shalat ashar, tidak ada sunat rawatib muakkad padanya, baik sebelum ataupun sesudahnya, berdasarkan hadits-hadits yang telah kami sebutkan di awal pembahasan ini (tapi yang ada adalah shalat sunat mulhaqah sebelum ashar). Kami ingin menegaskan lagi hal tersebut dengan satu hadits yang diriwayatkan dari Ali ra. bahwa ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat di penghujung setiap shalat wajib sebanyak dua rakaat, kecuali shalat fajar dan ashar.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan Abu Dawud)

Dan hadits lain yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Tidak ada shalat setelah shalat subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits yang sama dari jalur Abu Said al-Khudri ra. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra. bahwa ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Dua shalat yang tidak ada shalat (sunat) setelahnya: subuh hingga matahari terbit, dan ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Hadits-hadits ini menjadi dalil yang menunjukkan tidak adanya shalat sunat setelah ashar. Terdapat beberapa hadits yang seolah-olah menunjukkan adanya shalat sunat setelah ashar, seperti:

a. Dari Abu Musa al-Asy’ari ra.:

“Bahwa ia melihat Nabi Saw. shalat dua rakaat setelah ashar.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

b. Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Dua shalat yang tidak ditinggalkan Nabi Saw., baik ketika sendiri ataupun ketika bersama: dua rakaat setelah ashar, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Thahawi)

c. Dari Syuraih ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat setelah ashar, ia berkata: “Sholatlah, sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang kaummu, wahai penduduk Yaman dari shalat ketika matahari terbit.” (HR. Ahmad dan Thahawi)

Ketiga hadits ini bisa diinterpretasikan bahwa Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat dua rakaat ba'da ashar sebagai qadha untuk sunah rawatib ba'da dhuhur ketika suatu saat beliau tersibukkan oleh sesuatu, sehingga tidak sempat melaksanakannya, lalu beliau melaksanakan shalat tersebut setelah ashar.
Beliau terus melaksanakan shalat setelah shalat ashar, karena beliau Saw. jika melakukan satu shalat maka beliau Saw. akan mendawamkannya, dan ini termasuk kekhususan bagi Rasulullah Saw. yang tidak boleh diikuti.
Sejumlah sahabat Rasulullah Saw. telah melihat beliau Saw. melakukan hal ini, lalu mereka menyangka bahwa hal ini termasuk sesuatu yang dibolehkan atau disunahkan sehingga mereka mengikutinya, lalu mereka menyampaikan apa yang mereka saksikan, dan memfatwakan disyariatkannya hal tersebut. Kami ingin membahas beberapa hadits terkait dengan pembahasan ini, sebagai berikut:

a. Sesungguhnya Aisyah ra. pernah melihat Rasulullah Saw. shalat dua rakaat setelah ashar, dan ketika dia belum mengetahui sebabnya maka dia menyangka kedua rakaat itu adalah sunah bagi seluruh kaum Muslim, sehingga Aisyah memfatwakan hal itu. Mengenai penyebab kedua rakaat ini telah diketahui oleh Ummu Salamah ra., yakni apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa Nabi Saw. telah disibukkan dari dua rakaat ba’diyah dhuhur, lalu beliau Saw. mengqadhanya setelah shalat ashar. Setelah itu beliau terus melaksanakannya. Dengan demikian, hal ini menafikan kedua rakaat tersebut sebagai shalat sunat bagi kaum Muslim.

b. Telah dinukil dari Rasulullah Saw. dari beberapa jalur yang shahih, bahwa beliau Saw. melarang kaum Muslim melaksanakan shalat setelah ashar. Tatkala hal itu telah terbukti pada kita, lalu kita melihatnya melaksanakan shalat setelah ashar, maka kita bisa memahami hal itu termasuk kekhususan beliau Saw., dan makna ini juga telah dinukil dari beliau Saw.

c. Sesungguhnya hadits-hadits yang nampak saling bertentangan dalam pembahasan ini, di dalamnya tidak ada nasikh dan mansukh sebagaimana yang diklaim oleh sejumlah fuqaha, sehingga tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang menunjukkan adanya shalat telah menasakh hadits-hadits yang melarang dari shalat atau sekedar mentakhsisnya. Tentu saja, nasakh tidak terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw. Selain itu, telah sampai kepada kita kabar tentang para sahabat yang tetap mentaati larangan tersebut, sehingga ini menafikan klaim adanya nasakh.

Karena tiga perkara inilah maka pendapat yang rajih adalah tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari terbenam, sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits-hadits di atas. Waktu antara shalat ashar dan terbenamnya matahari ini adalah salah satu waktu yang terlarang dipakai untuk shalat, dan hukum ini telah jelas dan tidak dinasakh. Kami akan mengemukakan dalil atas apa yang kami nyatakan ini dengan sejumlah hadits berikut ini:

1) Dari Rabi’ah bin Darraj:

“Bahwa Ali bin Abi Thalib melakukan shalat nafilah setelah ashar dua rakaat di perjalanan ke Makkah, lalu Umar melihatnya dan ia memarahinya seraya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah melarang hal itu.” (HR. Ahmad dan at-Thahawi)

Hadits ini jelas menunjukkan telah tetapnya pelarangan dari shalat setelah ashar dan tidak ada penasakhan.

2) Dari Kuraib:

“Bahwa Ibnu Abbas dan Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Azhar ra. mengutusnya menemui Aisyah ra. Mereka berkata: Sampaikan salam kepadanya dari kami semua, dan tanyakanlah kepadanya tentang dua rakaat ba’da shalat ashar, katakan juga kepadanya: sesungguhnya kami dikabari bahwa engkau melaksanakan shalat tersebut, padahal telah sampai kepada kami bahwa Nabi Saw. telah melarang shalat tersebut. Ibnu Abbas berkata: dan aku telah melarang orang-orang bersama Umar (melaksanakan) dua rakaat shalat tersebut, maka Kuraib berkata: lalu aku menemui Aisyah ra. dan aku sampaikan kepadanya pesan mereka yang harus kusampaikan. Aisyah berkata: “Tanyakanlah kepada Ummu Salamah.” Lalu aku keluar (pulang) menemui mereka dan kukabarkan perkataannya kepada mereka. Mereka mengutusku menemui Ummu Salamah dengan pesan (yang sama) seperti mereka mengutusku kepada Aisyah. Ummu Salamah ra. berkata: “Aku mendengar Nabi Saw. melarang (pelaksanaan) dua rakaat (shalat ba’da ashar) tersebut. Kemudian aku melihatnya melakukannya ketika beliau Saw. shalat ashar. Lalu beliau Saw. masuk mengunjungiku, dan di sampingku ada sejumlah wanita Bani Haram dari kalangan Anshar. Kemudian aku mengutus seorang pelayan menemuinya, dan aku berkata: Berdirilah di sampingnya dan katakanlah kepadanya: Ummu Salamah bertanya kepadamu: “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau melarang (pelaksanaan) dua rakaat shalat ini tetapi aku melihatmu melakukannya.” Jika beliau memberi isyarat dengan tangannya maka mundurlah darinya, lalu pelayan itu melakukan (apa yang kuperintahkan) dan beliau Saw. memberi isyarat dengan tangannya, maka sang pelayan pun mundur. Tatkala dia mau pergi, beliau Saw. berkata: “Wahai putri Abu Umayyah, engkau bertanya tentang dua rakaat setelah ashar, sesungguhnya aku telah didatangi orang-orang dari Abdul Qais, lalu mereka menyibukkan aku dari dua rakaat yang (biasa kulakukan) setelah dhuhur, maka kedua rakaat tersebut adalah itu.” (HR. Bukhari, Muslim, ad-Darimi, dan Abu Dawud)

3) Dari Ummu Salamah istri Nabi Saw., ia berkata:

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw. shalat setelah ashar sekalipun. Lalu sejumlah orang datang setelah dhuhur menemuinya, sehingga mereka menyibukkan beliau mengurus sesuatu, padahal beliau belum shalat ba’da dhuhur sama sekali hingga beliau Saw. shalat ashar. Ummu Salamah berkata: Ketika beliau telah shalat ashar, beliau Saw. masuk ke rumahku dan kemudian shalat dua rakaat.” (HR. Ahmad, an-Nasai, dan al-Baihaqi)

4) Dari Abdullah bin Abi Qais, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang dua rakaat ba’da ashar, maka ia berkata: Adalah Nabi Saw. biasa shalat dua rakaat ba'da dluhur, lalu beliau Saw. tersibukkan darinya hingga beliau shalat ashar. Ketika selesai (shalat ashar) beliau melaksanakan shalat dua rakaat di rumahku dan beliau tidak meninggalkannya hingga beliau Saw. wafat.” Abdullah bin Abi Qais berkata: lalu aku bertanya kepada Abu Hurairah tentang hal itu. Ia berkata: “Sebelumnya kami suka melakukannya, tetapi kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

5) Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, ia berkata:

“Ayahku sepakat untuk umrah. Ketika tiba waktu berangkat, beliau berkata: Wahai anakku, seandainya kita menemui amirul mukminin maka kita bisa pamitan kepadanya. Aku berkata: Sesuai kehendakmu. Ia berkata: lalu kami menemui Marwan dan di sampingnya ada sejumlah orang, di antaranya Abdullah bin Zubair ra., mereka menyebutkan dua rakaat setelah ashar yang dilaksanakan oleh Ibnu Zubair, maka Marwan bertanya kepadanya: “Dari siapakah engkau mengambilnya wahai Ibnu Zubair?” Ia berkata: “Aku diberi kabar oleh Abu Hurairah dari Aisyah.” Kemudian Marwan mengutus seseorang menemui Aisyah: ”Dua rakaat apakah yang disebutkan Ibnu Zubair, di mana Abu Hurairah memberitahunya (bahwa hal itu berasal) darimu, yaitu bahwa Rasulullah Saw. suka shalat ba’da ashar?” Lalu dia mengirim jawaban kepadanya:

“Aku diberitahu oleh Ummu Salamah.” Maka Marwan mengirim utusan menemui Ummu Salamah: “Dua rakaat apakah yang dipersangkakan Aisyah bahwa engkau telah mengabarinya, di mana Rasulullah Saw. suka shalat ba’da ashar?” Maka Ummu Salamah berkata: “Semoga Allah mengampuni Aisyah, dia telah menempatkan urusanku tidak pada tempatnya, Rasulullah Saw. shalat dhuhur dan kepada beliau Saw. telah dibawakan harta, lalu beliau Saw. duduk membagikannya hingga tibalah muadzin mengumandangkan adzan ashar. Maka beliau Saw. shalat ashar kemudian pulang kepadaku, dan hari itu memang hari giliranku. Setelah itu beliau shalat dua rakaat secara ringan. Maka kami bertanya: “Dua rakaat apakah ini wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan keduanya?” Beliau Saw. bersabda: “Tetapi ini adalah dua rakaat yang biasa aku lakukan setelah dhuhur, hanya saja aku tersibukkan oleh pembagian harta ini hingga datang kepadaku muadzin yang mengumandangkan shalat ashar, dan aku tidak suka meninggalkan dua rakaat tersebut.” Maka Ibnu Zubair berkata: “Allah Maha besar, bukankah beliau telah melaksanakannya sekali? Demi Allah, aku tidak akan meninggalkannya selamanya.” Maka Ummu Salamah berkata: “Aku tidak melihat beliau Saw. melaksanakannya sebelumnya dan sesudahnya.” (HR. Ahmad)

Semoga Allah Swt. mengampuni Ibnu Zubair yang berijtihad, lalu ijtihadnya keliru karena terus-menerus melaksanakan shalat dua rakaat ini, setelah jelas kepadanya bahwa dua rakaat tersebut dilaksanakan sebagai qadha atas dua rakaat ba'da dhuhur.

6) Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. suka shalat ba’da ashar, tetapi beliau Saw. melarang (orang-orang melakukan) itu. Beliau suka puasa wishal, tetapi beliau melarang (orang-orang) dari puasa wishal.” (HR. Abu Dawud)

Wishal artinya diteruskannya puasa sehari semalam tanpa berbuka.

7) Dari Abu Salamah:

“Bahwa dia bertanya kepada Aisyah tentang dua rakaat yang dilaksanakan Rasulullah Saw. ba’da ashar, maka ia berkata: “Beliau melaksanakannya sebelum ashar, kemudian beliau disibukkan oleh sesuatu atau terlupa, maka beliau melaksanakannya ba'da ashar dan menetapinya, dan beliau Saw. jika melakukan satu shalat maka beliau menetapinya.” (HR. Muslim dan an-Nasai)

Perkataan: atsbataha: yakni mendawamkannya atau menetapinya.

8) Dari Amr bin ‘Abasah as-Sulami, ia berkata:

”...Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang apa yang telah diajarkan oleh Allah Swt. kepadamu dan aku tidak mengetahuinya. Kabarkanlah kepadaku tentang shalat.” Beliau berkata: “Lakukanlah shalat subuh, kemudian tahanlah dari shalat sampai matahari terbit sehingga meninggi, sesungguhnya matahari itu muncul ketika terbit di antara dua tanduk setan, dan ketika itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Kemudian shalatlah, karena waktu itu disaksikan dan dihadiri (oleh malaikat) hingga bayangan naik setentang dengan tombak, setelah itu tahanlah dari shalat karena waktu itu jahanam sedang dinyalakan. Dan jika bayangan sedikit condong ke arah Timur maka shalatlah, karena shalat tersebut disaksikan dan dihadiri hingga engkau shalat ashar. Kemudian tahanlah dari shalat hingga matahari terbenam, karena matahari itu terbenam di antara dua tanduk setan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud kepadanya...” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Perkataan: hingga bayangan naik setentang dengan tombak, yakni hingga bayangan sebanding dengan tombak dengan tidak condong ke Barat atau ke Timur, dan ini terjadi ketika tengah hari.

9) Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Aku mendengar tidak hanya dari seorang sahabat Rasulullah Saw., di antara mereka adalah Umar bin Khaththab, dan beliau adalah orang yang paling aku cintai, bahwasanya Rasulullah Saw. melarang dari shalat setelah fajar hingga matahari terbit, dan setelah ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ibnu Khuzaimah)

10) Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. melarang dari shalat setelah ashar hingga matahari terbenam, dan dari shalat setelah subuh hingga matahari terbit.” (HR. Muslim)

11) Dari Muawiyah bin Abi Sufyan, ia berkata:

“Sesungguhnya kalian pasti melaksanakan satu shalat, dan kami telah menemani Rasulullah Saw., maka kami tidak pernah melihat beliau Saw. melaksanakannya, dan (bahkan) beliau mencegah dari keduanya, yakni dua rakaat setelah ashar.” (HR. Bukhari)

Ucapan yang mengatakan adanya sunah ba'diyah untuk shalat ashar itu tidak diucapkan selain oleh Aisyah dan Ibnu Zubair, sebagaimana yang diriwayatkan dalam beberapa atsar. Dan Anda sekalian telah melihat bagaimana hal itu bisa terjadi. Dan tidak ada yang melakukannya selain Ali ra., dan Anda telah melihat bagaimana Umar ra. begitu mengingkarinya dan mengingatkannya bahwa kedua rakaat tersebut terlarang.

Adapun sunat untuk shalat maghrib adalah dua rakaat rawatib muakkad yang dilaksanakan setelah shalat fardhu maghrib -sebagaimana yang telah kami jelaskan-, dan kami tambahkan di sini sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi dari jalur Ibnu Umar ra.:

“Bahwa Nabi Saw. suka shalat dua rakaat setelah maghrib di rumahnya.”

Juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. melaksanakan shalat maghrib, kemudian beliau pulang ke rumahku lalu shalat dua rakaat.”

Mengenai sunat untuk shalat isya, itu adalah dua rakaat rawatib muakkad yang dilaksanakan setelah shalat fardhu isya, sebagaimana yang telah kami jelaskan juga, dan kami tambahkan di sini hadits yang diriwayatkan Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari jalur Ibnu Umar ra.:

“Bahwa dia shalat bersama Nabi Saw. dua rakaat setelah isya di rumahnya.”

Dan sepenggal dari hadits yang cukup panjang, yang diriwayatkan Ahmad, Muslim dan Baihaqi dari jalur Aisyah ra., ia berkata:

“...Dan beliau Saw. shalat isya mengimami mereka, kemudian masuk ke rumahku lalu shalat dua rakaat...”

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam