Aneh, jika yang
berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah umat Islam, negara seperti kebakaran
jenggot dan mengeluarkan pernyataan seperti orang yang tak mengerti aturan.
Maka, begitu rencana
reuni 212 menyebar, para pejabat negara mulai mengeluarkan pernyataan nyinyir.
Demikian pula dengan para Ahoker yang sepertinya sangat kepanasan dengan adanya
aksi tersebut.
Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mempertanyakan tujuan digelarnya
reuni akbar alumni 212. Menurutnya, tuntutan Aksi Bela Islam 212 tahun 2016
sudah selesai karena terkait dengan penistaan agama dan kontestasi pemilihan
gubernur DKI Jakarta 2017. ”Sebenarnya hal-hal yang bersifat temporer itu sudah
selesai," kata Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu
(29/11/2017).
Dan yang lebih konyol
lagi, mantan Ketua Umum DPP Hanura itu mengatakan, reuni 212 bisa mengganggu
aktivitas masyarakat. Apalagi jika acara tersebut mengerahkan massa dalam
jumlah yang banyak.
"Kami sayangkan
bahwa akan mengganggu aktivitas masyarakat. Masyarakat dari daerah kan butuh biaya, butuh waktu dan mengganggu
aktivitas mereka di daerah. Mungkin pekerjaannya dia tinggalkan, penghasilannya
akan kurang," katanya.
Seirama denqan
Wiranto, tudingan yang lain dikeluarkan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Ia menuding reuni akbar 212 bermuatan politis. Bak seorang pengamat politik, ia
mengatakan, reuni 212 berkaitan dengan momentum politik jelang Pilkada Serentak
2018 dan Pemilu 2019. "Ini juga enggak
akan jauh-jauh dari politik, tetapi politik 2018-2019," ujar Tito di
Jakarta, sehari setelah Wiranto bicara.
Satu lagi menteri
Jokowi yang tak mau ketinggalan berkomentar. Ia adalah Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin. Ia mempertanyakan tujuan dan maksud reuni 212 tersebut. Ia
beralasan masyarakat perlu mendapatkan penjelasan terkait dengan tujuan yang
ingin dicapai dari reuni 212 tersebut. Sebab kalau tidak mendapatkan penjelasan
yang cukup, tentu akan menimbulkan pemahaman atau penafsiran yang amat sangat
beragam. Apalagi tahun depan memasuki tahun politik.
Suara nyinyir juga
muncul dari para pendukung Jokowi khususnya di dunia maya. Dendam kekalahan
Ahok tampaknya betul-betul melatarbelakangi sikap mereka. Serangan mereka
dilakukan dengan pernyataan-pernyataan yang buruk.
Tanpa dikomando,
pernyataan nyinyir para pejabat Jokowi itu langsung ditanggapi warganet. Mereka
pun mengeluarkan meme, atau langsung menanggapinya dengan tulisan, bahkan
menampilkan beberapa aksi reuni termasuk reuni Relawan Jokowi di acara
perkawinan anak Jokowi yang super mewah yang tak pernah dipermasalahkan padahal
jelas-jelas reuni itu untuk kepentingan politik Pilpres 2019.
Media Nyinyir
Rupanya sikap nyinyir
itu tak hanya muncul dari kalangan pejabat negara. Media massa yang seharusnya
bisa lebih jernih dan fair memandang
persoalan ternyata ikut-ikutan bersikap selayaknya pejabat yang anti Islam.
Sikap ini tampak
sekali dia tunjukkan oleh MetroTV dan Media Indonesia. Media milik Surya Paloh
yang notabene adalah Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan pendukung
berat Jokowi ini betul-betul menyakiti umat Islam.
Kedua media yang baru
saja menerima penghargaan dari Kemenag RI sebagai media yang dinilai aktif
dalam memajukan pendidikan Islam membuat narasi keji dalam program acara
”Editorial Media Indonesia”.
Dalam program
Editorial Media Indonesia tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
tersaji dalam bentuk video tersebut, teriring narasi yang secara provokatif
menuding dan menyudutkan rencana Reuni Akbar 212.
Video berjudul
Meneladani Toleransi Sang Nabi ini diunggah di laman MetroTV di kanal Editorial
Media Indonesia pada Jumat, 1 Desember 2017. Dalam salah satu kalimat narasmya
dimulai pada menit 3:16, Editorial MetroTV menyinggung agenda Reuni Alumni 212
dengan menyebut sebagai perayaan intoleransi.
”Celakanya intoleransi
itu dipraktekkan untuk kekuasan politik dengan mengatasnamakan agama. Lebih
celaka lagi, mereka berencana berkumpul merayakan intoleransi itu dengan gegap
gempita, huh. Ini tentu bisa membuat korban intoleransi semakin terluka. Ketika
pihak yang terluka disuruh move on, supaya lukanya lekas pulih, pihak sebelah
justru menari di atas luka itu dengan merayakan kemenangan mereka secara gegap
gempita,” kata narator.
Kontan itu menimbulkan
reaksi keras warganet. Mereka menilai ini adalah serangan langsung MetroTV dan
Media Indonesia kepada alumni 212 yang notabene adalah kaum Muslim. Serangan
balikpun marak di dunia maya.
Suara nyinyir pun
disampaikan CNN Indonesia. Mereka menuding peserta mengibarkan bendera HTl
-organisasi yang katanya dilarang oleh pemerintah. Bahkan media massa milik
kelompok TransMedia itu menyebut HTI juga hadir dalam aksi itu dengan membawa
satu unit mobil komando.
Seperti halnya MetroTV
dan Media Indonesia, warganet langsung bereaksi terhadap pemberitaan yang
memojokkan itu. Mereka menyerang balik CNN termasuk mengunggah yang penulis
berita tersebut.
Pasca reuni, media
massa mainstream pun seolah menutup mata
akan adanya kegiatan itu. Sebagian media nasional besar yang berpihak kepada
penguasa tak memuat acara itu.
Cara Pandang Keliru
Meski umat Islam
berhasil mengadakan acara Aksi Bela lslam tahun lalu dengan aman, tertib, dan
tidak melanggar hukum, bahkan Presiden Jokowi sendiri hadir di acara tersebut,
ternyata cara pandang pemerintah terhadap umat Islam belum berubah hingga tahun
ini.
Kaum Muslim, mayoritas
penduduk negeri ini, dipandang sebagai ancaman rezim penguasa. Padahal semua
yang dilakukan oleh kaum Muslim tak melanggar hukum.
Sikap anti Islam rezim
sekarang ini semakin tampak, saat alat-alat negara seperti kepolisian digunakan
untuk kepentingan kekuasaan. Muncul penegakan hukum yang tidak adil. Tajam ke
Muslim, tumpul ke pendukung penguasa.
Bila ditelusur ke
belakang, cara pandang pemerintah yang keliru ini, muncul dari cara pandang
yang mengadopsi cara berpikir penjajah kapitalis-liberal yang sekuler. Bagi
mereka umat lslam yang bersatu, penegakan syariah Islam dan khilafah adalah
ancaman, mengancam kepentingan kelanggengan kekuasaan penjajahan mereka.
Cara pandang inilah
yang banyak dianut oleh penguasa-penguasa boneka mereka di dunia Islam. Karena
itu, alih-alih penguasa negeri Islam berpihak kepada kaum Muslim dan Islam,
yang terjadi sikap represif dan keji terhadap rakyatnya sendiri.
Maka, tak salah bila
muncul di tengah masyarakat suara untuk segera mengganti rezim yang berkuasa
sekarang sekaligus mengganti sistem yang diterapkannya. Sebab, pemimpin dan
sistemnya itu terbukti gagal menyejahterakan umat dan memuliakan kaum Muslim.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar