Sifat
Shalat ‘Id
Shalat Id itu dua
rakaat. Pada rakaat pertama bertakbir sebanyak tujuh takbir berturut-turut, dan
di antaranya ada takbiratul ihram.
Kemudian membaca al-fatihah, lalu surat qaf atau surat sabbihisma rabbikal a'la (surat al-a'la). Namun, jika membaca
yang lainnya juga boleh saja. Setelah itu bertakbir untuk ruku', lalu bertakbir
seraya beri’tidal, dan kemudian
bertakbir lagi untuk sujud, diikuti duduk di antara dua sujud. Kemudian
bertakbir untuk sujud, diikuti bertakbir untuk berdiri. Setelah itu bertakbir
lima kali takbir berturut-turut, kemudian membaca al-fatihah, diikuti dengan
bacaan surat iqtarabatis sa’ah atau
surat al-ghasyiyah. Namun, jika membaca surat selain keduanya, hal itu
boleh-boleh saja. Setelah itu melakukan berbagai gerakan shalat lainnya seperti
biasa, sama seperti dalam rakaat pertama. Dua rakaat ini ini dilaksanakan
secara berjamaah, di mana imam menjahrkan
bacaan pada kedua rakaatnya.
Kami katakan tujuh
takbir berturut-turut dan lima takbir berturut-turut, untuk bisa menjelaskan
bahwa runutan takbir-takbir tersebut tidak dipisahkan antara satu dengan yang
lain oleh sesuatupun, dan tidak juga dengan diam sejenak yang diisi dengan
dzikir tertentu, sebagaimana hal itu dikatakan oleh sejumlah ahli fikih. Kami
katakan juga tujuh takbir berturut-turut, di antaranya adalah takbiratul ihram, untuk bisa menjelaskan bahwa
takbiratul ihram termasuk dalam ketujuh
takbir tersebut, dan bukan sesuatu di luar tujuh takbir ini, sebagaimana
dikatakan pula oleh sejumlah ahli fikih.
Takbir-takbir tersebut
hukumnya sunat, sehingga orang yang meninggalkannya tidak akan berdosa dan
shalatnya pun tidak batal. Dari Umar ra. ia berkata:
“Shalat Idul Adha itu
dua rakaat, shalat Jumat itu dua rakaat, shalat Idul Fitri itu dua rakaat,
shalat musafir itu dua rakaat, sempurna tanpa pengurangan yang berasal dari
lisan Nabi kalian Saw. Dan sungguh merugi orang-orang yang berdusta
mengada-ada.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Dari Amar bin Syuaib
dari ayahnya dari kakeknya:
“Bahwa Nabi Saw.
bertakbir pada satu hari raya dua belas takbir, tujuh takbir dalam rakaat
pertama, dan lima takbir pada rakaat terakhir. Dan beliau Saw. tidak shalat
sebelum dan sesudahnya.” (HR. Ahmad, Daruquthni dan al-Baihaqi)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini juga, di dalamnya disebutkan takbir dalam shalat idul Fitri: tujuh
takbir dalam rakaat pertama dan lima takbir dalam rakaat terakhir.
Dari Umar bin Khattab
ra. bahwa dia bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi:
“Apa yang suka dibaca
oleh Rasulullah Saw. dalam shalat Idul Adha dan Idul Fitri?” Maka ia menjawab:
“Beliau Saw. membaca pada keduanya qaf wal
qur'anil majid (surat qaf) dan iqtarabatis
sa’atu wan-syaqqal qamaru (surat al-qamar).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Malik)
Dari Samurrah bin
Jundub ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
suka membaca dalam dua hari raya sabbihisma
rabbikal a'la (surat al-a’la) dan hal
ataaka hadiitsul ghasyiyah (surat al-ghasyiyah).” (HR. Ahmad dan
Thabrani)
Dari Nu’man bin Basyir
ra.:
“Bahwa Nabi Saw. suka
membaca dalam shalat dua hari raya -dan satu kali dia berkata dalam shalat hari
raya- sabbihisma rabbikal a'la dan hal ataaka haditsul ghasyiyah. Dan jika hari
raya bertepatan dengan hari Jumat maka beliau Saw. membaca keduanya.” (HR. Ibnu
Khuzaimah, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Ketika imam telah
selesai dari shalat, maka ia berdiri di depan jamaah shalat. Dianjurkan bagi
imam untuk memegang tongkat atau busur, kemudian berkhutbah dengan dua khutbah
seperti dalam shalat jumat, yang mana dalam kedua khutbahnya sang imam
mengingatkan dan memberi nasihat kepada manusia, mendorong mereka untuk
bersedekah pada hari raya Idul Fitri, menjelaskan kepada mereka hukum memotong
kurban dan mendorong mereka melakukannya pada hari raya Idul Adha. Tidak
menjadi masalah apabila dalam khutbahnya itu dia memperbanyak takbirnya.
Khutbah shalat dua hari raya ini hukumnya sunat, sehingga tidak wajib bagi para
jamaah shalat untuk duduk dan mendengarkannya, jadi hanya disunahkan saja. Dari
Abdullah bin Umar ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
shalat pada hari raya Idul Adha dan Idul Fitri, kemudian beliau Saw. berkhutbah
setelah shalat.” (HR. Bukhari)
Dari Jabir bin
Abdullah ra. ia berkata:
“Bahwa Nabi Saw.
keluar pada hari raya Idul Fitri, dan beliau Saw. memulai dengan shalat sebelum
berkhutbah.” (HR. Bukhari)
Dari Ibnu Abbas ra.:
“Aku menyaksikan hari
raya bersama Rasulullah Saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman ra., dan mereka
seluruhnya melaksanakan shalat sebelum khutbah.” (Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu
Dawud dan an-Nasai)
Dari Ibnu Umar ra. ia
berkata:
“Adalah Nabi Saw.
berkhutbah pada hari Jumat dengan dua khutbah, dan beliau Saw. duduk di antara
keduanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
“Bahwa Nabi Saw.
diserahi busur pada hari raya, dan berkhutbah sambil membawanya.” (HR. Abu
Dawud)
Dari Ubaidillah bin
Abdullah bin Utbah, ia berkata:
“Termasuk sunnah,
seorang imam bertakbir di atas mimbar pada dua hari raya sembilan kali sebelum
khutbah dan tujuh kali setelahnya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq)
Dari al-Barra bin Azib
ra. ia berkata:
“Kami duduk di tempat
shalat pada hari raya Idul Adha, lalu Rasulullah Saw. datang kepada kami dan
mengucap salam kepada orang-orang. Kemudian beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya
ritual awal yang dilakukan pada hari raya kalian ini adalah shalat.” Ia (perawi)
berkata: lalu beliau Saw. maju dan shalat dua rakaat, setelah itu bersalam.
Lalu beliau Saw. menghadapkan wajah kepada orang-orang, dan beliau Saw. diberi
sebuah busur atau sebuah tongkat. Beliau Saw. bertopang padanya. Kemudian
beliau Saw. memuji Allah dan menyampaikan sanjungan kepada-Nya, menyampaikan
perintah dan larangan kepada mereka, dan beliau bersabda: ”Barangsiapa di
antara kalian yang terburu-buru menyembelih (sebelum shalat) maka itu menjadi
kambing yang disembelih yang diberikannya untuk memberi makan keluarganya,
karena sesungguhnya ritual menyembelih kurban itu dilaksanakan setelah
shalat...” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Dari Ibnu Abbas ra. ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar, lalu beliau Saw. shalat di samping rumah Katsir bin Shalt sebanyak dua
rakaat, kemudian beliau Saw. berkhutbah, dan dia (perawi) tidak menyebutkan ada
kumandang adzan dan iqamat.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)
Dari Jabir bin
Abdullah ra. ia berkata:
”Aku menyaksikan
shalat pada hari raya bersama Rasulullah Saw. Beliau Saw. memulai dengan shalat
sebelum berkhutbah dengan tanpa adzan ataupun iqamat. Kemudian beliau Saw.
berdiri bertopang kepada Bilal. Beliau Saw. memerintahkan kaum Muslim untuk
bertakwa kepada Allah dan mendorong mereka untuk mentaatinya. Beliau Saw.
memberi nasihat pada mereka dan mengingatkan mereka. Setelah itu beliau Saw.
berlalu dan mendatangi kaum wanita. Beliau Saw. menasihati mereka dan
mengingatkan mereka, lalu beliau Saw. bersabda: “Bersedekahlah kalian, karena
sesungguhnya kebanyakan dari kalian menjadi suluh
(neraka) jahanam.” Seorang perempuan berdiri dari tengah kerumunan kaum wanita,
dua pipinya sedikit kehitaman, seraya berkata: “Mengapa seperti itu wahai
Rasulullah?” Beliau Saw. bersabda: “Karena kalian banyak mengeluh dan
mengingkari kebaikan keluarga.” Dia berkata: maka kaum wanita itu menyedekahkan
perhiasan-perhiasan mereka berupa anting dan cincin dengan melemparkannya pada
kain yang dibawa Bilal.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Dari Abdullah bin Saib
ra., ia berkata:
“Aku menyaksikan
Rasulullah Saw. pada hari raya. Beliau Saw. melakukan shalat dan berkata: “Kita
telah selesai melaksanakan shalat, maka barangsiapa yang mau dia boleh duduk
mendengarkan khutbah, dan siapa yang hendak pergi maka boleh baginya untuk
pergi.” (HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, Abu Dawud dan an-Nasai)
Adalah Rasulullah
Saw., ketika beliau Saw. dari menyampaikan khutbah pada kaum lelaki maka beliau
Saw. pergi ke tempat shalat kaum wanita. Beliau Saw. kemudian menasihati
mereka, mengingatkan mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Dengan
kata lain, beliau Saw. menyampaikan khutbah pada kaum lelaki, kemudian beliau
Saw. pergi berkhutbah pada kaum wanita. Hal ini jelas dikatakan dalam hadits
Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai dari jalur Jabir bin Abdullah yang
sebelumnya telah kami sebutkan:
“Kemudian beliau Saw.
berlalu dan mendatangi kaum wanita. Beliau Saw. menasihati mereka dan
mengingatkan mereka, lalu beliau Saw. bersabda: “Bersedekahlah kalian.”
Hal ini jelas
dikatakan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dari jalur Ibnu Abbas ra.:
“Aku keluar bersama
Rasulullah Saw. pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, lalu beliau Saw.
shalat dan kemudian beliau berkhutbah. Setelah itu beliau Saw. mendatangi kaum
wanita, memberikan nasihat kepada mereka, mengingatkan mereka, dan
memerintahkan mereka untuk bersedekah.”
Begitu pula hal ini
dilakukan oleh para Khalifah setelahnya.
Ketika kondisi yang
ada di zaman dahulu tidak memungkinkan seorang imam bisa menyampaikan suaranya
kepada kaum wanita yang duduk di bagian belakang, yakni di belakang kumpulan
jamaah laki-laki yang berjumlah besar yang hadir di mushalla (tempat shalat) yang
datang dari segenap penjuru, karena besarnya dorongan untuk melaksanakan shalat
dua hari raya, maka (saat itu, yang dilakukan oleh) imam (adalah) turun menemui
kaum wanita, mendekati kerumunan mereka dan berkhutbah di hadapan mereka.
Seandainya suara imam sampai ke telinga kaum wanita, niscaya sang imam tidak
perlu turun mendekati mereka. Makna seperti ini telah disebutkan dalam hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa dia berkata:
“Aku menyaksikan
Rasulullah Saw. shalat sebelum menyampaikan khutbah. Dia berkata: kemudian
beliau Saw. berkhutbah, lalu beliau Saw. melihat bahwa beliau tidak bisa
memperdengarkan suaranya kepada kaum wanita. Maka beliau Saw. mendatangi
mereka, mengingatkan mereka, menasihati mereka dan memerintahkan mereka
bersedekah. Bilal menyertainya dengan membawa kain, lalu kaum wanita
melemparkan cincin, anting dan perhiasan lainnya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu
Dawud dan al-Baihaqi)
Karena itulah maka
saya katakan, dengan adanya pengeras suara sekarang ini, maka cukup bagi
seorang imam untuk mengarahkan sebagian ucapannya kepada kaum wanita tanpa
perlu turun menemui mereka. Dengan kata lain, imam mengkhususkan sebagian dari
khutbahnya untuk kaum wanita.
Hukum asal shalat dua
hari raya itu dilaksanakan di mushalla (tempat shalat), yakni suatu tempat di
luar kota, dan bukan di dalam masjid-masjidnya. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia
berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar pada hari raya Idul Adha atau Idul Fitri ke mushalla, lalu beliau Saw.
shalat mengimami mereka, kemudian pergi.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Dari Bakar bin
Mubasyir al-Anshari ra. ia berkata:
“Aku berangkat bersama
para sahabat Rasulullah Saw. ke mushalla pada hari raya Idul Fitri dan hari
raya Idul Adha, dan kami berjalan di tengah lembah Bath-han hingga kami tiba di
mushalla. Lalu kami shalat bersama Rasulullah saw. Setelah itu kami pulang melalui
lembah Bath-han ke rumah-rumah kami.” (HR. Abu Dawud, al-Hakim dan al-Baghawi)
Sebelumnya beberapa
hadits yang menyebutkan keluarnya Rasulullah Saw. menuju mushalla telah kami
ungkapkan dalam pembahasan kami ini, sehingga ada baiknya Anda ulang kembali.
Namun, jika ada
penghalang sehingga tidak memungkinkan dilaksanakannya shalat di mushalla,
seperti hujan atau kondisi sangat panas yang menyulitkan bagi kaum Muslim yang
shalat di sana, maka tidak menjadi masalah apabila shalat tersebut dilaksanakan
di masjid. Dari Abu Yahya Ubaidillah at-Taimi dari Abu Hurairah:
“Bahwa pada suatu hari
raya mereka ditimpa hujan, maka Nabi Saw. shalat mengimami shalat Id mereka di
masjid.” (HR. al-Hakim dan dishahihkan dan disepakati oleh ad-Dzahabi)
Disunahkan agar dalam
shalat dua hari raya ini imam menetapkan sutrah, di mana ia shalat ke arahnya.
Rasulullah Saw. senantiasa menempatkan sesuatu sebagai sutrah untuk shalat dua
hari raya ini. Dari Ibnu Umar ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
menancapkan tombak pendek di hadapannya pada hari raya Idul Fitri dan hari raya
kurban, kemudian beliau Saw. shalat.” (HR. Bukhari)
Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan hadits ini dan menambahkan: “dan beliau Saw. berkhutbah setelah
shalat. ”
Dalam riwayat yang
kedua dari Ibnu Umar ra., bahwa dia berkata:
“Adalah Nabi Saw.,
beliau berangkat ke mushalla dan sebuah tombak kecil yang ada di depannya
dibawa dan ditancapkan di mushalla di depan beliau Saw., lalu beliau Saw.
shalat ke arahnya.” (HR. Bukhari)
Hal ini telah kami
bahas dalam tema menempatkan sutrah dalam pembahasan “sutrah
bagi orang shalat” pada bab “kiblat dan sutrah.”
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar