PERBANDINGAN ANTARA SYARIAT DAN
PERUNDANGAN KONVENSIONAL
ANTARA SYARIAT DAN PERUNDANGAN
KONVENSIONAL
Ada rasa absurd
(non-sense) jika membandingkan Syariat Islam dengan perundangan
konvensional. Sebagaimana sebuah syair mengatakan: “Apakah engkau lihat bahwa
pedang berkurang kadarnya (derajatnya)? Jika dikatakan bahwa pedang lebih
canggih daripada tongkat?” [Bait
syair oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat al-Qadr, jilid 4 hal.531]
Pembicaraan
dalam hal ini adalah untuk membuka aib perundangan konvensional sehingga
keburukannya nampak dan para penganutnya dapat mengetahui hakikat materi
undang-undang kufur tersebut.
Para penguasa
batil di negeri-negeri Muslim mencoba solusi asing yang diimpor dari Barat dan
Timur. Namun solusi itu tidak dapat merealisasikan harapan masyarakat kita yang
dicita-citakan yaitu membersihkan individu dan meningkatkan kualitas
masyarakat. Solusi itu juga tidak dapat memberikan kebaikan dalam agama dan
kemakmuran dunia, dan tidak menghasilkan sesuatu kecuali hanya musibah dan
kekacauan yang dampaknya sekarang ini dapat kita saksikan.
Sistem
jahiliah yang dirancang manusia bagi diri mereka sebagai pelarian dari petunjuk
Allah, telah mewakili kebodohan besar manusia, kelemahan, serta hawa nafsunya.
Sistem jahiliah tersebut bertentangan dengan fitrah manusia baik secara total
dan parsial. Oleh karena itulah, diri manusia akan sengsara sesuai dengan kadar
pertentangan dengan fitrahnya.
Jika sistem
jahiliyah kembali berusaha mengobati penyakit baru yang timbul dari usaha
pengobatan penyakit sebelumnya, maka sistem kufur tersebut mengakibatkan
penyakit baru lagi, dan demikian seterusnya dalam segala bidang.
Sistem hukum
kufur menjadikan manusia terbebani dengan beban berat terus-menerus dalam semua
segi kehidupannya. Berbeda dengan sistem solusi sempurna, komprehensif dan
sesuai dengan fitrah manusia, yaitu sistem Islam. Perbedaan mendasar hukum
Islam dengan hukum kufur secara global:
1.
Perundangan Islam adalah wujud ketakwaan antara Muslim dengan Penciptanya.
Sedangkan perundangan buatan manusia, adalah wujud kesombongan dan keingkaran
kepada Allah Swt.
2.
Perundangan Islam adalah perundangan yang betul-betul mencegah manusia melakukan
pelanggaran dan menebus dosa Muslim pelakunya. Hukum Islam menyuburkan
kebaikan. Sedangkan perundangan konvensional buatan manusia adalah perundangan
yang gagal; tidak mampu mencegah tumbuhnya para kriminal yang rusak dan
merusak.
3.
Perundangan Islam mempunyai pengaruh kuat dalam hati, sebab hukum Islam adalah
sesuai fitrah manusia dan berasal dari Allah Swt.; berlandaskan aqidah
yang benar sehingga diyakini secara pasti sebagai kebenaran.
“Hukum buatan
manusia, tidak mempunyai posisi terhormat dalam jiwa manusia dan tidak
mempunyai kekuatan yang mampu mengendalikan kehidupan mereka (secara benar).”[Hamid Mahmud Isma’il: Tarikh tasyri’
Al-islaami]
4.
Perundangan Islam tidak berubah-ubah karena telah sempurna; sumber-sumber hukum
Islam mencukupi keperluan pengambilan hukum untuk segala perkara. Sedangkan
perundangan kufur berubah-ubah menuruti pikiran para manusia yang sangat
terbatas; menuruti hawa nafsu; sehingga menjadikan masyarakat sebagai korban
sistem gagal.
Demikianlah,
nilai agung Syariat Islam yang diberikan Allah kepada manusia. Dan bagi umat
Islam yang memiliki sistem dari Allah, tidak boleh selamanya meninggalkan
berlian yang dimilikinya dan mencari debu dan asap di tangan manusia lain.
[serupa dengan ini: Anwar
Jundi, almu’asharah fii ithaar al-ashaalah hal.6]
Sistem Islam
atau Syariah Islam lengkap hanya bisa diterapkan secara menyeluruh; termasuk
Syariat mengenai Negara pelaksananya yaitu Negara Khilafah Islam. Sistem Islam
tidak bisa benar-benar terwujud di dalam sistem kufur semacam kerajaan,
demokrasi, kediktatoran, dsb. Hukum-hukum yang tampak Islami di sistem negara
kufur sesungguhnya adalah tipuan belaka, sebab sistem negara kufur tidaklah
memenuhi syarat/kondisi wajib bagi diterapkannya sistem Islam.
Maka konsep
Islam jelas yaitu bahwa kebenaran hanya satu yang tidak beragam. Adapun selain
kebenaran itu, maka dinamakan kesesatan. Selain itu, kebenaran dan kesesatan
tidak dapat digabung dan tidak mungkin bercampur di antara keduanya. Yang ada
hanya hukum Allah dan hukum jahiliah. Syariat Allah dan hawa nafsu. [Sayyid Quthb: Ma’alim alaththariiq hal.164]
”Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah:50)
“Allah
mengingkari orang yang keluar dari koridor hukum Allah yang pasti, yang
mengandung segala kebaikan, dan melarang segala keburukan. Orang tersebut
beralih kepada selain hukum Allah yang berupa pendapat, hawa nafsu,dan
istilah-istilah lainnya yang diberikan orang tertentu tanpa sandaran dari
Syariat Islam. Itulah kesesatan dan kebodohan yang dianut pengikut jahiliah
yang mereka nyatakan dengan pendapat dan hawa nafsu mereka.
Allah
berfirman: “Dan (hukum) siapakah yang lebih dari hukum Allah, bagi
orang-orang yang yakin?”
Maksudnya
siapakah yang lebih adil dari Allah dalam hukum-Nya. Bagi orang yang memikirkan
kandungan hukum Allah, tidak ada yang lebih adil dari Allah. Tidak ada yang
lebih adil dari Allah dalam pandangan orang beriman, meyakini, dan mengetahui
bahwa Allah pemberi hukum paling bijaksana, dan paling sayang terhadap
makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya. Allah Maha mengetahui terhadap
segala sesuatu, Maha Kuasa terhadap segalanya, yang Adil dalam segalanya.” [Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2 hal.68]
Tidak ada
jalan di tengah-tengah antara Syariat yang lurus dan hawa nafsu yang bengkok.
Ketika seseorang meninggalkan Syariat Allah, maka ia telah berhukum dengan hawa
nafsu. Segala sesuatu selain Syariat Islam, maka merupakan hawa nafsu yang
dituju oleh orang yang tidak mengetahui.
Demikianlah,
menjadi jelas bahwa perkara ini adalah perkara serius, yaitu perkara akidah.
Kemudian perkara ini adalah perkara kebahagiaan manusia dan kesengsaraan.
Manusia tidak terobati sakitnya kecuali dengan obat yang berasal dari Allah
Swt. Allah telah menjadikan sistem-Nya saja sebagai kunci pembuka segala
kebuntuan dan obat dari segala penyakit. [serupa dengan ini: Sayyid Quthb: Fii Dhilalil Qur’an, jilid 1
hal.15]
Allah juga
memberikan petunjuk dan kebahagiaan dunia dan akhirat ketika manusia mengikuti
petunjuk dan sistem-Nya. Ketika manusia berpaling dari Syariat Allah maka akan
mendapatkan kesengsaraan, kesempitan dalam kehidupan dunia, serta kebutaan dan
kerugian di akhirat.
”Maka jika
datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku,
ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha:
123-124)
Ibnu Katsir berkomentar: “falaa yadlillu” maksudnya tidak
sesat di dunia, dan “walaa yasyqaa” maksudnya tidak celaka di akhirat.
Penafsiran demikian itu disebutkan oleh Ibnu Abbas ra.
“Barangsiapa yang berpaling dari
mengingat-Ku, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang sengsara”, maksudnya
barangsiapa melanggar urusan-Ku dan wahyu yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku,
berpaling darinya, melupakannya dan mengambil petunjuk selainnya, maka ia
mendapatkan kehidupan yang sengsara di dunia, tidak mendapatkan ketenangan, dan
hati yang lega.
Tetapi hatinya menjadi sempit dan sesak karena kesesatannya, meskipun
secara lahiriah ia (mungkin) merasa gembira karena nikmat, berpakaian
sekehendaknya, makan semaunya dan tinggal sesuai kemauannya. Sebab jika hatinya
tidak mendapatkan keyakinan dan petunjuk, maka ia berada dalam kegelisahan dan
kebimbangan, sehingga ia masih terus dalam keraguan berkecamuk.” [Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3 hal.169]
PERBANDINGAN ANTARA SYARIAT DAN PERUNDANGAN KONVENSIONAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar