Nadia? Ternyata ia nggak pernah bisa melupakan kejadian yang
menimpa teman sekelasnya, Ayu. Ayu yang lincah, cute, dan favorit di sekolah.
Tapi kini ia dan anak-anak di sekolahnya nggak bakalan melihat lagi Ayu untuk
selamanya. Ya, sebab Ayu tiga hari yang lalu meninggal dunia dalam kecelakaan
lalu-lintas.
Bukan Nadia nggak rela ditinggal teman sekelasnya itu, tapi
justru hal itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa kematian tak bisa diukur
dengan hitungan logika kita. Nggak bisa, sebab itu adalah rahasia Allah. Setiap
makhluk yang bernyawa pasti akan mati, tentu saat ajalnya sudah tiba. Nadia
tahu masalah itu, namun ia seolah menyayangkan Ayu yang nggak mau diingetin
untuk mengubah kelakuannya yang urakan dan amburadul. Nadia sayang sama Ayu,
itu sebabnya Ayu selalu diajak untuk mengikuti pengajian di masjid sekolah.
Namun, seringkali Ayu menolak, baik dengan cara halus maupun
agak kasar. Ayu beralasan, bahwa masa muda ini saatnya mengisi hari-hari dengan
suka cita dan melepaskan dari beban kehidupan. Dengan kata lain, Ayu ingin
menjelaskan bahwa saat usia muda, kita nggak perlu direcokin dengan
masalah-masalah berat dan serius. Itu sebabnya, nyaris seluruh waktu dalam
kehidupan Ayu digunakan untuk melakukan aktivitas yang nggak perlu alias
sia-sia, bahkan nggak jarang yang nyerempet-nyerempet dosa, sampai akhirnya ia
terbujur kaku. Bila sudah demikian, nggak ada kesempatan kedua untuk mengulangi
kehidupan ini. Waktu yang berlalu, jelas tak akan kembali lagi. Bila demikian
kenyataannya, kita rugi dunia dan akhirat. Rugi berat memang. Bagaimana dengan
kita? Semoga saja tidak begitu.
Kadang emang kita suka lupa dalam menjalani kehidupan ini. Kita
merasa bahwa kehidupan bisa kita tentukan dan kita atur semau kita.? Itu
sebabnya, kita jadi suka menganggap gampang semua urusan. Karena kita
menganggap bahwa semua itu bisa kita pola dengan hitung-hitungan logika kita.
Nggak heran kalo kemudian muncul “falsafah” yang berbunyi; “Muda hura-hura, tua
kaya raya, mati masuk sorga”. Bukan kita nggak optimis. Tapi masalahnya adalah,
apakah hidup kita cukup dengan gambaran seperti itu? Apakah dalam hidup ini
kita merasa sudah aman dengan aturan yang kita buat sendiri, sehingga kita
merasa memiliki segalanya termasuk bisa mengatur waktu sesuka kita? Jangan
heran memang bila kemudian kita doyan meneriakkan semboyan “Masih ada hari esok”.
Walah?
Waktu laksana pedang
Bagaimana dengan Ayu, ia nggak bisa kembali lagi ke dunia. Memang rugi atas kesempatan yang hilang. Kita masih ada di dunia. Jadi masih bisa mengukir amal baik dan mengisi waktu yang tersisa. Dengan harapan hari esok bisa lebih bernilai, paling nggak buat diri sendiri, juga bisa memberikan cahaya juga buat yang lain.
Bagaimana dengan Ayu, ia nggak bisa kembali lagi ke dunia. Memang rugi atas kesempatan yang hilang. Kita masih ada di dunia. Jadi masih bisa mengukir amal baik dan mengisi waktu yang tersisa. Dengan harapan hari esok bisa lebih bernilai, paling nggak buat diri sendiri, juga bisa memberikan cahaya juga buat yang lain.
Waktu memang ibarat pedang. Setiap detik ia memenggal kesempatan
kita, dengan tak kenal kompromi. Kejam, kita rasa memang demikian. Tapi
alangkah lebih kejamnya lagi apabila kita tidak memanfaatkannya untuk kebaikan.
Itu namanya kita menzalimi diri kita sendiri. Sebab, ini persoalan bagaimana
kita mengatur waktu yang terbatas yang diberikan oleh Allah Swt. Jangan sampai
kita gunakan untuk hal-hal yang nggak ada manfaatnya.
Terbatas? Memang demikian faktanya, kawan. Andai saja usia kita
di dunia ini 60 tahun. Maka itulah batas hidup kita di dunia ini. Ukuran
panjang dan pendek, adalah hitungan logika kita, tapi tetap pada hakikatnya itu
terbatas. Jadi, jangan sia-siakan waktumu.
Sebagai manusia, kita emang terbatas dan nggak sempurna. Itu
sebabnya, kita jangan sampe melupakan siapa kita dan misi keberadaan kita di
dunia ini. Ini wajib kita pahami betul, sobat. Kalau nggak? Wah, bisa
kacau-beliau tuh. Coba aja perhatiin orang yang nggak sadar siapa dirinya dan
misi adanya dia dunia ini, hidupnya suka semau gue. Seakan hidup nggak kenal
waktu. Bahkan bagi orang yang kehidupannya diberikan kebahagiaan berlebih oleh
Allah, suka lupa dan merasa ia akan hidup selamanya di dunia ini. Apalagi bila
kita menjalaninya dengan serba mudah dan indah. Nikmat memang. Namun,
sebetulnya kita sedang digiring? ke arah tipu daya yang bakal menyesatkan
kita bila kita tak segera menyadarinya. Rasulullah saw bersabda: “Ada dua nikmat, di mana manusia banyak
tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari)
Benar, bila badan kita sehat, segar, dan bugar, bawaannya seneng
dan merasa bahwa kita nggak bakalan sakit. Kalo lagi sehat nih, diajak jalan
kemana aja kita antusias. Makan apa aja kita paling duluan ngambil dan mungkin
paling gembul. Waktu kita sehat, kita lupa bahwa kita juga bakal sakit. Nggak
heran kalo kemudian kita melakukan apa saja sesuka kita, termasuk yang
deket-deket dengan dosa. Kesehatan memang nikmat yang bisa menipu kita.
Melupakan kita dari aktivitas yang seharusnya kita lakukan.
Begitu pula dengan kesempatan. Kalo lagi ada waktu luang, bawaan
kita pengennya nyantai aja. Coba, kalo tiba musim liburan, serta merta kita
bersorak kegirangan. Bukan karena kita bisa mengerjakan aktivitas yang nggak
bisa dilakukan saat kita sekolah, tapi karena itu adalah semata-mata waktu luang.
Kita menganggap bahwa itulah saatnya bersantai dan melepaskan beban penderitaan
selama belajar di sekolah.
Ya, kesempatan juga bisa menipu kita. Padahal, waktu luang itu
bisa kita gunakan utuk kegiatan yang bermanfaat dan berpahala. Namun nyatanya
sedikit banget yang ngeh. Udah kepepet aja, baru nyesel. Jadi, sayangi dirimu
kawan.
Jangan sia-siakan waktumu
Orang Arab punya pepatah, “waktu adalah pedang”. Telat dikit aja pedang bakal memenggal leher, dan nyawa melayang. Falsafah ini boleh-boleh aja kita gunakan, untuk melecut kesadaran kita. Namun demikian, waktu bagi seorang muslim harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bila orang melewati satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan, atau kemuliaan yang ia wariskan, atau kebaikan yang ia tanamkan, atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri.
Orang Arab punya pepatah, “waktu adalah pedang”. Telat dikit aja pedang bakal memenggal leher, dan nyawa melayang. Falsafah ini boleh-boleh aja kita gunakan, untuk melecut kesadaran kita. Namun demikian, waktu bagi seorang muslim harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bila orang melewati satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan, atau kemuliaan yang ia wariskan, atau kebaikan yang ia tanamkan, atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri.
Kita udah memanfaatkan waktu untuk berbuat seperti itu belum?
Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Dan yang pasti, bakalan rugi deh
kalo hidup hanya kita isi dengan kegiatan yang nggak ada manfaatnya. Lebih rugi
lagi kalo bermaksiat kepada Allah.
Belum lagi bahaya yang bakal kita terima saat kita
menyia-nyiakan waktu. Paling nggak ada tiga akibat; kekosongan akal, kekosongan
hati, dan kekosongan jiwa.
Orang yang nggak merasa bahwa waktu itu begitu berharga dan
bernilai, maka doi biasanya malas untuk belajar. Kalo udah malas belajar,
alamat akal kita kekurangan pasokan ilmu. Ujungnya kita bisa jadi nggak mampu
memfungsikan akal kita untuk mengetahui Rabb kita, untuk mengetahui siapa kita,
keberadaan kita dan mau ngapain kita di dunia. Kalo begitu, kita nggak ada
bedanya sama “teman-teman” di Ragunan. Ih, amit-amit ya? Jangan sampe deh.
“Sesungguhnya binatang
(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak
dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS al-Anfal [8]: 22)
Begitu pentingnya akal ini, hingga Umar bin Khaththab ra. pernah
mengatakan, “Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah
agamanya, dan harga dirinya adalah akhlaknya.” Tuh, catet ya!
Ali bin Abi Thalib ra juga pernah berwasiat kepada putranya,
Hasan dan Husein, sesaat sebelum meninggal dunia: “Sesung?¬guhnya kekayaan yang
paling tinggi nilainya adalah akal pikiran. Kemelaratan yang paling parah
adalah kebodohan.”
Yang kedua tentang hati. Kata Imam al-Ghazaliy, hati itu ibarat
cermin. Kalo nggak pernah dibersihkan, maka akan berkarat oleh debu. Itu
sebabnya, bila kita tidak memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah, untuk hadir
di majelis-majelis dzikir, hati kita akan kosong. Ujungnya, kita mudah resah,
putus asa, frustrasi dan sejenisnya.
Menyia-nyiakan waktu juga bisa berakibat kosongnya jiwa kita.
Sayyid Qutb memberi gambaran: “Itulah jiwa yang kosong, yang tidak pernah
mengenal makna serius. Ia bersikap santai meski menghadapi bahaya yang
mengintai. Ia bercanda ria di saat membutuhkan keseriusan dan senantiasa
meremehkan permasalahan yang suci dan sakral. Jiwa yang kosong dari sikap yang
serius dan penuh kesucian, akan meremehkan setiap persoalan yang
menyelimutinya, mengalami kegersangan jiwa dan dekadensi moral.”
Kalo kamu mulai menyia-nyiakan waktumu, maka itu artinya kamu
sudah mengarahkan langkah kamu ke dalam jurang kehancuran. Kosong akal, kosong
hati, dan kosong jiwa. Kalo udah begitu, alamat kehidupan ini terasa garing dan
nggak bermakna. Padahal, kehidupan di dunia ini cuma sesaat dan amat semu.
Jangan sampe hidup kita hanya diisi dengan kegiatan yang nggak
ada manfaatnya untuk kehidupan abadi kita di akhirat nanti. Mulai sekarang,
tinggalkan segala aktivitas yang merugikan kita. Meski mungkin tampaknya
aktivitas itu bakalan nguntungin menurut penilaian kita; popularitas, harta,
kesenangan dan sebagainya. Tapi kalo itu maksiat kepada Allah, nggak ada artinya
kan?
Jadi jangan sampe kita nyesel seumur-umur akibat kita menzalimi
diri sendiri. Sebab, kita nggak bakalan diberi kesempatan ulang untuk berbuat
baik atau bertobat, bila kita udah meninggalkan dunia ini. Firman Allah Swt.:
“Maka pada hari itu tidak
bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak
pula mereka diberi kesempatan bertaubat lagi.” (QS ar-Rum [30]: 57)
Bagaimana mengefisienkan waktu?
Waktu yang kita miliki bisa jadi amat luang dan lapang, namun adakalanya kita nggak bisa memanfaatkan untuk hal-hal yang benar dan baik. Jasiem M. Badr dalam buku Efisiensi Waktu dalam Islam memberikan alternatif cara mengefisienkan waktu: Pertama, pergerakan (kegiatan) terarah. Untuk mencapainya, seseorang kudu memprogram dan menggariskan tujuan geraknya. Dan pastikan bahwa tujuan dari setiap gerak itu nggak boleh lepas dari haluan Allah.
Waktu yang kita miliki bisa jadi amat luang dan lapang, namun adakalanya kita nggak bisa memanfaatkan untuk hal-hal yang benar dan baik. Jasiem M. Badr dalam buku Efisiensi Waktu dalam Islam memberikan alternatif cara mengefisienkan waktu: Pertama, pergerakan (kegiatan) terarah. Untuk mencapainya, seseorang kudu memprogram dan menggariskan tujuan geraknya. Dan pastikan bahwa tujuan dari setiap gerak itu nggak boleh lepas dari haluan Allah.
Kedua, bergaul dengan masyarakat. Ini juga penting, sebab waktu
kita jadi lebih bermanfaat, apalagi kalo kita adalah pengemban dakwah, tanpa
bergaul dengan masyarakat, alamat aktivitas kita nggak ada apa-apanya. Jadikan
masyarakat itu sebagai lahan dakwah kita. Jadi gaul dong. Jangan hanya gaul
dalam urusan yang nggak bener.
Ketiga, suka membantu orang lain. Keberadaan orang lain di
sekitar kita jangan dianggap sebagai bilangan doang, tapi juga kudu
diperhitungkan. Kalo mereka membutuhkan uluran kita, ya kita kudu peduli. Sabda
Rasulullah saw.: “Barangsiapa yang
melapangkan suatu kesulitan di dunia bagi seorang mukmin, maka Allah pasti akan
melapangkan baginya suatu kesulitan di hari Kiamat.” (HR Muslim)
Keempat, menjalani lima perkara yang disukai sahabat, yakni
selalu bergabung dengan orang-orang shaleh yang aktif, mengikuti sunnah Rasul
saw, memakmurkan masjid, baca al-Quran, dan jihad fii sabilillah.
Kelima, membaca. Kata Imam Ahmad: Kebutuhan manusia terhadap
ilmu pengetahuan itu porsinya lebih besar daripada kebutuhan makan dan minum.
Kebutuhan makan dan minum dalam sehari bisa dihitung, tapi mencari ilmu adalah
sebanyak tarikan napas kita. Ilmu akan menerangi jalan hidup kita.
Jadi, jangan sampe kita menyia-nyiakan waktu. Sebab ia akan
berlalu dan tak kembali.
(Buletin Studia – Edisi 065/Tahun 2. diedit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar