3. Shalat Orang yang Sakit
Sakit merupakan cobaan
dari Allah Swt. kepada para hamba-Nya. Dengan sakit, Allah Swt. memberi pahala
bagi orang-orang yang sabar, dan menyiksa orang-orang yang durhaka. Termasuk
karunia Allah Swt. kepada hamba-Nya yang sabar, bahwa dia boleh meninggalkan
segala sesuatu yang (biasa dan harus dilaksanakan pada waktu sehat tetapi)
terhalang oleh penyakit tersebut, di antaranya adalah shalat dalam bentuk dan
tatacaranya semula, di mana apabila berdiri, ruku’, sujud dan duduk dalam
shalat (dengan bentuk dan tatacara yang normal) itu terhalang oleh penyakit
tersebut, maka si sakit cukup melaksanakan shalat dengan berbaring saja, atau
dengan isyarat saja. Walaupun begitu dia tetap memperoleh pahala, sama seperti
melaksanakan shalat dengan bentuk asalnya dalam kondisi sehat. Dari Abdullah
bin Umar ra. dari Nabi Saw.:
“Tidaklah salah
seorang dari manusia tertimpa cobaan (penyakit) dalam tubuhnya kecuali Allah azza wa jalla memerintahkan para malaikat yang
menjaganya, di mana Dia berkata: “Tuliskanlah untuk hamba-Ku setiap hari dan
setiap malam kebaikan yang biasa dilakukan selama dia dalam keadaan sakit
(yang) Aku ujikan kepadanya.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Al-Watsaq di sini maksudnya adalah al-maradh (sakit).
Dari Abu Musa ra., ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika seorang hamba
tertimpa sakit atau melakukan safar,
maka dituliskan baginya pahala semisal apa yang dilakukannya ketika mukim dan
dalam kondisi sehat.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Abu Dawud)
Berdasarkan hal ini
maka orang yang tidak sanggup melaksanakan shalat secara berdiri, atau bila
shalat dengan berdiri dia akan tertimpa kesulitan, maka dia boleh shalat dengan
duduk, dan jika dia merasa sakit bila sujud di atas tanah atau kesulitan melakukannya,
maka dia boleh menjadikannya lebih rendah dari ruku’ tanpa perlu meletakkan
bantal atau kayu agar kepalanya bisa ditempelkan di atasnya. Bahkan dalam
kondisi ini, isyarat dan merendahkan sujud telah cukup baginya. Dan jika tidak
sanggup duduk maka dia boleh shalat dengan berbaring pada tubuh bagian
kanannya, sedangkan wajahnya menghadap kiblat. Dari Jabir ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menjenguk seseorang yang sakit, lalu beliau Saw. melihatnya shalat (sujud) di
atas sebuah bantal. Maka beliau Saw. melemparkannya, dan dia (orang itu)
mengambil kayu dan sujud di atasnya. Beliau Saw. melemparkannya lagi dan
berkata: “Jika engkau mampu sujud di atas tanah (maka lakukanlah), jika tidak,
maka cukup dengan memberikan isyarat, dan jadikanlah sujudmu lebih rendah dari
ruku'mu.” (HR. al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Dari Ibnu Umar ra. ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mampu dari kalian untuk bersujud maka bersujudlah, dan yang tidak mampu maka
janganlah dia mengangkat sesuatu ke atas dahinya sebagai alas ketika dia
bersujud, akan tetapi ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya saja.”
(HR. Thabrani)
Dari Imran bin Hushain
ra., ia berkata:
“Aku terkena penyakit
bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi Saw. tentang shalat, maka beliau
berkata: “Shalatlah engkau dengan berdiri, dan jika tidak mampu maka dengan
duduk, dan jika tidak mampu maka dengan (berbaring) pada sisi (tubuh)nya.” (HR.
Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Tatkala kami
menyatakan dia melaksanakan shalat pada sisi tubuh yang sebelah kanan, itu
karena Rasulullah Saw. menyukai tayammun
(memprioritaskan sebelah kanan) dalam segala perkara yang dilakukannya, dan
shalat yang dilakukan pada sisi tubuh sebelah kanan itu lebih utama, walaupun
shalat pada sisi tubuh sebelah kiri juga boleh-boleh saja, karena dalam
teks-teks hadits tersebut tidak ada yang membatasi shalat tersebut harus
dilakukan pada sisi yang sebelah kanan.
Apabila imam jamaah
sedang sakit dan dia terpaksa shalat dengan duduk, maka seluruh makmum yang
shalat di belakangnya harus shalat dengan duduk, serupa dengannya, walaupun
mereka tidak dalam kondisi sakit. Ini merupakan kondisi khusus yang
disyariatkan dalam hal bentuk shalat orang yang sakit bagi orang-orang sehat.
Dari Anas bin Malik ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
menunggang kuda, lalu beliau Saw. terlempar dari kuda. Sisi sebelah kanannya
bengkak, maka beliau melaksanakan shalat dengan cara duduk, dan kami yang ada
di belakangnya (shalat) dengan cara duduk. Ketika menoleh, beliau Saw. berkata:
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika dia shalat dengan berdiri
maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika dia shalat dengan duduk, maka
shalatlah kalian semua dengan duduk.” (HR. Bukhari, Malik, an-Nasai, Ahmad dan
al-Baihaqi)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
shalat di rumahnya dan beliau dalam keadaan sakit ringan, maka beliau Saw.
shalat dengan cara duduk. Orang-orang yang berada di belakangnya shalat dengan
cara berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk. Usai
(shalat) beliau berkata: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika
dia ruku' maka kalian harus ruku' dan jika dia bangkit maka kalian harus
bangkit, dan jika dia shalat dengan cara duduk maka kalian shalat dengan cara
duduk.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Untuk lebih jelasnya
Anda bisa menelaah pembahasan “imam melakukan shalat dengan cara duduk” dalam
bab terakhir “kepemimpinan imam dalam shalat.”
Kita kembali pada
pokok pembahasan. Kami nyatakan: seandainya seseorang yang sakit memulai
shalatnya dan dia sanggup serta mampu, maka dia shalat dengan berdiri. Jika
kemudian dia merasa lemah untuk berdiri di tengah-tengah shalatnya untuk kedua
kalinya dalam rakaat yang kedua, maka dia tinggal menambahkan pada apa yang
telah dilaluinya dengan duduk pada rakaat yang berikutnya.
Dan sebaliknya, jika
dia merasa memasuki shalat dalam keadaan tidak mampu lalu dia duduk pada awal
shalatnya, tetapi kemudian dia mendapati dalam dirinya tekad dan kekuatan, maka
dia boleh berdiri pada rakaat berikutnya. Begitu seterusnya, dia tinggal melakukan
gerakan atau posisi yang bisa dilakukannya, dan apa yang tidak bisa, maka dia
tinggal melakukannya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya.
Perlu diketahui bahwa
‘udzur yang membolehkan seseorang melakukan apa yang dijelaskan di atas adalah
karena sakit, atau adanya kesulitan, atau ketakutan akan bahaya atau rasa takut
jika sakitnya akan bertambah parah. Harus diperhatikan pula bahwa jika penyakit
tersebut terkategorikan penyakit yang ringan, seperti pilek, batuk, sedikit
pusing, atau sakit mata, dan sebagainya, maka seorang Muslim diperintahkan
untuk melakukan shalatnya sesuai dengan bentuk asalnya secara sempurna, karena
dia mampu melakukannya. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika aku
memerintahkanmu satu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari,
Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Orang yang terkena
penyakit ringan seperti yang disebutkan di atas, tidak ragu lagi,
penyakit-penyakit tersebut tidak menjadi 'udzur baginya.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar