Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 29 Juli 2017

Dalil Menjamak Dua Shalat


Menjamak Di Antara Dua Shalat

Jamak tidak dilakukan kecuali antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya saja. Jadi, tidak sah menjamak shalat antara subuh dengan dhuhur, atau antara ashar dengan maghrib, juga tidak antara isya dengan subuh. Hal ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam agama. Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. menjamak antara shalat dhuhur dengan ashar jika beliau berada dalam perjalanan, dan menjamak antara maghrib dengan isya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. menjamak antara shalat dhuhur dengan ashar, dan antara shalat maghrib dengan isya dalam safar (perjalanan).” (HR. Ahmad)

Hadits-hadits dalam masalah ini sangat banyak, sehingga tidak perlu disebutkan seluruhnya.

Menjamak antara dua shalat merupakan kondisi pengecualian, karena menurut hukum asalnya, setiap shalat itu memiliki waktu tertentu yang tidak boleh dilampaui. Kondisi pengecualian ini disyariatkan ketika ada ‘udzur. Jika tidak ada ‘udzur maka tidak dibolehkan sama sekali menjamak shalat. Kami telah menyebutkan dalam pasal “shalat: hukum dan waktu-waktunya” mengenai waktu-waktu shalat ini, dan wajib untuk menetapinya.

Amat keliru orang yang membolehkan menjamak shalat tanpa ada ‘udzur dengan beralasan pada hadits Ibnu Abbas ra.:

“Aku shalat bersama Rasulullah Saw. delapan rakaat seluruhnya, dan tujuh rakaat seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. mengimami kami shalat di Madinah delapan dan tujuh, yakni dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya.”

Dalam riwayat lain diceritakan dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. shalat dengan menjamak dhuhur dan ashar di Madinah, tidak dalam kondisi ketakutan dan (dalam) perjalanan. Abu Zubair berkata: lalu aku bertanya kepada Said: “Mengapa Rasulullah Saw. melakukan hal itu?” Dia berkata: aku telah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka dia menjawab: Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan seorangpun di antara umatnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan dengan redaksi:

“Rasulullah Saw. menjamak antara dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya di Madinah, tidak dalam kondisi ketakutan dan tidak ada hujan. Maka ditanyakan kepada Ibnu Abbas: Apa yang beliau Saw. inginkan dari hal itu?” Dia menjawab: “Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan umatnya.”

Dalam riwayat Muslim lainnya dari jalur Ibnu Abbas disebutkan:

“Rasulullah Saw. menjamak shalat dhuhur dan ashar, menjamak maghrib dan isya, tidak dalam kondisi ketakutan dan tidak dalam perjalanan.” (HR. Muslim)

Sebagian orang menggunakan hadits ini dengan beberapa jalurnya sebagai dalil bolehnya menjamak shalat secara mutlak, dan mereka tidak membatasinya dengan ‘udzur apapun.

Yang benar adalah bahwa hadits ini -dengan berbagai jalurnya- tidak menunjukkan pada pendapat yang mereka pegang itu. Sebab, kalau seperti itu maka akan ada pernyataan tidak ada kewajiban menetapi waktu-waktu shalat, atau akan ada pernyataan bahwa menetapi waktu-waktu shalat itu hukumnya sunah saja, sehingga pendapat seperti ini menyalahi dan jauh dari kebenaran. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (TQS. an-Nisa [4]: 103)

Yang benar adalah bahwa Rasulullah Saw. telah menghimpun shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah itu sebagai jamak shuwariy saja. Artinya, beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur hingga ke akhir waktu, lalu beliau melaksanakan shalat dhuhur itu (di akhir waktu tersebut), dan beliau menyegerakan shalat ashar di awal waktu dan melaksanakan shalat itu di awal waktu tersebut, sehingga tampak dua shalat ini seolah-olah dijamak secara berbarengan. Begitu pula beliau melakukan dua shalat maghrib dan isya.
Jamak shuwariy itu boleh saja dilakukan, tentu saja tanpa ada ‘udzur sekalipun. Ketika Rasulullah Saw. melaksanakan shalat di awal waktunya, kemudian para sahabat melihatnya shalat menyalahi kebiasaannya dengan tujuh dan delapan rakaat, mereka menyebut perbuatan tersebut sebagai menjamak (mengumpulkan), dan fakta yang sebenarnya memang mengumpulkan, tetapi mereka menyangka bahwa beliau telah mengeluarkan shalat dhuhur dari waktunya dan memasukkannya dalam waktu shalat ashar. Beliau melakukan hal serupa dengan shalat maghrib.
Shalat jamak itu adalah mengeluarkan salah satu shalat dari waktunya dan memasukkannya ke dalam waktu shalat yang lain. Para sahabat tidak menaruh perhatian pada jamak shuwariy ini, artinya, tetap melaksanakan setiap shalat pada waktunya tetapi dengan mendekatkan salah satu shalat pada yang lainnya, yaitu dengan melaksanakan shalat yang satu di akhir waktunya dan yang lain di awal waktunya secara berdekatan, sehingga terjadi jamak shalat -yaitu jamak shuwariy-. Yaitu beliau Saw. mengambil bentuk atau rupa seperti shalat jamak. Inilah pendapat yang harus dipegang, jika tidak, maka penetapan waktu-waktu shalat menjadi batal atau menjadi sesuatu yang sunah saja. Dan seperti yang kami katakan, tentu hal ini menyalahi dan jauh dari kebenaran.
Untuk lebih meyakinkan, kami akan menyebutkan dua hadits yang menunjukkan hal ini. Pertama adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata:

“Aku shalat jamak bersama Rasulullah Saw. di Madinah delapan rakaat dan menjamak tujuh rakaat. Beliau Saw. mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, dan beliau (juga) mengakhirkan maghrib dan menyegerakan isya.” (HR. an-Nasai)

Dan kedua, adalah hadits yang diriwayatkan Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas, ia berkata:

Aku shalat jamak bersama Rasulullah Saw. delapan rakaat dan menjamak tujuh rakaat. Aku bertanya: “Wahai Abu Sya’tsa: aku mengira beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur dan menyegerakan shalat ashar, dan mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Aku juga menyangka seperti itu.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Ibnu Abbas sendiri yang meriwayatkan hadits di atas melalui beberapa jalur ini menyatakan: “beliau Saw. mengakhirkan shalat dhuhur dan menyegerakan shalat ashar, dan beliau Saw. mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya.” Ibnu Abbas ra. tidak menyalahi dirinya sendiri, dan mengamalkan dua dalil itu lebih baik daripada mengabaikan salah satunya. Dengan mengamalkan dua dalil ini kami memiliki pemahaman seperti yang telah kami katakan tadi, yaitu bahwa Rasulullah Saw. telah menjamak dua shalat di sini sebagai jamak shuwariy, yakni beliau Saw. telah melaksanakan dua shalat dalam bentuk atau rupa jamak. Pemahaman seperti inilah yang seharusnya dipegang, dan yang selainnya harus ditinggalkan.

Kami telah mengatakan di awal pembahasan bahwa menjamak dua shalat itu merupakan kondisi pengecualian, dan kami katakan bahwa kondisi ini disyariatkan ketika ada ‘udzur. Dan ‘udzur yang membolehkan seseorang menjamak shalat adalah karena safar (bepergian), hujan, ketakutan, sakit, tua, dan sebagainya. Apabila shalat tidak dijamak, berbagai peristiwa tadi bisa menimbulkan kesulitan dan kesusahan. Padahal syariat itu menghilangkan kesulitan dari kaum Muslim, sehingga jika ada salah satu 'udzur yang kami sebutkan tadi, maka antara dua shalat boleh dijamak, yaitu boleh menjamak shalat dhuhur dengan shalat ashar, shalat maghrib dengan shalat isya, baik dengan jamak taqdim ataupun jamak ta'khir, di mana dua shalat dilaksanakan dalam waktu salah satunya, baik waktu tersebut waktu shalat yang pertama dari keduanya ataupun waktu shalat yang kedua dari keduanya. Dua perkara ini boleh dilakukan. Dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menjamak antara dhuhur dengan ashar dalam perjalanannya ke Tabuk.” (HR. Malik)

Dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika mempercepat perjalanannya, maka beliau menjamak antara maghrib dengan isya.” (HR. Malik, Muslim dan Bukhari)

Dari Abdullah bin Mas'ud ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menjamak antara dua shalat dalam perjalanan.” (HR. al-Bazzar, Abu Ya'la dan at-Thabrani)

Al-Bazzar meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Said ra.

Dan dari Muadz bin Jabal ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. menjamak dalam Perang Tabuk antara dhuhur dengan ashar, dan antara maghrib dengan isya. Dia berkata: maka aku bertanya: “Apa yang mendorong beliau melakukan hal itu?” Dia berkata: maka Muadz menjawab: “Beliau tidak ingin menyusahkan umatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Sebelumnya telah disebutkan hadits Ibnu Abbas ra. dengan berbagai jalurnya, di dalamnya dikatakan:

“Rasulullah Saw. menjamak shalat dhuhur dan ashar di Madinah dalam kondisi tidak dalam ketakutan dan tidak dalam perjalanan.”

“Rasulullah Saw. menjamak antara dhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah tanpa ada ketakutan dan tidak ada hujan.”

Dalam hadits ini Ibnu Abbas ingin menjelaskan bahwa ketakutan, hujan, safar, merupakan ‘udzur yang menjadikan seseorang boleh menjamak shalat. Dia telah menafikan keberadaan ‘udzur-‘udzur tadi ketika Rasulullah Saw. seolah menjamak shalat dengan jamak shuwariy tersebut di Madinah. Seandainya semua hal tadi bukan ‘udzur, maka tidak akan dikatakannya dalam hadits ini. ‘Udzur-‘udzur ini masuk dalam kategori kesusahan dan kesulitan, dan hadits tersebut menyebutkan,

“Beliau Saw. tidak ingin menyusahkan seorangpun dari umatnya.”

Kondisi tua renta termasuk dalam kategori ini, sama seperti hal-hal lain yang bisa menyebabkan timbulnya kesusahan (al-haraj) bagi mushalli jika dia shalat tanpa menjamak. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. menjamak antara shalat al-aula dan shalat ashar, antara maghrib dan isya. Lalu ditanyakan pada beliau tentang hal itu, maka beliau Saw. menjawab: “Aku berbuat seperti ini agar umatku tidak merasa susah.” (HR. Thabrani)

Jadi, pada prinsipnya, jamak itu boleh dilakukan jika mushalli tertimpa ‘udzur yang bisa menimbulkan kesusahan baginya jika dia tidak menjamak antara dua shalat. Dan ini tanpa ragu lagi merupakan prinsip yang luas. Kesusahan (al-haraj) menjadi ‘illat menjamak shalat. Tatkala ada kesusahan maka menjamak shalat menjadi boleh.

Bagi orang yang berhaji disunahkan untuk menjamak antara dhuhur dengan ashar dengan jamak taqdim di Arafah pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan antara maghrib dan isya dengan jamak ta'khir di Muzdalifah, di mana hukumnya sama saja baik yang berhaji itu dari kalangan penduduk Makkah maupun yang bersafar.
Rasulullah Saw. telah menjamak antara dhuhur dengan ashar di Arafah, dan antara maghrib dengan isya di Muzdalifah, dan beliau Saw. menjadi imam bagi seluruh jamaah haji, baik dari kalangan penduduk Makkah ataupun yang selainnya. Penduduk Makkah tidak dikecualikan dalam hal menjamak shalat.
Ini menunjukkan bolehnya menjamak shalat bagi seluruh jamaah haji, baik yang musafir ataupun yang tidak pada musim haji di Arafah dan di Muzdalifah. Dari Ja’far bin Muhammad, ia berkata:

“Kami mengunjungi Jabir bin Abdillah...lalu aku berkata: ceritakanlah kepadaku tentang haji Rasulullah Saw. Maka ia berkata: …sesungguhnya Rasulullah Saw. tinggal atau tidak berangkat haji selama sembilan tahun, kemudian pada tahun kesepuluh diumumkan pada orang-orang bahwa Rasulullah Saw. akan berangkat haji... lalu Rasulullah Saw. melewati Muzdalifah hingga tiba di dekat Arafah, dan beliau mendapati tenda telah didirikan untuknya di Namirah. Beliau Saw. singgah di sana, hingga ketika matahari terbenam. Beliau Saw. minta dibawakan al-qushwa, dan beliau menaikinya. Kemudian beliau tiba di tengah lembah dan beliau berkhutbah di hadapan orang-orang, ...Setelah itu dikumandangkan adzan dan iqamat, lalu beliau Saw. shalat dhuhur. Kemudian dikumandangkan iqamat dan beliau Saw. shalat ashar. Beliau tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya. Setelah itu beliau berjalan naik tunggangannya hingga tiba di tempat wuquf.” (HR. Muslim)

Ahmad dan an-Nasai meriwayatkan hadits ini juga. Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berangkat hingga tiba di Muzdalifah, lalu beliau shalat maghrib dan isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamat, dan tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. an-Nasai)

Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. berangkat dari Arafah, hingga ketika tiba di satu lembah beliau turun kemudian buang air kecil. Lalu beliau Saw. berwudhu tetapi tidak menyelesaikan wudhunya. Aku berkata kepadanya: shalat. Maka beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan di depan.” Beliau naik tunggangannya. Ketika tiba di Muzdalifah beliau Saw. turun, berwudhu dan menyempurnakan wudhunya. Kemudian dikumandangkan iqamat shalat, lalu beliau Saw. shalat Maghrib. Semua orang menderumkan (memberhentikan dan mengikat) untanya pada tempatnya. Iqamat shalat dikumandangkan, dan beliau Saw. shalat (isya). Beliau Saw. tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Ucapannya dalam hadits yang pertama: dhuribat lahu bi namirah, yakni dibuatlah untuknya tenda di suatu tempat di dekat Arafah, yang disebut Namirah.
Dan ucapannya dalam hadits yang pertama: bil qushwa, yakni unta Rasulullah Saw.
Ucapannya dalam hadits yang ketiga: maka aku berkata kepadanya: shalat, lalu beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan di depan”, artinya bahwa Usamah bin Zaid mengingatkan Rasulullah Saw. tentang tibanya waktu shalat maghrib, tetapi Rasulullah Saw. memberitahukannya bahwa shalat maghrib akan dilakukan kemudian. Beliau tidak shalat maghrib pada waktunya karena beliau Saw. ingin mengakhirkannya dan melaksanakannya pada waktu shalat isya dengan jamak ta'khir.


Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam