1. Dua Shalat ‘Id Hukum dan
Waktunya
Terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama seputar hukum shalat ‘Idain (dua hari raya). Di antara mereka ada yang menghukuminya
sebagai wajib ‘ain, ada yang memandangnya sunah
mu'akkadah, dan ada juga yang
memandangnya sebagai fardhu kifayah, dan
inilah yang benar. Ini karena terdapat beberapa alasan yang akan kami jelaskan
berikut ini:
1) Shalat ‘Idain (dua hari raya) merupakan sebagian dari
syiar-syiar dan panji-panji Islam. Sedangkan syiar-syiar dan panji-panji Islam
tidak mungkin dibangun di atas perkara-perkara yang mandub alias sunat, yang boleh dilakukan dan boleh pula
ditinggalkan. Hal ini tidak tegak kecuali dengan memandang penting syiar-syiar
ini. Syiar-syiar tersebut menjadi sebagian dari kewajiban-kewajiban agama, dan
terkait dengan syiar yang satu ini -yakni shalat dua hari raya- maka Islam
telah menetapkan beberapa ritual yang harus dilakukan hingga syiar-syiar ini
dapat terlaksana. Di dalam (ibadah) haji banyak terdapat ritual, di antaranya
adalah memotong hewan kurban pada hari raya. Ritual ini, yakni memotong hewan
kurban, pelaksanaannya dikaitkan dengan pelaksanaan syiar shalat ‘Id, sehingga
tidak mungkin hukum shalat hari raya itu mandub,
yaitu ada peluang untuk dilakukan atau ditinggalkan, sehingga dengan
meninggalkannya maka ritual-ritual haji akan terabaikan. Dari al-Barra bin
‘Azib ra., ia berkata:
“Nabi Saw. berkhutbah
pada hari raya kurban setelah shalat. Beliau Saw. bersabda: “Barangsiapa yang
melaksanakan shalat kami ini, dan melakukan ritual kurban seperti kami, maka
ritualnya itu telah benar. Barangsiapa yang melakukan ritual kurban sebelum shalat
maka sesungguhnya itu hanya dipandang sebagai penyembelihan biasa sebelum
shalat, dan tidak dipandang ada nilai ritual kurban di dalamnya…” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain
yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur yang sama:
“Sesungguhnya perkara
yang mula-mula kami lakukan pada hari ini adalah melaksanakan shalat, kemudian
kami pulang, lalu kami memotong hewan kurban. Maka barangsiapa yang melakukan
hal seperti itu dia telah sesuai dengan sunat kami, dan barangsiapa memotong
hewan sebelum shalat maka ia menjadi daging yang dia berikan untuk keluarganya
dan tidak ada nilai kurban sedikitpun di dalamnya…”
Allah Swt. berfirman:
“Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (TQS. ali Kautsar [108]: 2)
2) Sesungguhnya
syariat telah mewajibkan beberapa kefardhuan dan menjadikan pelaksanaanya
sebagai satu kewajiban yang harus dilaksanakan. Syariat menjadikan kefardhuan
itu lebih tinggi daripada hal-hal yang mandub (disunahkan). Jika syariat
memerintahkan salah satu dari kewajiban ini, kemudian kita melihat bahwa
kewajiban tersebut bisa diganti dengan perbuatan yang lain, maka hal itu
menunjukkan bahwa perbuatan yang lain tersebut merupakan satu kewajiban juga.
Jika perbuatan yang lain tersebut bukan satu kewajiban, tidak mungkin dia bisa
mengganti kewajiban yang pertama, karena sesuatu yang mandub itu kedudukannya
di bawah yang fardhu, dan tidak mungkin sesuatu yang mandub menggantikan posisi
yang fardhu dan bisa menggesernya, dan tidak mungkin sesuatu yang fardhu itu
diganti kecuali oleh sesuatu yang fardhu juga.
Kaidah ini mudah untuk
dipahami dan diterima. Syariat telah memfardhukan shalat dhuhur, lalu kita
melihat syariat juga memerintahkan dilaksanakannya shalat Jum’at pada hari
Jum’at sebagai pengganti shalat dhuhur, maka kita bisa memahami bahwa shalat
Jum’at itu fardhu. Jika bukan fardhu, tidak mungkin shalat Jum’at bisa
mengganti posisi shalat dhuhur pada hari Jum’at.
Berdasarkan hal itu
kita bisa memahami bahwa shalat Jum’at itu fardhu, jika bukan fardhu, tidak
mungkin shalat Jum’at bisa menggeser shalat dhuhur yang difardhukan.
Lalu kita melihat
bahwa syariat memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat dua hari raya pada
hari Jum’at, di mana shalat dua hari raya pada hari Jum’at bisa menggugurkan
kewajiban shalat Jum’at. Dengan kata lain, orang yang shalat dua hari raya pada
hari Jum’at, maka telah gugur kewajiban shalat Jum’at darinya. Sehingga bisa
dipahami bahwa shalat dua hari raya seandainya bukan sesuatu yang difardhukan
tidak mungkin bisa mengganti posisi shalat Jum’at, dan tidak mungkin bisa
menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Apakah shalat yang mandub bisa
menggugurkan kewajiban shalat fardhu? Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata:
“Aku menyaksikan Ibnu
Zubair di Makkah, sedangkan kedudukannya sebagai amir. Lalu saat itu hari raya
'Idul Fitri atau Adha, bertepatan dengan hari Jum'at. Maka dia mengakhirkan
keluar hingga hari sedikit tinggi. Dia keluar dan naik mimbar, seraya berkhutbah
dan memanjangkan khutbahnya, lalu dia shalat dua rakaat, dan tidak shalat
Jum'at. Namun orang-orang dari Bani Umayyah bin Abdi Syams mencelanya, dan hal
itu sampai kepada Ibnu Abbas. Kemudian ia berkata: “Ibnu Zubair telah melakukan
sesuatu sesuai dengan sunnah.” Dan perkataan itu sampai kepada Ibnu Zubair;
lalu ia berkata: “Aku melihat Umar bin Khaththab ra., jika berkumpul dua hari
raya maka dia melakukan hal serupa dengan ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan
an-Nasai)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini tanpa ada ucapan di akhir hadits: “dan sampailah ucapan itu pada
Ibnu Zubair...”
Dari Iyas bin Abi
Ramalah as-Syamiy, ia berkata:
“Aku mendengar
seseorang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah engkau pernah menyaksikan dua
hari raya dalam satu hari bersama Rasulullah?” Ia berkata: “Ya.” Ia berkata:
“Apa yang dilakukan Rasulullah?” Ia berkata: “Beliau shalat hari raya, kemudian
memberikan keringanan (untuk tidak shalat Jum'at) pada hari Jum'at, kemudian
bersabda:
“Barangsiapa yang mau
shalat (Jum'at) maka shalatlah.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra.
dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. bersabda:
“Dua hari raya telah
berkumpul pada hari kalian ini. Barangsiapa yang mau maka (shalat 'Id) telah
cukup baginya dari shalat Jum'at, dan sesungguhnya kami insya Allah akan tetap melaksanakan shalat Jumat.” (HR. Ibnu
Majah)
Ibnu Majah, Abu Dawud
dan al-Hakim meriwayatkan juga hadits ini dari jalur Abu Hurairah. Dilalah nash-nash ini begitu jelas.
3) Sesungguhnya
syariat tidak akan mewajibkan kepada kaum wanita untuk keluar dari rumah-rumah
mereka untuk melaksanakan shalat-shalat fardhu, dan akan mendorong mereka untuk
melaksanakan shalat-shalat ini di rumah-rumah mereka. Ini diterapkan pada shalat
fardhu yang lima, sebagaimana juga pada shalat Jum’at, maka kaum wanita
melaksanakan shalat-shalat fardhu di rumah-rumah mereka itu lebih utama
daripada melaksanakannya di masjid-masjid. Ini adalah hukum yang bersifat umum
yang tidak bisa dilanggar kecuali khusus terkait shalat hari raya saja.
Kita mendapati bahwa
syariat telah memerintahkan, mendorong dan sangat menganjurkan agar kaum wanita
keluar dari rumah-rumah mereka untuk melaksanakan shalat hari raya. Begitu
besar dorongan dari syariat hingga syariat tidak mengecualikan seorangpun dari
kalangan wanita. Syariat telah memerintahkan kaum wanita, besar maupun kecil,
hingga orang yang haid di antara mereka, dan hingga orang yang tidak memiliki
jilbab sekalipun, untuk keluar pada hari raya dan meminjam jilbab dari
perempuan yang lain. Lalu, petunjuk apa terhadap fenomena ini? Apakah dengan
dimintanya kaum wanita untuk tidak shalat fardhu dan shalat Jum'at di masjid,
dan mereka dianjurkan melaksanakan shalat-shalat tersebut di rumah mereka,
kemudian -di saat lain- kita mendapati bahwa mereka diminta keluar dari rumah
mereka untuk melaksanakan shalat hari raya, lalu kita tetap berpandangan bahwa
shalat dua hari raya itu sesuatu yang mandub atau sunah saja? Sesungguhnya
pandangan seperti ini jauh dari kebenaran. Tidak bisa tergambarkan bagaimana
syariat bisa memerintahkan agar kaum wanita melaksanakan shalat-shalat fardhu
di rumah-rumah, kemudian syariat memerintahkan mereka keluar rumah melaksanakan
sesuatu yang mandub. Semua itu menunjukkan bahwa shalat dua hari raya adalah
suatu kefardhuan atau kewajiban [kifayah].
Dari Ummu Athiyah ra., ia berkata:
“Kami diperintahkan
untuk keluar pada hari raya, hingga kami mengeluarkan para gadis dari tempat
pingitannya, mengeluarkan wanita yang sedang haid di mana mereka berada di
belakang orang-orang. Lalu kami bertakbir bersama takbir kaum mereka (kaum
Muslim), dan berdoa dengan doa mereka, mengharap barakah dan kesucian hari
itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang
kedua yang diriwayatkan Bukhari dari Ummu Athiyah, ia berkata:
“Kami diperintahkan
untuk mengeluarkan wanita-wantia muda dan gadis-gadis pingitan.”
Bukhari meriwayatkan
hadits semisal dari Hafshah ra., dan ia menambahkan:
“Dia berkata:
“Wanita-wanita muda dan gadis-gadis pingitan, dan wanita-wanita yang sedang
haid menjauhi tempat shalat'”
Dalam riwayat Bukhari
dan Muslim lainnya dari jalur Ummu Athiyah, ia berkata:
“Kami diperintah untuk
keluar (rumah), lalu kami mengeluarkan para wanita yang sedang haid,
gadis-gadis muda, gadis-gadis pingitan. Ibnu Aun berkata: atau gadis-gadis
muda, yakni gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, maka
mereka menyaksikan jamaah kaum Muslim dan doa-doa mereka, dan wanita-wanita
yang sedang haid ini menjauhi tempat shalat mereka.”
Dari Ummu Athiyah ra.
ia berkata:
“Rasulullah Saw.
memerintahkan agar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha kami mengeluarkan
(dari rumah) wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan
gadis-gadis pingitan. Untuk wanita-wanita yang sedang haid maka mereka tidak
mengerjakan shalat, (cukup) menyaksikan kebaikan dan doa kaum Muslim. Lalu aku
berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.”
Beliau berkata:
”Hendaklah saudarinya
memakaikan (meminjamkan) jilbab untuknya.” (HR. Muslim dan Ahmad, Bukhari, Abu
Dawud dan Tirmidzi)
Perkataan beliau al-awatiq maksudnya adalah wanita muda yang
masih kecil yang baru haid, dan ucapannya dzawatul
khudur: yakni wanita-wanita yang ditutupi yang tidak menampakkan dirinya
alias sedang dipingit, biasanya tidak pernah meninggalkan rumahnya kecuali
karena ada keperluan atau sesuatu yang sangat penting.
Shalat dua hari raya
itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Ini karena dalam shalat dua hari
raya tidak ada kumandang adzan dan iqamat. Sehingga shalat ini bisa saja
terlaksana, tapi banyak orang yang terlalaikan karena tidak ada orang yang
memanggil mereka dengan kumandang adzan dan iqamat. Seandainya shalat ini
diwajibkan pada semua orang, niscaya di dalamnya disyariatkan kumandang adzan
dan iqamat untuk mengumpulkan manusia dalam melaksanakan shalat ini. Dari Jabir
bin Samurah ra. ia berkata:
“Aku shalat dua hari
raya bersama Rasulullah Saw. bukan satu atau dua kali, tanpa adzan dan iqamat.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)
Dari Atha, ia berkata
Jabir bin Abdullah al-Anshari telah mengabarkan kepadaku:
“Bahwa tidak adzan
untuk shalat pada hari raya Idul Fitri ketika imam keluar atau setelah dia
keluar, dan tidak ada iqamat atau seruan atau sesuatupun. Pada hari itu tidak
ada adzan dan tidak pula iqamat.” (HR. Muslim)
Dalam hadits kedua
yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai dari jalur Jabir
bin Abdullah disebutkan:
“Dia berkata: aku
menyaksikan hari raya bersama Rasulullah saw. Beliau Saw. memulainya dengan
shalat sebelum berkhutbah tanpa adzan dan iqamat...”
Seandainya shalat dua
hari raya ini hukumnya fardhu ‘ain, niscaya akan dikumandangkan adzan atau
iqamat di dalamnya, hingga tidak ada yang tertinggal seorangpun.
Adapun waktu shalat
‘Id adalah seperti waktu dhuha, dimulai ketika matahari mulai tinggi dan
berwarna putih, dan terus berlangsung hingga matahari mulai tergelincir, yakni
ketika matahari berada di tengah-tengah langit pada siang hari. Dari Yazid bin
Khumair al-Rahabiy dia berkata:
“Abdullah bin Busr
salah seorang sahabat Rasulullah Saw. keluar bersama orang-orang pada hari Idul
Fitri atau Idul Adha. Dia mengingkari berlambat-lambatnya imam, seraya berkata:
“Sesungguhnya kami telah menggunakan waktu ini (untuk shalat 'Id), dan itu dilakukan
ketika tiba waktu tasbih.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ketika waktu tasbih:
yakni ketika berakhirnya waktu yang dimakruhkan melakukan shalat, dan
dimulainya waktu jawaz untuk shalat,
seperti dhuha dan shalat sunat muthlaq. Dengan kata lain kami katakan bahwa
waktu shalat dua hari raya dimulai ketika matahari meninggi dan berubah
warnanya menjadi putih di awal hari, dan terus berlangsung waktu jawaznya hingga pertengahan hari.
Jika shalat dua hari
raya belum dilaksanakan pada waktu tersebut karena sebab yang lain, maka shalat
dua hari raya bisa dilaksanakan pada saat yang sama keesokan harinya, dan tidak
sah dilaksanakan setelah lewat tengah hari. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Abu Umair bin Anas, dari salah seorang pamannya yang berasal
dari kalangan sahabat Nabi Saw.:
“Sejumlah penunggang
kuda datang menemui Nabi, dan mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal
pada hari kemarin. Lalu Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk berbuka, dan pada
keesokan harinya mereka berangkat ke mushalla (tempat pelaksanaan shalat Ied).”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan kalimat:
“Sesungguhnya
sekelompok orang telah melihat hilal, lalu mereka mendatangi Nabi Saw. Kemudian
Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk berbuka setelah hari mulai tinggi, dan
memerintahkan mereka keluar untuk shalat Ied pada keesokan harinya.”
Ibnu Majah dan Ibnu
Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan kalimat:
“Kami tidak bisa
melihat hilal Syawal karena tertutup awan, sehingga besoknya kami tetap
berpuasa. Lalu datang sekelompok penunggang kuda di penghujung hari, dan mereka
bersaksi di hadapan Nabi Saw. bahwa mereka melihat hilal hari kemarin. Maka
Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk berbuka, dan keluar untuk
melaksanakan shalat Ied pada keesokan harinya.”
Seandainya shalat ‘Ied
itu boleh dilakukan setelah pertengahan hari, niscaya Rasulullah Saw. akan
melaksanakannya ketika hilal Syawal tidak terlihat oleh mereka dan kemudian
mengetahuinya dari para penunggang kuda pada keesokan harinya ketika mulai
berbuka, bersamaan dengan datangnya penunggang kuda. Kalimat: “setelah hari
mulai tinggi”, “datanglah penunggang kuda di penghujung hari”, disampaikannya
kabar hilal tersebut terjadi dalam tenggat waktu antara pertengahan hari dan
penghujungnya tetapi matahari belum terbenam. Namun, Rasulullah Saw. menunda
pelaksanaan shalat Idul Fitri hingga pagi hari berikutnya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar