Hal Ihwal Muadzin
Bagi muadzin
disunahkan untuk mengumandangkan adzan sambil berdiri, karena posisi seperti
ini lebih bagus untuk menyuarakan suara dengan lebih keras. Ini sebelum
ditemukannya pengeras suara. Tetapi, menetapi sunnah ini lebih utama dan lebih
baik lagi. Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:
“Wahai Bilal,
berdirilah dan panggillah (orang-orang untuk melaksanakan) shalat” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Sebagaimana disunahkan
pula baginya untuk menghadap kiblat, kecuali ketika mengumandangkan hayya ‘alas shalat dan hayya 'alal falah. Kedua kalimat itu diserukan sambil menoleh ke
kanan dan ke kiri. Dari Abu Juhaifah ra., ia berkata:
“Aku melihat Bilal
keluar menuju Lembah Bath-ha, lalu dia mengumandangkan adzan. Ketika sampai
pada kalimat “marilah kita shalat, marilah meraih kebahagiaan” dia menolehkan
lehernya ke kanan dan ke kiri, dan dia memutar (tubuhnya)...” (HR. Abu Dawud)
Tentu saja Bilal
melakukan hal itu berdasarkan persetujuan dari Rasulullah Saw. Ini semua jika
adzan dikumandangkan tanpa ada alat pengeras suara. Namun, jika disertai alat
pengeras suara maka hal ini tidak menjadi sebuah keharusan. Selain itu, tidak
menjadi masalah jika seorang muadzin melekatkan jari-jemarinya pada kedua
telinganya selama dia mengumandangkan adzan. Hal ini bisa membantunya untuk
lebih memperindah suara adzan yang sedang dikumandangkannya. Dari Abu Juhaifah
ra., ia berkata:
“Aku melihat Bilal
beradzan sambil menoleh, dan aku melihat mulutnya ke sana dan ke sini, yakni ke
kanan dan ke kiri, dan jari-jemarinya berada di kedua telinganya.” (HR. Ahmad,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Disunahkan pula bagi
muadzin untuk mengumandangkan adzan dalam keadaan suci, karena adzan termasuk
bagian dari dzikir, dan bersuci disunahkan ketika berdzikir. Al-Muhajir bin
Qunfudz telah meriwayatkan:
“Bahwasanya ia menemui
Rasulullah Saw. dan pada saat itu beliau Saw. sedang buang air kecil. Dia
mengucapkan salam kepadanya tetapi Rasulullah Saw. tidak membalasnya hingga
beliau berwudhu. Kemudian beliau Saw. mengungkapkan alasan kepadanya seraya
berkata: “Aku tidak suka mengingat Allah Swt. kecuali aku dalam keadaan suci.”
(HR. Abu Dawud)
Diutamakan agar suara
muadzin itu bagus, merdu dan kuat. Telah diterangkan dalam hadits Abdullah bin
Zaid yang kami sebutkan sebelumnya pada pembahasan “fardlu adzan dan
lafadz-lafadznya”:
“Maka berdirilah kamu
bersama Bilal, dan diktekan kepadanya apa yang engkau dapatkan dalam mimpimu.
Maka beradzanlah Bilal dengannya, karena sesungguhnya ia lebih kuat dan merdu
suaranya daripada engkau.”
Dalam hadits al-Barra
bin Azib yang kami sebutkan dalam pembahasan keutamaan adzan: Bahwasanya Nabi
Allah Saw. telah berkata:
”...Dan muadzin itu
baginya diberikan ampunan sekeras suaranya, dan dibenarkan oleh orang yang
mendengarnya yang berasal dari tanah kering dan basah, dan baginya semisal
pahala orang yang shalat bersamanya.” (HR. Ahmad dan Nasai)
Setiap laki-laki
Muslim bisa mengumandangkan adzan, walaupun dia seorang fasik, bodoh, ataupun
buta. Dari Malik bin al-Huwairits ra., ia berkata:
“Kami mendatangi
Rasulullah Saw., dan kami adalah anak-anak muda yang berdekatan. Lalu kami
melaksanakan shalat bersamanya selama dua puluh malam. Ia berkata: Adalah
Rasulullah Saw. seorang yang pengasih dan lembut hati, beliau menyangka
bahwasanya kami telah menyulitkan keluarga kami. Beliau kemudian bertanya
kepada kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan di keluarga kami. Kemudian
kami beritahukan kepada beliau. Setelah itu beliau Saw. berkata: “Pulanglah
kalian kepada keluarga kalian dan dirikanlah shalat di antara mereka. Ajarilah
mereka, serta perintahlah mereka (shalat) jika telah tiba waktu shalat. Dan
hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan. Kemudian salah
seorang yang paling tua di antara kalian hendaknya mengimami kalian.” (HR.
Ahmad)
Perkataan beliau Saw.:
“dan hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan”, ini
menjadi dalil tidak adanya syarat tertentu pada muadzin selain ia adalah salah
seorang dari mereka, yakni seorang Muslim. Rasulullah Saw. memiliki seorang muadzin
yang buta, yakni Ibnu Ummi Maktum.
Adzan itu hukumnya
fardhu bagi kaum lelaki, tidak bagi kaum wanita, sebagaimana telah dijelaskan
pada pembahasan “hukum adzan.” Adzan juga sah dilakukan oleh seorang anak kecil
yang mampu dan memiliki suara yang kuat, karena anak kecil seperti ini termasuk
ke dalam ungkapkan “salah seorang dari kalian.”
Disunahkan pula untuk
mentartilkan kalimat adzan, dalam arti agar huruf-huruf mad dibaca panjang dalam proporsi yang bisa menambah keindahan
adzan, di mana huruf alif, wawu dan ya
dibaca mad, tidak huruf selainnya. Dari
Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. memerintahkan kami untuk mentartilkan adzan dan memendekkan iqamat.” (HR.
Daruquthni)
Perlu diketahui pula
bahwa membaguskan adzan tidak harus berlebihan hingga bisa merubah adzan
seperti nyanyian atau lagu, sehingga jika adzan sudah sampai pada batasan ini
(menyanyikan atau melagukan), maka hal ini terlarang. Dari Ibnu Abbas ra.:
“Adalah Rasulullah
Saw. mendapati seorang muadzin yang melagukan adzan seperti nyanyian. Maka
Rasulullah Saw. berkata: “Sesungguhnya adzan itu haruslah sederhana dan
berwibawa, jika adzanmu seperti itu (maka adzanlah), jika tidak, maka janganlah
engkau adzan.” (HR. Daruquthni)
Adzan Dikumandangkan Awal Waktu
Adzan tidak boleh
dikumandangkan lebih awal dari waktu shalat kecuali dalam dua keadaan. Pertama:
adzan untuk shalat Jum’at; boleh menyerukan adzan awal sebelum masuk waktu, dan
Anda sekalian akan mendapati pembahasan ini lebih rinci pada topik “adzan pada
hari Jum'at”
bab “shalat-shalat fardhu selain shalat lima waktu.”
Kedua: adalah adzan
mendahulukan adzan agar orang yang bertahajud bisa menyelesaikan shalatnya dan
membangunkan orang yang tidur, sekaligus mengingatkan orang yang lalai untuk
segera makan sahur.
Dalil mengumandangkan
adzan mesti di awal waktu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin
Samurrah ra., ia berkata:
“Bilal mengumandangkan
adzan jika matahari tergelincir dengan tepat, kemudian tidak beriqamat hingga Nabi Saw. keluar. Ia berkata,
jika Nabi Saw. keluar, Bilal akan beriqamat ketika dia melihatnya.” (HR. Ahmad)
Adapun dalil adanya
pengecualian adzan shalat fajar di bulan Ramadhan adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. dari Nabi Saw., bahwa ia berkata:
“Janganlah salah
seorang atau seseorang dari kalian merasa terhalang oleh adzan Bilal dari makan
sahur, karena sesungguhnya ia mengumandangkan adzan atau memanggil ketika hari
masih malam, agar orang yang sedang shalat di antara kalian segera kembali, atau
yang sedang tidur segera bangun.” (HR. Bukhari)
Dalam keadaan ini
wajib untuk mengeraskan adzan kedua ketika masuk waktu shalat subuh. Di antara
dua adzan tersebut terdapat jeda waktu yang sekedar cukup untuk makan, atau
yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan seseorang untuk menunaikan hajatnya dan
berwudhu, yang kalau ditaksir dengan hitungan jam modern memerlukan waktu
sekitar sepuluh menit atau seperempat jam. Dari Aisyah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika Bilal
mengumandangkan adzan maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan adzan. Aisyah berkata: Dan di antara keduanya tidak ada
perbedaan kecuali yang ini turun dan yang ini naik.” (HR. an-Nasai)
Wallahu
a’lam.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar