Menjamak Di Antara Dua Shalat
Jamak tidak dilakukan
kecuali antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya saja. Jadi,
tidak sah menjamak shalat antara subuh dengan dhuhur, atau antara ashar dengan
maghrib, juga tidak antara isya dengan subuh. Hal ini merupakan perkara yang
pasti diketahui dalam agama. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. menjamak antara shalat dhuhur dengan ashar jika beliau berada dalam
perjalanan, dan menjamak antara maghrib dengan isya.” (HR. Bukhari, Muslim dan
Ahmad)
Dari Anas bin Malik
ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. menjamak antara shalat dhuhur dengan ashar, dan antara shalat maghrib
dengan isya dalam safar (perjalanan).” (HR. Ahmad)
Hadits-hadits dalam
masalah ini sangat banyak, sehingga tidak perlu disebutkan seluruhnya.
Menjamak antara dua
shalat merupakan kondisi pengecualian, karena menurut hukum asalnya, setiap
shalat itu memiliki waktu tertentu yang tidak boleh dilampaui. Kondisi
pengecualian ini disyariatkan ketika ada ‘udzur. Jika tidak ada ‘udzur maka
tidak dibolehkan sama sekali menjamak shalat. Kami telah menyebutkan dalam
pasal “shalat: hukum dan waktu-waktunya”
mengenai waktu-waktu shalat ini, dan wajib untuk menetapinya.
Amat keliru orang yang
membolehkan menjamak shalat tanpa ada ‘udzur dengan beralasan pada hadits Ibnu
Abbas ra.:
“Aku shalat bersama
Rasulullah Saw. delapan rakaat seluruhnya, dan tujuh rakaat seluruhnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Rasulullah Saw.
mengimami kami shalat di Madinah delapan dan tujuh, yakni dhuhur dengan ashar,
maghrib dengan isya.”
Dalam riwayat lain
diceritakan dengan redaksi:
“Rasulullah Saw.
shalat dengan menjamak dhuhur dan ashar di Madinah, tidak dalam kondisi
ketakutan dan (dalam) perjalanan. Abu Zubair berkata: lalu aku bertanya kepada
Said: “Mengapa Rasulullah Saw. melakukan hal itu?” Dia berkata: aku telah
bertanya kepada Ibnu Abbas tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka dia
menjawab: Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan seorangpun di antara umatnya.”
(HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam riwayat Muslim
lainnya disebutkan dengan redaksi:
“Rasulullah Saw.
menjamak antara dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya di Madinah, tidak
dalam kondisi ketakutan dan tidak ada hujan. Maka ditanyakan kepada Ibnu Abbas:
Apa yang beliau Saw. inginkan dari hal itu?” Dia menjawab: “Beliau Saw. tidak
ingin menyusahkan umatnya.”
Dalam riwayat Muslim
lainnya dari jalur Ibnu Abbas disebutkan:
“Rasulullah Saw.
menjamak shalat dhuhur dan ashar, menjamak maghrib dan isya, tidak dalam
kondisi ketakutan dan tidak dalam perjalanan.” (HR. Muslim)
Sebagian orang
menggunakan hadits ini dengan beberapa jalurnya sebagai dalil bolehnya menjamak
shalat secara mutlak, dan mereka tidak membatasinya dengan ‘udzur apapun.
Yang benar adalah
bahwa hadits ini -dengan berbagai jalurnya- tidak menunjukkan pada pendapat
yang mereka pegang itu. Sebab, kalau seperti itu maka akan ada pernyataan tidak
ada kewajiban menetapi waktu-waktu shalat, atau akan ada pernyataan bahwa
menetapi waktu-waktu shalat itu hukumnya sunah saja, sehingga pendapat seperti
ini menyalahi dan jauh dari kebenaran. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(TQS. an-Nisa [4]: 103)
Yang benar adalah
bahwa Rasulullah Saw. telah menghimpun shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan
isya di Madinah itu sebagai jamak shuwariy
saja. Artinya, beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur hingga ke akhir waktu,
lalu beliau melaksanakan shalat dhuhur itu (di akhir waktu tersebut), dan
beliau menyegerakan shalat ashar di awal waktu dan melaksanakan shalat itu di
awal waktu tersebut, sehingga tampak dua shalat ini seolah-olah dijamak secara
berbarengan. Begitu pula beliau melakukan dua shalat maghrib dan isya.
Jamak shuwariy itu boleh saja dilakukan, tentu saja
tanpa ada ‘udzur sekalipun. Ketika Rasulullah Saw. melaksanakan shalat di awal
waktunya, kemudian para sahabat melihatnya shalat menyalahi kebiasaannya dengan
tujuh dan delapan rakaat, mereka menyebut perbuatan tersebut sebagai menjamak
(mengumpulkan), dan fakta yang sebenarnya memang mengumpulkan, tetapi mereka
menyangka bahwa beliau telah mengeluarkan shalat dhuhur dari waktunya dan
memasukkannya dalam waktu shalat ashar. Beliau melakukan hal serupa dengan
shalat maghrib.
Shalat jamak itu
adalah mengeluarkan salah satu shalat dari waktunya dan memasukkannya ke dalam
waktu shalat yang lain. Para sahabat tidak menaruh perhatian pada jamak shuwariy ini, artinya, tetap melaksanakan
setiap shalat pada waktunya tetapi dengan mendekatkan salah satu shalat pada
yang lainnya, yaitu dengan melaksanakan shalat yang satu di akhir waktunya dan
yang lain di awal waktunya secara berdekatan, sehingga terjadi jamak shalat
-yaitu jamak shuwariy-. Yaitu beliau
Saw. mengambil bentuk atau rupa seperti shalat jamak. Inilah pendapat yang
harus dipegang, jika tidak, maka penetapan waktu-waktu shalat menjadi batal
atau menjadi sesuatu yang sunah saja. Dan seperti yang kami katakan, tentu hal
ini menyalahi dan jauh dari kebenaran.
Untuk lebih
meyakinkan, kami akan menyebutkan dua hadits yang menunjukkan hal ini. Pertama
adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata:
“Aku shalat jamak
bersama Rasulullah Saw. di Madinah delapan rakaat dan menjamak tujuh rakaat.
Beliau Saw. mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, dan beliau (juga)
mengakhirkan maghrib dan menyegerakan isya.” (HR. an-Nasai)
Dan kedua, adalah
hadits yang diriwayatkan Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas, ia berkata:
Aku shalat jamak
bersama Rasulullah Saw. delapan rakaat dan menjamak tujuh rakaat. Aku bertanya:
“Wahai Abu Sya’tsa: aku mengira beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur dan
menyegerakan shalat ashar, dan mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan
shalat isya.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Aku juga menyangka seperti itu.” (HR.
Muslim dan Ahmad)
Ibnu Abbas sendiri
yang meriwayatkan hadits di atas melalui beberapa jalur ini menyatakan: “beliau
Saw. mengakhirkan shalat dhuhur dan menyegerakan shalat ashar, dan beliau Saw.
mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya.” Ibnu Abbas ra. tidak
menyalahi dirinya sendiri, dan mengamalkan dua dalil itu lebih baik daripada
mengabaikan salah satunya. Dengan mengamalkan dua dalil ini kami memiliki
pemahaman seperti yang telah kami katakan tadi, yaitu bahwa Rasulullah Saw.
telah menjamak dua shalat di sini sebagai jamak shuwariy,
yakni beliau Saw. telah melaksanakan dua shalat dalam bentuk atau rupa jamak.
Pemahaman seperti inilah yang seharusnya dipegang, dan yang selainnya harus
ditinggalkan.
Kami telah mengatakan
di awal pembahasan bahwa menjamak dua shalat itu merupakan kondisi
pengecualian, dan kami katakan bahwa kondisi ini disyariatkan ketika ada
‘udzur. Dan ‘udzur yang membolehkan seseorang menjamak shalat adalah karena
safar (bepergian), hujan, ketakutan, sakit, tua, dan sebagainya. Apabila shalat
tidak dijamak, berbagai peristiwa tadi bisa menimbulkan kesulitan dan
kesusahan. Padahal syariat itu menghilangkan kesulitan dari kaum Muslim,
sehingga jika ada salah satu 'udzur yang kami sebutkan tadi, maka antara dua
shalat boleh dijamak, yaitu boleh menjamak shalat dhuhur dengan shalat ashar,
shalat maghrib dengan shalat isya, baik dengan jamak taqdim ataupun jamak ta'khir,
di mana dua shalat dilaksanakan dalam waktu salah satunya, baik waktu tersebut
waktu shalat yang pertama dari keduanya ataupun waktu shalat yang kedua dari
keduanya. Dua perkara ini boleh dilakukan. Dari Abu Hurairah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menjamak antara dhuhur dengan ashar dalam perjalanannya ke Tabuk.” (HR. Malik)
Dari Abdullah bin Umar
ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika mempercepat perjalanannya, maka beliau menjamak antara maghrib dengan
isya.” (HR. Malik, Muslim dan Bukhari)
Dari Abdullah bin
Mas'ud ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menjamak antara dua shalat dalam perjalanan.” (HR. al-Bazzar, Abu Ya'la dan
at-Thabrani)
Al-Bazzar meriwayatkan
hadits serupa dari jalur Abu Said ra.
Dan dari Muadz bin
Jabal ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
menjamak dalam Perang Tabuk antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib
dengan isya. Dia berkata: maka aku bertanya: “Apa yang mendorong beliau
melakukan hal itu?” Dia berkata: maka Muadz menjawab: “Beliau tidak ingin
menyusahkan umatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Sebelumnya telah
disebutkan hadits Ibnu Abbas ra. dengan berbagai jalurnya, di dalamnya
dikatakan:
“Rasulullah Saw.
menjamak shalat dhuhur dan ashar di Madinah dalam kondisi tidak dalam ketakutan
dan tidak dalam perjalanan.”
“Rasulullah Saw.
menjamak antara dhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah tanpa ada
ketakutan dan tidak ada hujan.”
Dalam hadits ini Ibnu
Abbas ingin menjelaskan bahwa ketakutan, hujan, safar, merupakan ‘udzur yang
menjadikan seseorang boleh menjamak shalat. Dia telah menafikan keberadaan
‘udzur-‘udzur tadi ketika Rasulullah Saw. seolah menjamak shalat dengan jamak shuwariy tersebut di Madinah. Seandainya semua
hal tadi bukan ‘udzur, maka tidak akan dikatakannya dalam hadits ini.
‘Udzur-‘udzur ini masuk dalam kategori kesusahan dan kesulitan, dan hadits
tersebut menyebutkan,
“Beliau Saw. tidak
ingin menyusahkan seorangpun dari umatnya.”
Kondisi tua renta
termasuk dalam kategori ini, sama seperti hal-hal lain yang bisa menyebabkan
timbulnya kesusahan (al-haraj) bagi mushalli jika dia shalat tanpa menjamak. Telah
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
menjamak antara shalat al-aula dan
shalat ashar, antara maghrib dan isya. Lalu ditanyakan pada beliau tentang hal
itu, maka beliau Saw. menjawab: “Aku berbuat seperti ini agar umatku tidak
merasa susah.” (HR. Thabrani)
Jadi, pada prinsipnya,
jamak itu boleh dilakukan jika mushalli
tertimpa ‘udzur yang bisa menimbulkan kesusahan baginya jika dia tidak menjamak
antara dua shalat. Dan ini tanpa ragu lagi merupakan prinsip yang luas.
Kesusahan (al-haraj) menjadi ‘illat menjamak shalat. Tatkala ada kesusahan
maka menjamak shalat menjadi boleh.
Bagi orang yang
berhaji disunahkan untuk menjamak antara dhuhur dengan ashar dengan jamak taqdim di Arafah pada hari kesembilan bulan
Dzulhijjah, dan antara maghrib dan isya dengan jamak ta'khir di Muzdalifah, di mana hukumnya sama saja baik yang
berhaji itu dari kalangan penduduk Makkah maupun yang bersafar.
Rasulullah Saw. telah
menjamak antara dhuhur dengan ashar di Arafah, dan antara maghrib dengan isya
di Muzdalifah, dan beliau Saw. menjadi imam bagi seluruh jamaah haji, baik dari
kalangan penduduk Makkah ataupun yang selainnya. Penduduk Makkah tidak dikecualikan
dalam hal menjamak shalat.
Ini menunjukkan
bolehnya menjamak shalat bagi seluruh jamaah haji, baik yang musafir ataupun
yang tidak pada musim haji di Arafah dan di Muzdalifah. Dari Ja’far bin
Muhammad, ia berkata:
“Kami mengunjungi
Jabir bin Abdillah...lalu aku berkata: ceritakanlah kepadaku tentang haji
Rasulullah Saw. Maka ia berkata: …sesungguhnya Rasulullah Saw. tinggal atau
tidak berangkat haji selama sembilan tahun, kemudian pada tahun kesepuluh
diumumkan pada orang-orang bahwa Rasulullah Saw. akan berangkat haji... lalu
Rasulullah Saw. melewati Muzdalifah hingga tiba di dekat Arafah, dan beliau
mendapati tenda telah didirikan untuknya di Namirah. Beliau Saw. singgah di
sana, hingga ketika matahari terbenam. Beliau Saw. minta dibawakan al-qushwa, dan beliau menaikinya. Kemudian
beliau tiba di tengah lembah dan beliau berkhutbah di hadapan orang-orang,
...Setelah itu dikumandangkan adzan dan iqamat, lalu beliau Saw. shalat dhuhur.
Kemudian dikumandangkan iqamat dan beliau Saw. shalat ashar. Beliau tidak
melakukan shalat apapun di antara keduanya. Setelah itu beliau berjalan naik
tunggangannya hingga tiba di tempat wuquf.” (HR. Muslim)
Ahmad dan an-Nasai
meriwayatkan hadits ini juga. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berangkat hingga tiba di Muzdalifah, lalu beliau shalat maghrib dan isya di
sana dengan satu adzan dan dua iqamat, dan tidak melakukan shalat apapun di
antara keduanya.” (HR. an-Nasai)
Dari Usamah bin Zaid
ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berangkat dari Arafah, hingga ketika tiba di satu lembah beliau turun kemudian
buang air kecil. Lalu beliau Saw. berwudhu tetapi tidak menyelesaikan wudhunya.
Aku berkata kepadanya: shalat. Maka beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan
di depan.” Beliau naik tunggangannya. Ketika tiba di Muzdalifah beliau Saw.
turun, berwudhu dan menyempurnakan wudhunya. Kemudian dikumandangkan iqamat
shalat, lalu beliau Saw. shalat Maghrib. Semua orang menderumkan
(memberhentikan dan mengikat) untanya pada tempatnya. Iqamat shalat
dikumandangkan, dan beliau Saw. shalat (isya). Beliau Saw. tidak melakukan
shalat apapun di antara keduanya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Ucapannya dalam hadits
yang pertama: dhuribat lahu bi namirah,
yakni dibuatlah untuknya tenda di suatu tempat di dekat Arafah, yang disebut
Namirah.
Dan ucapannya dalam
hadits yang pertama: bil qushwa, yakni
unta Rasulullah Saw.
Ucapannya dalam hadits
yang ketiga: maka aku berkata kepadanya: shalat, lalu beliau Saw. berkata:
“Shalat akan dilakukan di depan”, artinya bahwa Usamah bin Zaid mengingatkan
Rasulullah Saw. tentang tibanya waktu shalat maghrib, tetapi Rasulullah Saw. memberitahukannya
bahwa shalat maghrib akan dilakukan kemudian. Beliau tidak shalat maghrib pada
waktunya karena beliau Saw. ingin mengakhirkannya dan melaksanakannya pada
waktu shalat isya dengan jamak ta'khir.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar