Ruku' adalah
membungkukkan punggung dan memposisikan kepala sejajar dengan tanah dengan
kedudukan yang telah dimaklumi, di mana kepala berada lurus sejajar dengan
punggung tanpa naik lebih tinggi atau turun lebih rendah. Apabila si mushalli melakukan ruku’, maka dia
merenggangkan kedua tangannya dari sisinya dan merenggangkan jari-jarinya
seraya menggenggamkan tangannya pada dua lututnya. Inilah pengertian ruku', dan
ini merupakan bentuk ideal dari ruku’. Dari Sali, ia berkata:
“Kami mendatangi Abu
Mas'ud, lalu kami berkata kepadanya: “Beritahukanlah kepada kami tentang shalat
Rasulullah Saw.” Lalu dia berdiri di depan kami dan bertakbir, ketika ruku' dia
meletakkan dua tangannya ke atas dua lututnya, dan menjadikan jari-jarinya
lebih rendah dari itu, dan merenggangkan dua sikutnya hingga lurus segala
sesuatu darinya. Kemudian dia mengucapkan sami
'allahu liman hamidahu, lalu dia berdiri hingga lurus segala sesuatu
darinya.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)
Dari Abu Humaid
al-Sa'idi ra., ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. jika
ruku' beliau melakukannya dengan lurus, di mana beliau tidak mendongakkan
kepalanya dan juga tidak menundukkannya, dan meletakkan dua tangannya di atas
dua lututnya.” (HR. an-Nasai)
Ucapan i'tadala (melakukannya dengan lurus) artinya
berada dalam pertengahan, antara posisi mengangkat dan menundukkan, dan ucapan:
beliau tidak mendongakkan kepalanya dan juga tidak menundukkannya artinya
beliau Saw. tidak mengangkatnya dan tidak menundukkannya, sehingga kepalanya
itu berposisi sejajar dengan punggungnya. Abu Barazah al-Aslami ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika melakukan ruku', seandainya dituangkan air di atasnya niscaya air itu
akan diam (dengan tetap).” (HR. Thabrani)
Dari Ali ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika melakukan ruku', seandainya diletakkan gelas berisi air di atasnya
niscaya tidak akan tumpah.” (HR. Ahmad)
Dari Abu Humaid
al-Sa’idi ra. ia berkata:
“Aku adalah orang yang
paling hafal tentang shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Aku melihatnya,
jika bertakbir beliau menjadikan kedua tangannya di depan dua bahunya, dan jika
melakukan ruku' beliau menetapkan dua tangannya dari dua lututnya, kemudian
membungkukkan punggungnya...” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Abu Humaid
al-Sa’idi ia berkata:
“Aku adalah orang yang
paling mengetahui shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Sesungguhnya Nabi
Saw. berdiri, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya, kemudian
mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir untuk ruku', lalu ruku' dan
meletakkan dua tangannya di atas dua lututnya seperti menggenggamkannya.
Setelah itu beliau Saw. mengencangkan pegangan keduanya dan memiringkannya dari
dua sisi tubuhnya, dan beliau tidak mendongakkan kepalanya dan juga tidak
merundukkannya...” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Wail ra.:
“Bahwa Nabi Saw. jika
melakukan ruku' beliau Saw. merenggangkan jari-jarinya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Ruku’ adalah satu
kewajiban dan rukun. Shalat menjadi tidak sah tanpa ruku', sehingga barangsiapa
shalat dan tidak ber-ruku' dengan cara membungkukkan punggungnya dan
menggenggamkan dua tangannya di atas dua lututnya, maka tidak ada shalat
baginya. Dari Zaid bin Wahab, ia berkata:
“Hudzaifah melihat
seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujud, ia berkata:
“Engkau tidak shalat, kalaupun engkau mati, maka engkau mati tidak dalam fitrah
yang ditetapkan Allah Swt. pada diri Muhammad Saw.” (Riwayat Bukhari)
Ahmad meriwayatkannya
dengan redaksi kalimat sedikit berbeda.
Allah ‘azza wa jalla telah menyeru manusia untuk
melakukan shalat. Dia Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (TQS. al-Hajj [22]: 77)
Allah Swt. tidak
memilih ruku’ dan sujud dari berbagai perbuatan shalat, tidak lain untuk
menunjukkan bahwa keduanya adalah dua rukun dari rukun-rukun shalat. Tidak ada
shalat tanpa keduanya.
Membungkukkan punggung
dan memposisikannya secara lurus saja tidak cukup, tetapi harus disertai thuma'ninah juga. Thuma’ninah bisa diwujudkan minimal dengan mendiamkan gerakannya
ketika dia ber-ruku’. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan hadits tentang orang
yang buruk dalam shalatnya, dan di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
telah berkata pada orang yang buruk shalatnya itu:
“…Kemudian ruku’lah
hingga kamu thuma'ninah dalam
ber-ruku'…” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dari Ibnu abbas ra.,
ia berkata:
“Seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi Saw. tentang perkara shalat, maka Rasulullah Saw. berkata
kepadanya: “Susup-susupkanlah jari-jari pada dua tanganmu dan dua kakimu, yakni
menyempurnakan wudhu.” Dan di antara yang beliau katakan kepadanya: “Jika engkau
ruku' maka tempatkanlah dua tanganmu di atas dua lututmu hingga kamu thuma'ninah.” Dalam satu riwayat: “hingga
keduanya thuma'ninah. “Dan jika engkau
sujud maka lekatkanlah dahimu di atas tanah hingga kamu benar-benar mendapati
permukaan tanah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Perlu diperhatikan
bahwa merapatkan (tathbiq) dalam ruku'
itu pernah dilakukan, kemudian dinasakh.
Maksud merapatkan di sini adalah melekatkan dua telapak tangan satu sama lain
ketika ruku' dan menjadikan keduanya antara dua paha. Dari Alqamah dari
Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengajarkan shalat kepada kami, lalu beliau Saw. bertakbir dan mengangkat
keduanya, kemudian ruku, dan merapatkan dua tangannya dan menjadikannya di
antara dua lututnya. Hal itu sampai kepada Sa'ad, maka ia berkata: “Saudaraku
benar, kami pernah melakukan hal itu, kemudian kami diperintahkan melakukan
seperti ini. Dan ia memegang dua lututnya.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Abi
Syaibah)
Dari Mush’ab bin Saad,
ia berkata:
“Aku shalat di samping
ayahku, lalu aku melekatkan di antara dua telapak tanganku, kemudian aku
meletakkannya di antara dua pahaku. Maka ayahku melarangku dari (tindakan) itu,
dan berkata: “Kami pernah melakukan hal itu, kemudian kami dilarang, dan kami diperintahkan
untuk meletakkan dua tangan kami di atas lutut-lutut kami.” (HR. Bukhari)
Muslim, an-Nasai, dan
ad-Darimi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang berbeda. Mush’ab
bin Saad adalah anak Saad bin Abi Waqash ra.
Di dalam ruku'
disunahkan untuk mengagungkan Allah ‘azza wa
jalla. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dari
Nabi Saw.:
“…Ingatlah,
sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur'an ketika ruku' atau sujud. Adapun
ruku', maka agungkanlah Allah di dalamnya, sedangkan sujud maka
bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Doa itu sangat dekat diijabahnya bagi kalian.” (HR. Muslim)
Di dalam sejumlah
hadits telah disebutkan beberapa bentuk doa dalam ruku', yang paling masyhur
dan utama adalah: “subhaana rabbiyal adzim
(Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung)” tiga kali, sehingga disunatkan untuk
mengambilnya, dan lebih mengutamakannya dari doa-doa selainnya. Namun, ini
tidak menghalangi untuk membaca doa selainnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra., ia
berkata:
“Ketika turun ayat: fasabbih bismi rabbikal adzim, Rasulullah Saw.
berkata kepada kami: “Jadikanlah kalimat ini bacaan dalam ruku'-ruku’ kalian.”
Dan ketika turun ayat: sabbihisma rabbikal a'la,
beliau Saw. berkata: “Jadikanlah ini bacaan dalam sujud kalian.” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dari Hudzaifah bin
al-Yaman ra.:
“Bahwa dia mendengar
Rasulullah Saw. mengucapkan tasbih ketika ruku’: subhaana
rabbiyal adzimi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) tiga kali, dan jika
sujud: subhaana rabbiyal a’la (Maha Suci
Tuhanku yang Maha Luhur) tiga kali.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad,
an-Nasai dan at-Thayalisi)
Bentuk tasbih: subhaana rabbiyal adzimi wa bi hamdihi (Maha
Suci Tuhanku yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya) diriwayatkan dalam
hadits-hadits yang dhaif, sehingga harus ditinggalkan, dan kita menetapi bentuk
yang terbukti pasti dan baku: subhaana rabbi
yal adzimi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) yang diucapkan tiga kali
seperti ini: “subhaana rabbiyal adzimi, subhaana rabbiyal adzimi, subhaana rabbiyal adzimi”. Saya
memprioritaskan bentuk tasbih ini dibanding yang lain, yang akan saya sebutkan
sebentar lagi, karena bentuk tasbih yang satu ini telah diperintahkan
Rasulullah Saw. untuk kita lafalkan dalam ruku'. Sedangkan dzikir-dzikir yang
lain hanya disebutkan berasal dari perbuatan beliau Saw. Bentuk-bentuk tasbih
yang lain tersebut adalah:
a. Maha Suci dan Maha
Qudus Tuhan sekalian malaikat dan ruh.
b. Maha Suci Tuhan
yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan.
c. Ya Allah, kepada-Mu
aku ber-ruku’, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri.
Engkaulah Tuhanku, di mana pendengaranku, penglihatanku, sungsumku, tulangku,
syarafku, dan segala yang ditopang oleh kakiku ini tunduk kepada Allah, Tuhan
semesta alam.
Dalil-dalilnya adalah
sebagai berikut:
Ahmad, Ibnu Hibban,
Muslim, Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Beliau mengucapkan
dalam ruku' dan sujudnya:…”
Subbuhun qudduusun, yang paling terkenal
adalah dengan mendhommahkan huruf-huruf
awalnya, bisa juga dengan memfathahkannya,
tetapi ini kurang terkenal.
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Aku berdiri shalat
malam bersama Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. membaca surat al-Baqarah.
Beliau Saw. tidak melewati satu ayat terkait rahmat kecuali beliau berhenti,
seraya berdoa memintanya. Dan beliau Saw. tidak melewati satu ayat tentang
adzab kecuali beliau berhenti, seraya meminta perlindungan dari-Nya. Dia
berkata: Kemudian beliau ruku', yang lamanya hampir sama dengan lama
berdirinya. Dan dalam ruku’nya beliau mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang
memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan. Kemudian bersujud, yang
sama (lamanya) dengan berdirinya, lalu beliau mengucapkan dalam sujudnya
semisal itu. Setelah itu berdiri, lalu membaca surat Ali Imran, kemudian
membaca satu surat-surat.”
c. Dari Ali bin Abi
Thalib ra.:
“Bahwa Nabi Saw. jika ruku' beliau mengucapkan: “Ya Allah, kepada-Mu aku ber-ruku’, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Engkaulah Tuhanku, di mana pendengaranku, penglihatanku, sungsumku, tulangku, syarafku, dan segala yang ditopang oleh kakiku ini, seluruhnya tunduk kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Inilah doa-doa yang
diucapkan dalam ruku'. Seperti yang sudah saya katakan, bahwa yang pertama dan
paling utama adalah: “subhaana rabbiyal 'adzimi”
tiga kali, kemudian tidak ada halangan untuk mengucapkan bentuk dzikir yang
lain dari tiga bentuk ini setelahnya, karena tidak terlarang untuk menghimpun
dua dzikir atau lebih dalam satu ruku'.
“Adalah Rasulullah
Saw. memperbanyak mengucapkan dalam ruku' dan sujudnya: subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika, allahummaghfirli (Maha Suci Engkau ya Allah,
Tuhan kami, dan pujian bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).”
Bukhari meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Adalah Nabi Saw.
mengucapkan dalam ruku’ dan sujudnya: subhaanakallahumma
rabbanaa wa bihamdika, allahummaghfirli (Maha Suci Engkau yaAIIah,
Tuhan kami dan pujian bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).”
Kita kembali pada tasbihat yang ma'tsur.
Kami nyatakan: bilangan tasbihati dalam
satu ruku’, itu tidak kurang dari tiga kali, dan ini adalah pelaksanaan
minimal. Jika diucapkan satu atau dua kali, juga boleh saja, dengan konsekuensi
berkurangnya keutamaan karena tidak mengikuti sunnah. Alasannya karena tidak
diketahui Rasulullah mengucapkan tasbih hanya satu atau dua kali, dan tidak ada
batasan maksimal, terutama jika diucapkan oleh mushalli
yang munfarid.
Imam bertasbih dengan
ukuran yang tidak memberatkan para makmum. Jika harus ditentukan batasannya,
maka saya berpendapat agar imam itu bertasbih tujuh kali, agar bisa memberi
kesempatan kepada para makmum untuk bertasbih sebanyak tiga kali tanpa perlu tergesa-gesa.
Terlebih lagi bahwa di antara mereka ada orang yang lambat, masbuq, dan sakit, sehingga bersikap lembut
kepada mereka sangat disunahkan. Ini pendapat saya terkait jumlah terpilih yang
harus diucapkan oleh imam, dan kalaupun harus menambah, hendaknya imam
mengucapkan tidak lebih dari sepuluh kali tasbih. Dari Said bin Jubair dari
Anas bin Malik ra., ia berkata:
“Aku belum pernah
melihat seseorang yang shalatnya paling mirip dengan shalat Rasulullah Saw.
selain anak ini -yakni Umar bin Abdul Aziz-. Dia berkata: maka kami
memperkirakan dalam ruku'nya dia membaca sekitar sepuluh tasbih, dan dalam
sujudnya sepuluh tasbih.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits yang hampir sama. Rasulullah Saw. telah melarang kita dari membaca
al-Qur'an pada saat ruku’. Dari Ali ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melarang dari memakai al-qassiyi
(pakaian bergaris sutera), dari memakai cincin emas, dan dari membaca al-Qur’an
pada saat ruku.” (HR. Malik)
Dari Ali bin Abi
Thalib ra. ia berkata:
“Rasulullah Saw.
melarangku membaca al-Qur'an ketika aku ruku' atau (ketika) aku sujud.” (HR.
Muslim)
Dari Ibnu Abbas ra.
dari Nabi Saw.:
“Ingatlah,
sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur'an ketika ruku’ atau sujud. Adapun
ruku, maka agungkanlah Allah di dalamnya, (ketika) sujud maka
bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa itu sangat dekat diijabahnya bagi kalian.” (HR. Ahmad, Muslim,
Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
Tirmidzi berkata: ini
adalah pendapat ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi Saw. dan orang-orang
setelah mereka, di mana mereka memakruhkan membaca al-Qur’an pada saat ruku'
dan sujud.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar