Tatacara Jamak Di Antara Dua
Shalat
Menjamak di antara dua
shalat tidak memerlukan pengucapan niat terlebih dahulu. Seorang Muslim
dianggap sah apabila dia telah melaksanakan shalat dhuhur tanpa berniat
menjamaknya dengan shalat ashar, lalu dia berdiri dan melaksanakan shalat ashar
dengan menjamaknya bersama shalat dhuhur, baik shalat ashar itu dilakukan
dengan segera ataupun tidak (yakni dengan sedikit dimundurkan), baik disela
dengan perbuatan yang lain atau tidak. Dari Usamah bin Zaid ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
berangkat dari Arafah, hingga ketika tiba di satu lembah beliau turun kemudian
buang air kecil. Lalu beliau Saw. berwudhu tetapi tidak menyelesaikan wudhunya.
Aku berkata kepadanya: shalat, maka beliau Saw. berkata: “Shalat akan dilakukan
di depan.” Beliau naik tunggangannya. Ketika tiba di Muzdalifah, beliau Saw.
turun, berwudhu dan menyempurnakan wudhunya. Setelah itu dikumandangkan iqamat
shalat. Beliau Saw. shalat maghrib. Orang-orang menderumkan untanya pada
tempatnya, lalu iqamat shalat dikumandangkan dan beliau Saw. shalat (isya), dan
beliau Saw. tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya.” (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan
bahwa seluruh sahabat Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat maghrib,
kemudian mereka pergi menuju hewan tunggangannya untuk melihat kondisinya.
Mereka menderumkan unta-unta tersebut pada tempatnya, dan ketika mereka
mendengar iqamat shalat isya, maka mereka pergi melaksanakan shalat tersebut
secara berjamaah bersama Rasulullah Saw. Hadits ini menunjukkan tidak adanya
niat menjamak pada sahabat Rasulullah saw. Jika mereka berniat menjamak, maka
mereka tidak akan pergi ke tempat unta-unta mereka dan rumah-rumah mereka.
Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bolehnya menjamak di antara dua shalat
secara tarakhi (tidak secara langsung
atau tidak bersegera), sama seperti menunjukkan bolehnya melakukan beberapa
perbuatan antara dua shalat tersebut.
Tatkala menjamak dua
shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan adzan satu kali dan iqamat dua kali.
Apabila adzan dikumandangkan sebanyak dua kali, itu juga tidak apa-apa. Akan
tetapi saya tidak sependapat dengan sebagian orang yang mengatakan bolehnya iqamat
satu kali untuk dua shalat. Dalil yang pertama adalah apa yang disebutkan dalam
hadits pada pembahasan sebelumnya:
“Kemudian adzan dan
iqamat dikumandangkan, lalu beliau shalat dhuhur. Setelah itu iqamat
dikumandangkan (lagi), dan beliau Saw. shalat ashar.”
Disebutkan pula dalam
hadits pada pembahasan sebelumnya:
“Dan beliau Saw.
shalat maghrib dan isya di sana dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat.”
Mengenai dalil
bolehnya dua kali adzan adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Zaid, ia berkata:
“Abdullah ra. berhaji.
Kami tiba di Muzdalifah ketika adzan untuk shalat isya dikumandangkan, atau di
satu tempat dekat Muzdalifah. Lalu dia memerintahkan seseorang, maka (orang itu
pun) mengumandangkan adzan dan iqamat. Kemudian ia shalat maghrib dan shalat
dua rakaat setelahnya. Setelah itu dia memanggil orang menghidangkan makan
malam. Dia pun makan malam. Setelah itu dia memerintahkan seseorang yang
nampaknya seorang laki-laki (dan orang itu pun) lalu mengumandangkan adzan dan
iqamat. Amr berkata: aku tidak mengetahui keraguan itu kecuali dari Zuhair.
Kemudian dia shalat isya dua rakaat. Ketika terbit fajar ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi Saw. tidak shalat pada saat ini kecuali shalat ini, di
tempat ini, dan di hari ini.” Abdullah berkata: “Keduanya adalah dua shalat
yang diganti dari waktunya, yakni shalat maghrib setelah orang-orang datang di
Muzdalifah, dan shalat fajar ketika fajar telah terbit.” Ia berkata: Aku
melihat Nabi Saw. melakukannya.” (HR. Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu
Khuzaimah)
Perbuatan tersebut
-walaupun berasal dari sahabat yakni Abdullah bin Mas’ud- tetapi para sahabat
yang bersamanya menyetujui apa yang dilakukannya itu, dan ini merupakan ijma dari mereka tentang bolehnya dua kali
adzan. Terlebih lagi ada tambahan bahwa Abdullah bin Mas’ud telah melihat Nabi
Saw. melakukannya.
Adapun dalil dari
mereka yang membolehkan satu iqamat untuk dua shalat adalah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar ra.:
“Bahwa dia
melaksanakan shalat bersama Rasulullah Saw. di Jama’ dengan satu kali iqamat.”
(HR. an-Nasai, Bukhari, Abu Dawud dan Muslim)
Hadits tersebut
diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan redaksi:
“Bahwa Nabi Saw.
menjamak shalat antara maghrib dan isya di Jama’. Beliau shalat maghrib tiga
rakaat dan isya dua rakaat dengan satu iqamat.”
Ucapan di Jama’
artinya di Muzdalifah. Jama’ adalah salah satu nama dari Muzdalifah. Hadits ini
walaupun shahih tetapi menyalahi hadits-hadits lain yang shahih dan jumlahnya
lebih banyak, yang menunjukkan bahwa di Muzdalifah itu dikumandangkan dua
iqamat. Peristiwa dalam hadits tersebut adalah peristiwa yang sama, sehingga
dalam hal ini harus dilakukan tarjih
atas salah satunya. Dan saya merajihkan
(menguatkan) hadits-hadits yang menyatakan dengan dua iqamat. Ibnu Umar sendiri
telah meriwayatkan:
“Nabi Saw. menjamak
antara maghrib dan isya di Jama', di mana untuk setiap shalat tersebut ada satu
iqamat. Beliau tidak melakukan shalat nafilah
di antara keduanya, dan tidak pada akhir setiap shalatnya.” (HR. Bukhari dan
an-Nasai)
Riwayat ini menyalahi
riwayat yang pertama tadi, dan menunjukkan disyariatkannya dua iqamat.
Jika si mushalli telah menyelesaikan dua shalat
tersebut dalam waktu yang pertama dari keduanya kemudian ‘udzurnya hilang,
seperti dia shalat jamak karena ada hujan, kemudian awan mulai sirna dan langit
terang, maka shalatnya itu tetap sah dan jamaknya juga tetap sah, serta tidak
perlu mengulangi lagi shalatnya (i’adah),
asalkan shalatnya itu telah selesai dilaksanakan dan ‘udzurnya memang ada.
Shalatnya tetap sah dan diterima, dan keabsahannya tidak dipengaruhi oleh
hilangnya ‘udzur setelahnya.
Termasuk sunah dalam
menjamak shalat karena adanya ‘udzur safar, di mana seorang musafir jika tiba
waktu dhuhur -sebelum dia melanjutkan perjalanannya- dianjurkan dia menjamak
shalat dhuhur dan ashar dengan jamak taqdim.
Begitu juga terkait dengan shalat maghrib dan isya.
Apabila dia telah
melakukan perjalanan kemudian tiba waktu shalat dhuhur, maka sunahnya adalah
dia melanjutkan perjalanan hingga tiba waktu ashar, dan dia singgah di suatu
tempat untuk melaksanakan dua shalat tersebut secara jamak ta’khir. Hal yang sama juga dilakukan terkait
shalat maghrib dan isya. Dari Anas bin Malik ra.:
“Bahwa Nabi Saw. jika
berada dalam perjalanan, lalu matahari tergelincir sebelum beliau berangkat,
maka beliau shalat dhuhur dan ashar seluruhnya. Dan jika beliau telah berangkat
sebelum matahari tergelincir maka beliau menjamak keduanya di awal waktu ashar.
Dan beliau melakukan hal serupa untuk shalat maghrib dan isya.” (HR.
at-Thabrani)
Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari jalur Muadz
bin Jabal.
Dari Anas ra.:
“Jika beliau (Saw.)
bergegas dalam melakukan perjalanan, maka beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke
awal waktu shalat ashar, dan menjamak di antara keduanya, dan mengakhirkan
maghrib hingga menjamaknya dengan shalat isya ketika syafaq mulai hilang.” (HR. Muslim)
Seorang musafir
bisa mengqashar shalat, sekaligus
menjamak antara dua shalat, selama sifat musafir cocok dengannya, baik dia
singgah di suatu tempat lalu bermukim di sana beberapa saat, atau dia berada di
atas hewan tunggangan, mobil atau pesawatnya, baik mukimnya di perjalanan
tersebut dalam jangka waktu lama atau sebentar. Rasulullah Saw. telah melakukan
perjalanan ke Tabuk, dan bermukim di sana selama dua puluh hari. Di sana beliau
mengqashar shalat. Abu Dawud telah
menceritakan hal itu melalui Jabir. Rasulullah Saw. melakukan perjalanan ke
Makkah, dan bermukim di sana selama sembilan belas hari dengan mengqashar shalat. Hal ini diceritakan oleh
Bukhari dan Tirmidzi yang berasal dari hadits Ibnu Abbas. Dan tentu saja, jika
shalatnya itu diqashar maka sekaligus
juga telah dijamak. Dari Muadz bin Jabal ra.:
“Bahwa mereka
berangkat bersama Rasulullah Saw. pada Perang Tabuk, dan Rasulullah Saw.
menjamak antara shalat dhuhur dan ashar; maghrib dan isya. Ia berkata: maka
beliau Saw. mengakhirkan shalat pada suatu hari, kemudian keluar dan shalat
dhuhur dan ashar seluruhnya, kemudian masuk dan keluar dan melaksanakan shalat
maghrib dan isya seluruhnya...” (HR. Malik, al-Baihaqi, Abu Dawud, an-Nasai,
dan Ibnu Khuzaimah)
Arah istidlal hadits ini adalah bahwa Rasulullah
Saw. bermukim dan singgah di Tabuk, dan beliau tidak berada di atas
tunggangannya, tetapi beliau Saw. berada di kemahnya. Beliau keluar-masuk di
dalamnya, walaupun begitu beliau Saw. tetap menjamak di antara dua shalat.
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar