Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 03 Agustus 2017

Dalil Hadits Shalat Sunah Witir



D. Witir

Witir adalah kelompok keempat shalat tathawwu’. Artinya, bahwa shalat witir itu hukumnya mandub dan mustahab saja, bukan fardhu atau wajib. Ibnu Muhairizin telah meriwayatkan:

“Bahwa seorang laki-laki dari Bani Kinanah yang dipanggil al-Mukhdaji, dia mendengar seorang laki-laki dari Syam yang dipanggil Abu Muhammad, ia berkata: Sesungguhnya witir itu wajib. Al-Mukhdaji berkata: lalu aku pergi menemui Ubadah bin Shamit kemudian aku mengabarinya tentang hal itu, maka Ubadah berkata: “Abu Muhammad telah berdusta, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Lima shalat yang telah diwajibkan Allah Swt. kepada para hamba-Nya. Barangisapa yang tidak menghilangkan sesuatu darinya karena menganggap remeh hak-haknya maka baginya ada jaminan dari Allah Swt. untuk memasukkannya ke Surga, dan barangsiapa yang tidak membawanya maka tidak ada jaminan baginya dari sisi Allah Swt. Jika menghendaki, Dia Swt. akan menyiksanya, dan jika menghendaki, Dia Swt. memasukkannya ke Surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan Malik)

Ujung hadits ini telah disebutkan dalam pembahasan “hukum shalat wajib”, pada bab “shalat: hukum dan waktunya.”

Dari Ali ra. ia berkata:

“Witir itu bukanlah sesuatu yang wajib sebagaimana shalat-shalat maktubah, witir hanyalah satu sunah yang biasa dilakukan Rasulullah Saw.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, an-Nasai dan al-Hakim)

Dari Ubadah bin Shamit ra. ia berkata:

“Witir itu satu perkara yang baik yang diamalkan oleh Nabi Saw. dan kaum Muslim yang hidup setelahnya, dan hukumnya bukan wajib.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Dilalah hadits-hadits ini begitu jelas.

Juga hadits dari Ibnu Umar ra., ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. shalat dalam perjalanan di atas hewan tunggangannya sesuai arah tunggangannya itu. Beliau shalat malam dengan isyarat, kecuali jika beliau melaksanakan shalat fardhu, dan beliau Saw. shalat witir di atas hewan tunggangannya itu.” (HR. Bukhari)

Muslim, an-Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Adalah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat nafilah di atas hewan tunggangannya dengan menghadap ke arah manapun hewannya itu menghadap. Dan beliau berwitir di atasnya, walaupun begitu, beliau Saw. tidak shalat fardhu di atas (hewan tunggangan)nya.”

Seandainya witir itu bukan sesuatu yang sunah, tetapi sesuatu yang wajib, maka Rasulullah Saw. tidak akan berwitir di atas hewan tunggangannya.

Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. ketika mengutus Muadz ra. ke Yaman, beliau berkata: “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum yang asalnya (adalah) ahli kitab, maka jadikanlah seruan pertamamu kepada mereka adalah penghambaan kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan atas mereka shalat yang lima pada waktu siang dan malamnya mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini juga, dan setelah itu dia mengomentarinya: ”…Rasulullah Saw. mengutus Muadz bin Jabal berangkat ke Yaman hanya beberapa hari sebelum beliau meninggalkan dunia ini, dan beliau Saw. telah memerintahkannya untuk mengabari mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan lima shalat atas mereka dalam siang dan malam mereka.

Seandainya witir itu sebuah kewajiban atau sesuatu yang Allah Swt. tambahkan pada lima shalat yang harus dijalani manusia -sebagaimana hal itu dipersangkakan karena ketidaktahuan atas hadits ini, dan mereka tidak bisa membedakan mana yang shahih dan mana yang dhaif-, niscaya Nabi Saw. memerintahkan Muadz bin Jabal untuk mengabari mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan enam shalat atas mereka bukan lima shalat.
Berdasarkan hal ini sangat jelas bahwa witir itu bukan suatu kewajiban, dan taufik hanyalah milik Allah Swt. Tetapi ada beberapa hadits yang menggambarkan seolah wajibnya shalat witir, kami akan menyebutkannya terlebih dahulu, lalu kemudian akan membahasnya:

a. Dari Abdurrahman bin Rafi’ at-Tanukhi, seorang qadhi di Afrika:

“Bahwa Muadz bin Jabal ra. telah datang ke Syam, dan penduduk Syam tidak melakukan shalat witir. Lalu ia berkata kepada Muawiyah: “Apakah ini benar. Aku melihat penduduk Syam tidak berwitir?” Muawiyah berkata: “Apakah itu sesuatu yang wajib atas mereka?” Muadz berkata: “Ya, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Tuhanku azza wa jalla telah menambahiku satu shalat, yakni shalat witir, dan waktunya adalah antara isya hingga terbit fajar.” (HR. Ahmad)

b. Dari Nafi’:

“Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat witir, apakah shalat tersebut suatu kewajiban? Maka dia berkata: “Rasulullah Saw. dan kaum Muslim itu berwitir.”

Dan dari jalur yang kedua:

“Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah witir itu shalat sunat?” Dia menjawab: “Disebut sunat bagaimana? Rasulullah Saw. dan kaum Muslim biasa berwitir.” Ia berkata: “Tidak, apakah witir itu shalat sunat?” Ibnu Umar berkata: “Sudahlah, apakah engkau tidak paham? Rasulullah Saw. dan kaum Muslim biasa berwitir.” (kedua hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abdil Barr)

c. Dari Buraidah al-Aslami ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Witir itu suatu yang haq, maka barangsiapa yang tidak berwitir maka dia bukanlah golongan kami. Beliau mengatakan itu tiga kali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)

d. Dari Abu Ayub dari Rasulullah Saw., beliau bersabda:

“Witir itu suatu yang haq, maka siapa yang suka berwitir dengan lima rakaat maka hendaklah dia berwitir, dan siapa yang suka berwitir dengan tiga rakaat maka hendaklah dia berwitir, dan barangsiapa yang suka berwitir dengan satu rakaat maka hendaklah dia berwitir, dan barangsiapa yang mengalami kesulitan melakukannya maka hendaklah dia shalat witir dengan isyarat.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang berbeda.

e. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Tiga perkara yang wajib atasku tetapi atas kalian hanya menjadi shalat tathawwu': (yaitu) witir, shalat hari raya kurban, shalat dhuha.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim dan Daruquthni)

Hadits yang pertama di dalamnya ada Ubaidillah bin Zahr, dan dia seorang dhaif yang didhaifkan oleh al-Haitsami, Ibnu Malin, Ibnu al-Madini, ad-Daruquthni.
Ibnu Hibban berkata: “dia meriwayatkan hadits-hadits maudhu.”
Al-Haitsami berkata: “dan Muawiyah belum diangkat sebagai pemimpin di Syam pada masa Mu'adz”, sehingga hadits ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah.

Hadits yang kedua tidak memberikan pengertian wajibnya shalat witir. Perkataan Ibnu Umar yang tidak menjawab pertanyaan si penanya, dan cukup dengan mengulang perkataan bahwa Rasulullah Saw. dan kaum Muslim melakukannya, hal itu tidak menunjukkan wajibnya shalat witir. Nampak bagi saya bahwa Ibnu Umar takut jika dia berkata bahwa witir itu sunat maka bisa mengakibatkan orang-orang melalaikan witir ini, sehingga beliau cukup dengan mengulang bahwa Rasulullah Saw. dan kaum Muslim mengerjakannya, dengan harapan bahwa si pendengar bisa mengikuti perbuatan mereka. Ini bisa dijelaskan dengan asumsi kalau hadits ini layak untuk dijadikan sebagai hujjah.
Ternyata al-Iraqi telah menyebutkan bahwa hadits ini termasuk kategori hadits dhaif.

Begitu pula terkait dengan hadits yang ketiga, hadits inipun menurut al-Iraqi adalah hadits dhaif.
Seandainya kita berasumsi bahwa hadits ini layak untuk dijadikan sebagai hujjah, maka kalimat “witir itu suatu yang haq” yang disebutkan dalam hadits keempat perlu dijelaskan. Saya katakan: ucapan Rasulullah Saw., “witir itu suatu yang haq” tidak serta merta memberi pengertian wajibnya witir menurut syariat, sebagaimana bahwa kewajiban itu suatu yang haq. Karena, yang mandub atau sunat juga suatu yang haq, sehingga kata haq di sini memiliki pengertian telah terbukti disyariatkan. Karena itu, hadits ini memiliki pengertian mendorong kaum Muslim melaksanakan shalat witir, dan tidak memberi pengertian lebih dari itu.

Adapun hadits yang kelima, maka di dalam sanadnya ada Abu Janab al-Kalbi, yakni Yahya bin Abi Hayyah -dan ia seorang dhaif-, yang didhaifkan oleh Yahya al-Qathan, al-'Ijli, al-Juzjani, Abu Hatim, an-Nasa'i, ad-Daruquthni dan ad-Dzahabi, sehingga hadits ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah. Dengan demikian, jelas bahwa tidak ada dalil atau nash yang mengandung dilalah yang jelas yang menunjukkan wajibnya shalat witir.

Al-Khathabi telah menceritakan keberadaan ijma tentang tidak wajibnya shalat witir, tetapi jelas dia lupa atau tidak mengetahui pendapat Abu Hanifah yang mengatakan wajibnya shalat witir. As-Syaukani berkata: “Jumhur telah berpendapat bahwa witir itu tidak wajib, melainkan sunat saja, dan Abu Hanifah menyelisihi pendapat mereka dan berkata bahwa witir itu adalah wajib.” Ibnu al-Mundzir berkata, ”…dan ini adalah pendapat mayoritas ahlul ilmi selain Nu’man, di mana dia menyelisihi mereka dan menyangka bahwa witir itu suatu kewajiban.” Perkataan Ibnu al-Mundzir: Nu'man, maksudnya adalah Abu Hanifah.

Rasulullah Saw. sangat menganjurkan shalat witir, dan menjadikan shalat ini memiliki banyak keutamaan yang besar, sehingga witir itu hampir menyamai dua rakaat fajar, yakni sunat shalat subuh dalam hal keutamaannya. Hadits yang ketiga -hadits Buraidah al-Aslami sebelumnya- menunjukkan keutamaan yang ada pada shalat witir. Begitu juga dari Ali ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Wahai ahli Qur’an, berwitirlah kalian, sesungguhnya Allah azza wa jalla itu ganjil dan menyukai sesuatu yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi: Ali bin Abi Thalib berkata:

“Sesungguhnya witir itu bukan suatu kewajiban dan tidak seperti shalat maktubah yang wajib atas kalian, tetapi Rasulullah Saw. berwitir, seraya bersabda: “Wahai ahli Qur'an, berwitirlah kalian, karena Allah itu ganjil dan menyukai sesuatu yang ganjil.”

Dari Kharijah bin Hudzafah al-‘Adawiy ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. keluar menemui kami dan berkata: “Sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan kepada kalian satu shalat, di mana shalat tersebut lebih baik bagi kalian dibandingkan unta merah. Allah menjadikannya untuk kalian berada di antara shalat isya hingga shalat fajar.” (HR. Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Hakim)

Waktu shalat witir itu amat panjang, berlangsung antara setelah shalat isya hingga terbit fajar. Sebelumnya telah disebutkan hadits Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan di dalamnya tercantum: ”...menjadikannya untuk kalian berada di antara shalat isya hingga shalat fajar.” Abu Bashrah ra. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt. telah menambahkan untuk kalian satu shalat yakni shalat witir, maka lakukanlah shalat tersebut di antara shalat isya hingga shalat fajar...” (HR. Ahmad dan at-Thabrani)

Mengundurkan shalat witir hingga akhir malam itu lebih utama bagi orang yang kuat melakukannya. Dari Masruq, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang witir Rasulullah Saw., maka dia berkata: “Beliau Saw. telah berwitir dari seluruh bagian malam, dari awalnya, dari pertengahannya, dan ketika wafat witirnya berakhir di waktu sahur.” (Ibnu Majah, Ahmad dan Muslim)

Bukhari meriwayatkan dengan redaksi:

“Seluruh bagian malam digunakan Rasulullah Saw. untuk berwitir, dan berakhir witirnya itu hingga sahur.”

Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. suka berwitir pada awal malam, kemudian berwitir pada pertengahannya, kemudian witirnya tetap dilakukan pada saat ini. Ia berkata: Yakni ketika fajar terbit.” (HR. Ahmad)

Dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang takut tidak bangun pada akhir malam maka hendaklah dia berwitir di awal malam, dan barangsiapa yang berkeinginan besar untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena shalat akhir malam itu disaksikan, dan itu lebih utama.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dan hadits Muslim yang lain dari jalur Jabir:

“Siapa saja dari kalian yang takut tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaklah dia witir kemudian dia tidur, dan barangsiapa yang percaya bisa bangun malam maka berwitirlah di akhirnya, karena bacaan akhir malam itu dihadiri, dan itu lebih utama.”

Dari Abu Qatadah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berkata kepada Abu Bakar: “Kapan engkau berwitir?” Ia berkata: Aku berwitir pada awal malam,. Beliau berkata kepada Umar: “Kapan engkau berwitir?” Dia berkata: “Akhir malam.” Maka beliau Saw. berkata kepada Abu Bakar: “Engkau mengambil perkara ini dengan keteguhan.” Dan beliau berkata kepada Umar: “Engkau mengambil perkara ini dengan kekuatan.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim)

Dalam satu riwayat yang didapatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dengan tulisan ayahnya, dari jalur Jabir bin Abdullah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. bertanya kepada Abu Bakar: “Kapan engkau berwitir?” Ia berkata: “Pada awal malam setelah shalat isya.” Beliau bertanya: “Dan engkau wahai Umar?” Ia berkata: “Pada akhir malam.” Ia berkata: “Adapun engkau wahai Abu Bakar maka engkau telah mengambil dengan keyakinan, dan engkau wahai Umar, telah mengambilnya dengan kekuatan.”

Dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Witir itu satu rakaat pada akhir malam.” (HR. Muslim)

Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang witir, maka beliau menjawab: “Berwitirlah sebelum subuh.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Adapun jumlah rakaat witir sedikitnya adalah satu rakaat, dan yang paling banyak adalah sembilan rakaat. Dengan demikian, witir itu bisa dilaksanakan satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, atau sembilan rakaat. Sebelumnya telah disebutkan dalam hadits Muslim dari jalur Abdullah bin Umar ra., di dalamnya disebutkan: “witir itu satu rakaat di akhir malam”, dan dari Abu Mijlaz ia berkata:

“Aku bertanya kepada Ibnu Abbas ra. tentang witir, maka ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Satu rakaat di akhir malam.” Dan aku bertanya kepada Ibnu Umar, maka ia berkata: “aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Satu rakaat di akhir malam.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. bersalam setiap dua rakaat, dan berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Ibnu Majah)

Ucapannya: bersalam tiap dua rakaat, yakni bahwa shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Nabi Saw. suka berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Abi Syaibah)

Ibnu Umar ra. meriwayatkan:

“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang shalat malam, maka Rasulullah Saw. bersabda: “Shalat malam itu dua-dua. Jika salah seorang dari kalian merasa takut segera tiba shalat subuh, maka shalatlah satu rakaat untuk menutup shalat sebelumnya dengan witir.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Semua ini merupakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa witir itu satu rakaat. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat pada waktu malam delapan rakaat, dan berwitir dengan tiga rakaat dan (kemudian) shalat dua rakaat” -dalam satu riwayat: dan (kemudian) shalat dua rakaat fajar- ketika beliau sudah tua rakaatnya menjadi sembilan, enam rakaat (shalat malam) dan tiga rakaat (shalat witir).” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Abu Dawud)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadhan dan bulan selainnya tidak shalat lebih dari sebelas rakaat. Beliau Saw. shalat empat rakat, maka janganlah engkau menanyakan tentang bagaimana bagusnya dan panjangnya shalat beliau. Lalu beliau shalat empat rakaat, maka janganlah kamu bertanya tentang bagaimana bagusnya dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau Saw. shalat tiga rakaat...” (HR. Muslim)

Dari Ali ra.:

“Bahwa Nabi Saw. berwitir dengan tiga rakaat.” (HR. Ahmad)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat witir tiga rakaat, di dalamnya beliau membaca sembilan surat dari al-mufashal, membaca tiga surat dalam setiap rakaat, yang terakhirnya adalah qul huwallahu ahad.”

Dari Ibnu Abbas ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. berwitir dengan tiga rakaat, dengan (membaca) sabbihisma rabbikal a’la, dan qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan qul huwallahu ahad.” (HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Semua ini merupakan dalil yang menunjukkan witir tiga rakaat.

Dari Aisyah ra., ia berkata:

“Shalat Rasulullah Saw. pada waktu malam adalah tiga belas rakaat. Beliau berwitir darinya sebanyak lima rakaat dan tidak duduk sekalipun darinya kecuali pada rakaat terakhirnya. Dan jika muadzin telah mengumandangkan adzan, beliau Saw. shalat dua rakaat secara ringan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat pada malam hari sebanyak tiga belas rakaat, darinya beliau Saw. berwitir lima rakaat, dan tidak duduk (tasyahud) sekalipun, kecuali pada akhir rakaatnya.”

Dari Ummu Salamah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. witir dengan tujuh dan lima rakaat, tidak memisahkan di antara rakaatnya dengan salam, dan tidak juga dengan perkataan.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Semua ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa witir itu bisa dilaksanakan sebanyak lima rakaat.

Dari Abu Umamah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. witir sebanyak sembilan rakaat, hingga ketika beliau sudah lanjut usia dan semakin lemah beliau berwitir sebanyak tujuh rakaat, dan shalat dua rakaat dalam posisi duduk, lalu beliau membaca idza zulzilat dan qul yaa ayyuhal kaafiruun.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani)

Dari Said bin Hisyam bin ‘Amir ia berkata:

”...Aku berkata: “Wahai Ummul Mukminin, yakni Aisyah, beritahu aku tentang witir Rasulullah Saw.” Maka dia berkata: ”Kami mempersiapkan siwak dan air wudhunya, lalu Allah Swt. membangkitkannya dengan kehendak-Nya sehingga dia bangun pada malam hari lalu bersiwak dan berwudhu. Setelah itu beliau shalat sembilan rakaat, tidak ada duduk di dalamnya kecuali dalam rakaat kedelapan. Lalu berdzikir mengingat Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau Saw. bangkit dan tidak bersalam, lalu berdiri dan shalat rakaat yang kesembilan. Setelah itu beliau duduk dan berdzikir mengingat Allah, memuji-Nya dan berdoa pada-Nya. Kemudian beliau bersalam dengan salam yang bisa kami dengar. Lalu beliau shalat dua rakaat setelah bersalam dan beliau dalam keadaan duduk. Itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Rasulullah Saw. berusia tua dan ototnya sudah lemah, beliau witir dengan tujuh rakaat, dan beliau melakukan dua rakaatnya seperti yang pertama. Itulah sembilan rakaat wahai anakku...” (HR. Muslim dan Ahmad)

An-Nasai meriwayatkan dengan redaksi:

”...Ketika beliau Saw. sudah lanjut usia dan lemah tubuhnya, beliau witir sebanyak tujuh rakaat, tidak duduk kecuali dalam rakaat keenam, kemudian beliau bangkit dan tidak bersalam, lalu shalat rakaat yang ketujuh kemudian bersalam…”

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa witir itu bisa tujuh rakaat dan bisa juga sembilan rakaat.

Semua dalil-dalil ini menunjukkan bahwa witir itu bisa dilakukan satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat dan sembilan rakaat, Dan dalil-dalil di atas juga menunjukkan bahwa witir itu sunat hukumnya, bukan wajib, karena seandainya witir itu suatu kefardhuan niscaya jumlah rakaatnya akan tetap tidak berubah-ubah. Tatkala dalil-dalil tersebut menerangkan ada pilihan dalam jumlah rakaatnya maka hal itu menunjukkan shalat witir itu bukanlah suatu kewajiban. Abu Ayub ra. telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:

“Witir itu suatu yang haq. Barangsiapa yang menghendaki maka witirlah sebanyak lima rakaat, dan siapa yang menghendaki maka witirlah tiga rakaat, dan siapa yang menghendaki maka witirlah satu rakaat.” (HR. Ibnu Hibban, an-Nasai dan ad-Daruquthni)

Al-Hakim meriwayatkan hadits ini dan menshahihkannya. Ini merupakan pilihan yang jelas dalam jumlah rakaat, yang menunjukkan tidak wajibnya witir tersebut.

Adapun tata cara shalat witir dengan beragam jumlah rakaatnya itu adalah sebagai berikut: Jika witir itu satu rakaat maka tatacaranya sudah jelas.
Dan jika witir itu tiga rakaat maka dilakukan secara bersambung dengan satu takbiratul ihram dan sekali duduk di akhirnya untuk bertasyahud dan bersalam, dan tidak duduk selainnya. Beliau Saw. tidak duduk setelah dua rakaat.
Jika witir tersebut lima rakaat, maka seperti itu pula, yakni dilakukan secara bersambung dengan satu takbiratul ihram dan satu kali duduk di bagian akhirnya untuk bertasyahud dan bersalam, dan tidak duduk selainnya, sehingga beliau tidak duduk setelah dua rakaat atau setelah empat rakaat, yakni tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (rakaat kelima) saja.
Apabila witir tersebut tujuh rakaat, beliau melaksanakannya secara bersambung dengan satu takbiratul ihram, dan tasyahud awal dilakukannya pada akhir rakaat keenam, kemudian bangkit melanjutkan dengan rakaat ketujuh, lalu duduk di akhir rakaat tersebut dan bertasyahud akhir, lalu bersalam.
Dan jika witir itu sembilan rakaat, maka beliau Saw. melakukannya secara bersambung dengan satu takbiratul ihram dan melakukan tasyahud awal pada bagian akhir rakaat kedelapan, kemudian bangkit untuk melanjutkan dengan rakaat kesembilan, lalu duduk di akhir rakaat kesembilan untuk bertasyahud akhir dan bersalam.

Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. jika telah shalat isya, beliau memasuki rumah kemudian shalat dua rakaat, lalu shalat setelahnya dua rakaat yang lebih panjang darinya. Setelah itu berwitir sebanyak tiga rakaat, dan tidak memisahkannya dengan sesuatupun di dalamnya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Ucapannya: tidak memisahkannya dengan sesuatupun di dalamnya, yakni ketiga rakaat ini dilaksanakan secara bersambung tanpa ada tasyahud dan salam dalam dua rakaat awal. Hal ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. tidak bersalam pada dua rakaat witir.” (HR. an-Nasai, al-Baihaqi, dan al-Hakim)

Dan hadits yang diriwayatkan Ubay bin Ka’ab ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. dalam shalat witir membaca sabbihisma rabbikal a'la dan dalam rakaat kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafirun, dan pada rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad, dan tidak bersalam kecuali pada rakaat terakhir, dan beliau mengucapkan yakni setelah bersalam: subhaanal malikil qudduus sebanyak tiga kali.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Adapun jika beliau bersalam pada dua rakaat yang pertama, kemudian shalat satu rakaat, maka dua rakaat yang pertama ini tidak dipandang sebagai bagian dari witir, semata-mata dipandang sebagai bagian dari shalat malam yang mendahului witir, sehingga beliau Saw. hanya melakukan satu rakaat witir saja, karena selama witir itu merupakan suatu shalat, maka sesungguhnya shalat itu tidak diputuskan (diakhiri) kecuali dengan salam, dan tidak dilaksanakan kecuali dengan satu takbiratul ihram dan satu salam saja. Jika tidak seperti itu maka bukan satu shalat. Dari Aisyah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. membaca dalam dua rakaat, di mana beliau berwitir setelahnya: sabbihisma rabbikal a'la dan qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan membaca dalam witir qul huwallahu ahad, dan qul a’udzu bi rabbil falaq, dan qul a’udzu bi rabbin nas.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Perhatikan perkataan Aisyah ini: “dua rakaat di mana beliau berwitir setelahnya” yang menunjukkan dengan jelas bahwa dua rakaat ini bukanlah bagian dari shalat witir, karena itu lanjutannya berbunyi: “dan membaca dalam shalat witir qul huwallahu ahad.” Dua rakaat tersebut jika dipisahkan dari yang ketiga tidak bisa dipandang sebagai bagian dari shalat witir. Dengan pemahaman seperti inilah kita menginterpretasikan hadits-hadits yang ada, yang menyebutkan:

“Bahwa Rasulullah Saw. memisahkan antara yang genap dan yang ganjil.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad dan Thabrani dari jalur Ibnu Umar ra.)

Genap di sini (maksudnya) adalah shalat malam, dan witir yang dilakukan setelahnya terpisah dari shalat malam.

Seorang mushalli tidak perlu duduk setelah dua rakaat, dan tidak tasyahud dengan tasyahud awal. Jadi, dalam shalat witir tidak dilakukan sesuatu yang biasa dilakukan dalam shalat maghrib, semata-mata dia harus menjadikan shalat witir itu berbeda dengan shalat maghrib. Dan inilah yang diperintahkan oleh syariat yang lurus. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. bersabda:

“Janganlah kalian berwitir dengan tiga rakaat, witirlah dengan lima atau tujuh rakaat, dan janganlah kalian menyerupakannya dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban dan ad-Daruquthni)

Al-Baihaqi dan al-Hakim meriwayatkan hadits ini juga dan disebutkan dengan redaksi yang terbalik (dengan mendahulukan yang diakhir).

Ibnu Hajar telah mengkompromikan antara hadits-hadits yang menerangkan tiga rakaat shalat witir dengan hadits ini -yang melarang tiga rakaat-, dengan memberi pengertian bahwa larangan itu (adalah) dari berwitir dengan dua tasyahud, karena hal itu akan menyerupakan shalat witir dengan shalat maghrib.
Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan berwitir dengan tiga rakat, itu adalah berwitir dengan tiga rakaat secara bersambung dengan satu tasyahud di akhirnya.
Pengkompromian seperti ini sangat bagus, sehingga witir tidak serupa dengan shalat maghrib, di mana mushalli tidak duduk dalam witir setelah dua rakaat. Mushalli hanya duduk dan bertasyahud pada akhir rakaat ketiga. Ini khusus terkait dengan tata cara shalat witir dengan jumlah tiga rakaat. Terkait tata cara shalat witir dengan jumlah lima rakaat, maka telah diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat dari sebagian malam sebanyak tiga belas rakaat, dan berwitir darinya dengan lima rakaat, dan tidak duduk dari lima rakaat itu sekalipun kecuali pada rakaat terakhimya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad)

Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Adalah Rasulullah Saw. shalat dari sebagian malam sebanyak tiga belas rakaat, berwitir darinya dengan lima rakaat dan tidak duduk sekalipun dari lima rakaat itu kecuali pada rakaat terakhirnya, beliau duduk kemudian bersalam.”

Sebelumnya, hadits Muslim yang senada telah kami sebutkan.

Dari Ummu Salamah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. berwitir dengan tujuh rakaat dan lima rakaat. Beliau tidak memisahkan di antara rakatnya dengan salam dan tidak Juga dengan perkataan.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Dan sebelumnya hadits ini pun telah kami sebutkan.

Terkait dengan tata cara shalat witir sebanyak tujuh rakaat, maka telah diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata:

“Ketika Rasulullah Saw. semakin lanjut usianya dan badannya semakin gemuk, maka beliau Saw. shalat tujuh rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat terakhirnya.” (HR. an-Nasai)

Ibnu Hibban telah meriwayatkan dengan redaksi:

“Kami mempersiapkan siwak dan air wudlunya, lalu Allah Swt. membangkitkannya dengan kehendak-Nya sehingga dia bangun pada malam hari dan beliau bersiwak dan berwudhu. Setelah itu beliau shalat sebanyak tujuh rakaat, dan beliau tidak duduk di dalamnya kecuali pada rakaat keenam, lalu beliau duduk dan berdzikir mengingat Allah dan berdoa.”

Dalam hadits yang diriwayatkan an-Nasai disebutkan dengan redaksi:

“Ketika beliau semakin lanjut usianya dan lemah tubuhnya, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau tidak duduk kecuali pada rakaat keenam, lalu bangkit dan tidak bersalam, dan beliau shalat rakaat yang ketujuh kemudian bersalam”

Sebelumnya (hadits ini) telah kami sebutkan. Dalam hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Majah disebutkan:

“Adalah Rasulullah Saw. berwitir dengan tujuh dan lima rakaat, beliau Saw. tidak memisahkan rakaatnya dengan salam dan tidak juga dengan perkataan.”

Dan terkait dengan tata cara shalat witir yang berjumlah sembilan rakaat, maka Aisyah ra. telah menceritakan:

”...Kemudian beliau shalat sembilan rakaat, tidak ada duduk di dalamnya kecuali dalam rakaat kedelapan, lalu berdzikir mengingat Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya. Setelah itu beliau Saw. bangkit dan tidak bersalam, kemudian berdiri lalu shalat rakaat yang kesembilan, beliau duduk dan berdzikir mengingat Allah, memuji-Nya dan berdoa kepadaNya, kemudian beliau bersalam dengan satu salam...” (HR. Muslim dan Ahmad dan an-Nasai)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika berwitir dengan sembilan rakaat beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan, lalu beliau Saw. bertahmid, berdzikir dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak bersalam. Setelah itu beliau shalat rakaat yang kesembilan lalu berdzikir kepada Allah dan berdoa, kemudian beliau bersalam dengan agak keras memperdengarkannya kepada kami...” (HR. Ibnu Hibban)

Mengenai bacaan al-Qur'an dalam rakaat-rakaat shalat witir, maka dalam rakaat pertama adalah sabbihisma rabbikal a'la, dan dalam rakaat kedua adalah qul yaa ayyuhal kaafirun, dan rakaat yang ketiga adalah qul huwallahu ahad. Namun, jika rakaatnya lebih dari itu, maka mushalli bisa membaca surat apa saja yang dikehendakinya. Ini bagi siapa saja yang ingin mengaitkan diri dengan bacaan Rasulullah Saw. Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Ubay bin Ka'ab ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. dalam shalat witir membaca sabbihisma rabbikal a'la dan dalam rakaat kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafirun, dan pada rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad, dan tidak bersalam kecuali pada rakaat terakhir, dan beliau mengucapkan yakni setelah bersalam: subhaanal malikil qudduus sebanyak tiga kali” (HR. an-Nasai dam Ibnu Hibban)

Dari Abdurrahman bin Abza ra., ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. berwitir dengan membaca sabbihisma rabbikal a'la, dan qul yaa ayyuhal kaafiruun, lalu qul huwallahu ahad. Dan jika dia ingin pergi dari witirnya maka mengucapkan subhaanal malikil quddus, tiga kali, kemudian mengeraskan suaranya pada yang ketiga.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)

Dalam hadits Ahmad dan an-Nasai yang berasal dari jalur yang kedua,

”...Dan jika telah bersalam dan selesai dari witir, beliau mengucapkan: subhaanal malikil quddus, tiga kali, dan memanjangkannya pada yang ketiga.”

Semua hadits ini menjelaskan bahwa bacaan al-Qur’an pada rakaat witir yang pertama adalah sabbihisma rabbikal a'la, dan dalam rakaat kedua adalah qul yaa ayyuhal kaafirun, dan pada rakaat ketiga adalah qul huwallahu ahad. Dan jika dia menambahkan dengan al-muawwadzatain (al-falaq dan an-nas) maka tidak apa-apa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Juraij, bahwa ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah Ummul Mukminin ra.: ”Dengan apakah beliau Saw. berwitir?” Dia berkata: “Dalam rakaat pertama, beliau suka membaca sabbihisma rabbikal a'la, dan dalam rakaat kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafirun, dan dalam rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad dan al-mu'awwadzatain.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)

Hadits-hadits ini menjelaskan pula bahwa termasuk petunjuk kenabian, di mana seseorang yang selesai dari shalat witir dianjurkan untuk membaca: “subhaanal malikil quddus, subhaanal malikil quddus, subhaanal malikil quddus”, dengan mengeraskan dan memanjangkan suaranya pada ucapan yang ketiga.

Pada awal pembahasan telah kami singgung bahwa waktu witir itu sangat luas, yakni sejak setelah shalat isya hingga terbit fajar, dan yang paling utama adalah witir itu dilaksanakan pada akhir shalat malam ketika sahur. Kami tambahkan di sini bahwa witir itu dilaksanakan satu kali dalam satu malam, tidak disyariatkan untuk shalat dua kali atau lebih di satu malam. Seorang Muslim hendaknya shalat di malam hari dengan genap, yakni dua-dua, hingga ketika selesai dari shalat malam dia tinggal menutupnya dengan witir, dan dia bisa melaksanakan witirnya segera. Kemudian jika dia ingin melakukan shalat nafilah lagi setelahnya, maka dia bisa melaksanakan shalat nafilah, yakni shalat malam tersebut sekehendaknya dengan genap pula, yakni dua-dua, dan dia tidak perlu shalat witir yang kedua kalinya setelah itu.

Tentang apa yang dikatakan oleh sebagian orang -terkait cara yang kedua dengan menggenapkan witirnya, kemudian dia bernafilah lagi secara genap, yakni dua-dua, lalu menutup shalatnya itu dengan witir- maka ini merupakan pendapat yang lemah, karena dalam kondisi ini dia telah melakukan dua witir dalam satu malam.

Selain itu menambahkan satu rakaat baru pada satu rakaat sebelumnya, di mana di antara keduanya ada salam dan ada jeda waktu yang panjang, maka hal itu tidak ada dalil yang menggolongkannya bisa dipandang sebagai sesuatu yang disyariatkan, sehingga perkataan seperti ini tidak boleh diamalkan.

Dari Thalq bin Ali ra. ia berkata: aku mendengar Nabi Saw. bersabda:

“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Adapun hadits yang diriwayatkan Nafi' dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa ketika beliau ditanya tentang witir, ia berkata: “Adapun aku, jika aku berwitir sebelum aku tidur, kemudian aku ingin shalat di malamnya maka aku menggenapkan witir sebelumnya dengan satu rakaat, kemudian aku shalat dua-dua, dan jika aku telah menyelesaikan shalatnya maka aku berwitir dengan satu rakaat. Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memerintahkan untuk menjadikan akhir shalat malam itu adalah shalat witir.” (HR. Ahmad)

Ini adalah ijtihad Ibnu Umar dalam memahami perintah Rasulullah Saw. untuk menjadikan akhir shalat malam itu adalah shalat witir. Perbuatan sahabat atau ijtihad sahabat tidak menjadi dalil syara, walaupun perbuatan sahabat itu tetap merupakan hukum syara sehingga boleh untuk mengikutinya.

Ibnu Abbas telah menyalahkan Ibnu Umar ra. dalam ijtihadnya tersebut. Abdurrazaq telah meriwayatkan dari Salim: “Dari Ibnu Umar bahwa dia jika tidur setelah berwitir, kemudian dia bangun untuk shalat dari sebagian malam maka beliau melakukan shalat witir dengan genap, lalu shalat witir lagi setelahnya di akhir shalatnya. Az-Zuhri berkata: maka sampailah kabar itu kepada Ibnu Abbas dan dia tidak merasa heran, lalu dia berkata: Sesungguhnya Ibnu Umar, niscaya berwitir dalam satu malam sebanyak tiga kali,” maksudnya witir yang dilakukannya sebelum tidur, kemudian witirnya yang kedua yang digenapkannya dengan witir yang pertama, kemudian witir terakhir yang ketiga yang dilaksanakan setelah shalat malam, sehingga tidak ragu lagi bahwa Ibnu Umar ra. telah salah dalam ijtihadnya ini.

Adalah Ummul Mukminin, Aisyah ra. telah menyalahkan pendapat serupa. Abdurrazaq telah meriwayatkan: dari Abu ‘Athiyah dari Aisyah, ia berkata:

“Diceritakan kepadanya: ada seorang lelaki berwitir, kemudian bangun dan menggenapkannya dengan satu rakaat witir lagi. Maka dia berkata: orang itu mempermainkan witirnya.”

Perintah Nabi Saw. untuk menjadikan akhir shalat malam itu adalah shalat witir, ini berarti bahwa orang yang shalat malam tersebut tidak mendahulukan witir dari shalatnya itu, atau tidak menjadikan witir tersebut (menjadi bagian dari) shalat-shalat malamnya itu. Dia semata-mata menjadikan witir itu di akhir shalatnya. Karena itu, siapa saja yang melakukannya, dan kemudian dia tidur, maka dia telah menetapi perintah Nabi saw.
Kemudian jika dia bangun pada malamnya., lalu dia ingin melaksanakan shalat tathawwu' maka shalatlah sekehendaknya tanpa halangan apapun, dan dengan tidak membatalkan shalat yang sebelumnya yang telah dia lakukan. Perbuatan seperti ini tidak menyalahi perintah kenabian, karena sebelumnya dia telah menetapi perintah tersebut. Ketaatannya pada perintah tersebut bukan berarti menghalangi dirinya untuk melakukan shalat nafilah lagi ketika dia bangun pada malam itu dan bermaksud melakukan shalat.

Sebelumnya telah kami katakana bahwa witir itu dilaksanakan hanya satu kali dalam satu malam, maka kami ingin menambahkan juga bahwa witir itu adalah salah satu shalat nafilah yang terus-menerus dilakukan oleh Rasulullah Saw., dan beliau Saw. sangat menganjurkan kaum Muslim untuk melakukannya, sehingga witir merupakan shalat sunat yang terus-menerus dilakukan oleh Rasulullah Saw. dilihat dari disyariatkannya qadha shalat tersebut jika luput dan sudah keluar dari waktunya.
Jadi, siapa saja yang tertidur sebelum sempat shalat witir, kemudian bangun, sedangkan fajar telah terbit, maka dia boleh shalat witir. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bangun pagi dan belum berwitir, maka berwitirlah.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Dari Abu Said ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang tertidur dari witirnya atau lupa darinya maka hendaklah dia melakukan witir itu jika bangun pagi atau ketika ingat.” (HR. al-Baihaqi, ad-Daruquthni, dan al-Hakim)

Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini, tetapi dia tidak mencantumkan kalimat: “jika bangun pagi.”

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Barangsiapa yang tertidur dari witirnya maka hendaklah dia melakukannya ketika bangun pagi.”

Dari al-Agharr al-Muzani:

“Bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah Saw. dan bertanya: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bangun subuh dan aku belum berwitir.” Beliau berkata: “Maka berwitirlah.” (HR. at-Thabrani)

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam