Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 01 Agustus 2017

Syariat / Tuntunan Imam Shalat



BAB KETIGA BELAS

IMAM DALAM SHALAT

A. Sifat Imam

Yang Paling Berhak Menjabat Imam

Orang yang paling berhak menjabat imam sesuai dengan urutan berikut:
1) Orang yang paling menguasai al-Qur’an, yakni orang yang paling banyak hafalannya.
2) Orang yang paling ‘alim dan paling faqih.
3) Orang yang paling tua umurnya.

Dari Abu Said al-Khudri ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika mereka (kaum Muslim) bertiga, maka hendaknya salah seorang dari mereka mengimaminya. Dan orang yang paling berhak mengimaminya adalah orang yang paling menguasai al-Qur'an.” (HR. Muslim, Ahmad, dan an-Nasai)

Dari Anas bin Malik ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:

“Orang yang berhak mengimami kaum tersebut adalah orang yang paling menguasai aI-Qur’an.” (HR. Ahmad)

Dalam hadits Ahmad dari jalur Amar bin Salimah menggunakan redaksi:

“Hendaknya orang yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan al-Qur'an.”

Thabrani, Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasai meriwayatkan hadits ini juga.

Dari Malik bin al-Huwairits, bahwa Nabi Saw. berkata kepadanya dan kepada temannya:

“Jika waktu shalat telah tiba maka kumandangkan adzan dan iqamat oleh kalian berdua, lalu hendaknya orang yang paling tua di antara kalian berdua menjadi imamnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Hendaknya orang yang mengimami satu kaum adalah yang lebih tahu tentang al-Qur'an di antara mereka. Lalu jika mereka sama dalam bacaannya, maka hendaklah yang lebih tahu tentang Sunnah Nabi Saw. Dan jika mereka sama (pengetahuannya) tentang Sunnah, maka hendaklah yang lebih dahulu hijrahnya. Dan jika mereka sama juga dalam hijrahnya, maka hendaklah yang lebih tua umurnya. Janganlah sekali-kali seseorang mengimami orang lain dalam kekuasaannya, dan janganlah ia duduk di rumahnya (menempati) tempat kehormatannya kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim)

Ahmad meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat:

“Dan janganlah sekali-kali seseorang mengimami orang lain di keluarganya, dan juga tidak dalam kekuasaannya, dan janganlah ia duduk di rumahnya (menempati) tempat kehormatannya kecuali dengan izinnya.”

Hadits yang terakhir mengandung dua tambahan atas penjelasan sebelumnya, yakni: seorang laki-laki yang berada di rumahnya, itulah yang menjadi imam, bukan yang paling tahu tentang al-Qur'an, paling paham atau paling tua umurnya. Laki-laki tersebut boleh tidak menjadi imam di keluarganya, dengan syarat dia mengijinkan orang lain untuk menjadi imam.
Khalifah dan para wali di wilayah kegubernurannya serta para ‘amil di wilayah ‘umalahnya, mereka semua menjadi imam di wilayah yang mereka kuasai tersebut.
Khalifah, juga para wali di wilayah kegubernurannya serta para ‘amil di wilayah ‘umalahnya lebih didahulukan daripada pemilik rumah, atau orang yang lebih tahu tentang al-Qur’an, orang yang lebih ‘alim dan lebih paham agama, dan orang yang lebih tua umurnya.
Khalifah, wali dan para ‘amil mengimami manusia, karena tercakup dalam ungkapan hadits: “dan juga tidak dalam kekuasaannya.”

Orang Buta Diangkat Sebagai Imam

Orang buta boleh diangkat sebagai imam, baik itu sebagai imam bagi orang-orang yang buta ataupun yang bisa melihat, tanpa ada pengutamaan orang buta di atas orang yang bisa melihat, ataupun orang yang melihat di atas orang yang buta. Dari Anas bin Malik ra. ia berkata:

“Bahwa Rasulullah Saw. mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti beliau Saw. di Madinah sebanyak dua kali. Dia mengimami (kaum Muslim) di Madinah padahal dia seorang buta.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Ibnu Hibban, Thabrani, dan Abu Ya’la telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Aisyah ra.

Dan dari Mahmud bin Rabi’ al-Anshari:

“Bahwa 'Itban bin Malik seringkali mengimami kaumnya, padahal dia seorang buta, dan bahwa dia berkata kepada Rasululah Saw.: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya keadaan seringkali gelap dan banjir, dan aku adalah seorang yang cacat penglihatan, karena itu shalatlah wahai Rasulullah di rumahku di satu tempat di mana nanti akan aku jadikan sebagai tempat shalat.” Lalu Rasulullah Saw. mendatanginya dan berkata: “Di manakah tempat yang engkau inginkan aku shalat?” Kemudian dia menunjukkan satu tempat di rumahnya, dan Rasulullah Saw. shalat di sana.” (HR. Bukhari, an-Nasai dan Malik)

Dalam satu riwayat Bukhari terdapat ungkapan:

“(Dia berkata kepada Nabi): “Wahai Rasulullah, sungguh penglihatanku telah kabur, sementara aku suka shalat mengimami kaumku.”

Riwayat yang terakhir terdapat penjelasan: Rasulullah Saw. telah diberitahu bahwa “Itban seringkali mengimami kaumnya, namun beliau Saw. tidak melarangnya.”

Anak Kecil Diangkat Sebagai Imam

Anak kecil yang belum baligh boleh diangkat sebagai imam, baik dalam shalat fardhu ataupun dalam shalat sunat, baik mengimami laki-laki dewasa, anak kecil, ataupun kaum wanita, asalkan anak kecil ini mampu melakukannya dan piawai membaca Kitabullah. Dari Amar bin Salimah ra. ia berkata:

“Pada saat penaklukan Makkah, orang-orang melewati kami. Mereka datang setelah menemui Rasulullah Saw., aku bisa membaca al-Qur'an padahal aku masih kecil. Lalu datanglah ayahku kepada Rasulullah Saw. membawa kabar ke-Islaman kaumnya, maka Rasulullah Saw. berkata: “Yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Qur'annya.” Mereka memperhatikan dan akulah orang yang paling banyak hafalan Qur'annya di antara mereka. Dia berkata: maka seorang perempuan berkata: Tutupilah pantat qari kalian. Dia berkata: maka mereka membelikannya satu burdah (kain bergaris). Dia berkata: maka aku tidak pernah bergembira lebih dari kegembiraanku dengan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasai)

Bukhari meriwayatkan hadits ini, disebutkan:

”...Dan hendaknya yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Qur'annya di antara kalian.” Lalu mereka melihat-lihat (satu sama lain), dan tidak ada seorangpun yang paling banyak hafalan Qur’annya selain aku, di mana aku mendapatkannya dari para penunggang yang lewat. Setelah itu mereka membawaku ke depan mereka, padahal aku saat itu berusia enam atau tujuh tahun...”

Penjelasan hadits: perawi hadits ini adalah Amr bin Salimah, yang berasal dari satu kabilah yang berada di jalur pemberangkatan kaum Muslim ke Makkah pada tahun penaklukkannya. Kaum Muslim melewati kabilah ini sambil membaca al-Qur'an, dan anak kecil ini mendengar dan menghafal sebagian yang dibaca kaum Muslim itu. Tatkala keluarga dan para lelaki dewasa kabilahnya masuk Islam, dan ayahnya mengabari Rasulullah Saw. terkait ke-Islaman kabilahnya, maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka agar dalam shalatnya diimami oleh orang yang paling banyak hafalan al-Qur'annya di antara mereka. Karena mereka masih baru masuk Islam, dan anak kecil perawi hadits ini telah hafal sedikit dari al-Qur’an, maka mereka memajukannya dalam shalat dan menjadikannya sebagai imam mereka, sementara para lelaki dewasa dan kaum wanitanya shalat di belakangnya. Lalu nampaklah bagian pantat anak kecil di sepanjang shalatnya, dan hal itu terlihat oleh seorang perempuan, maka dia meminta untuk menutupinya. Mereka membelikan satu kain panjang yang bisa menutupi aurat anak kecil itu agar tidak tersingkap di sepanjang shalatnya.

Perempuan Sebagai Imam

Perempuan boleh dan sah diangkat sebagai imam bagi kaum wanita saja. Dari Abu Nu’aim ia berkata:

“Al-Walid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Kakekku telah menceritakan kepada kami dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits al-Anshari. Ummu Waraqah telah beraktivitas mengumpulkan aI-Qur’an. Adalah Nabi Saw. telah memerintahkannya untuk mengimami penghuni rumahnya, dan Aisyah memiliki seorang mu'adzin (yang bertugas mengumandangkan adzan), dan dia mengimami penghuni rumahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Baihaqi)

Dari Rithah al-Hanafiyah

“Bahwa Aisyah mengimami mereka, dan berdiri di antara mereka dalam shalat wajib.” (HR. Abdur Razaq, Baihaqi, dan Daruquthni)

Dari Hujairah binti Hushain, ia berkata:

“Ummu Salamah mengimami kami dalam shalat ashar, dan dia berdiri di antara kami.” (HR. Daruquthni, Syafi'i, Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah)

Tidak ada hadits yang menceritakan bahwa perempuan (dibolehkan) mengimami kaum lelaki. Oleh karena itu, seorang perempuan diangkat sebagai imam, terbatas hanya untuk kaum wanita saja.

Orang yang Mukim Diikuti oleh Musafir, dan Sebaliknya

Seorang yang mukim boleh mengimami orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dan ini merupakan hukum asal. Tetapi boleh juga seorang musafir mengimami orang yang mukim. Jika seorang musafir mengimami dan selesai melaksanakan dua rakaat -yakni dua rakaat shalat qashar- dan ia bersalam, maka orang mukim harus menyelesaikan shalat mereka yang empat rakaat secara munfarid. Namun, jika orang mukim mengimami orang musafir, maka orang musafir yang berada di belakangnya harus menyelesaikan shalat empat rakaatnya dan tidak boleh memisahkan diri dari imam.

Dari Salim bin Abdullah dari ayahnya:

“Bahwa Umar bin Khaththab jika beliau tiba di Makkah, beliau shalat mengimami mereka sebanyak dua rakaat, kemudian bersabda: Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian, karena kami adalah kaum yang sedang mengadakan perjalanan.” (Riwayat Malik, Abdur Razaq, dan at-Thahawi)

Dari Shafwan bin Abdullah, ia berkata:

“Abdullah bin Umar datang menjenguk Abdullah bin Shafwan, lalu dia shalat bersama kami sebanyak dua rakaat dan kemudian pergi. Lalu kami berdiri dan menyempurnakannya.” (Riwayat Abdur Razaq, Malik, dan at-Thahawi)

Dari Musa bin Salamah ia berkata:

“Kami bersama Ibnu Abbas (berada) di Makkah, lalu aku berkata: Jika kami bersamamu maka kami shalat empat rakaat, dan jika kami kembali ke perjalanan kami maka kami shalat dua rakaat.” Ia berkata: “Itulah sunnah Abul Qasim Saw.” (HR. Ahmad)

Dalam redaksi yang lain dari Ibnu Abbas ra.: “Bahwa dia ditanya: Mengapa orang yang musafir itu shalat dua rakaat jika sendirian dan empat rakaat jika berimam pada yang mukim? Beliau berkata: “Itulah sunnah” (HR. Ahmad).

Hadits yang terakhir ini bisa dihukumi memiliki derajat marfu', yakni bersambung sampai pada Rasulullah Saw. karena ada perkatan “Itulah sunnah.”

Dari Nafi’:

“Bahwa Abdullah bin Umar, jika shalat di belakang imam di Mina (dilakukan) sebanyak empat rakaat, dan jika shalat untuk dirinya sendiri maka beliau shalat sebanyak dua rakaat.” (Riwayat Malik)

Malik meriwayatkan dari Nafi’: Bahwa Ibnu Umar:

“Tinggal di Makkah selama sepuluh malam dan dia mengqashar shalatnya, kecuali jika dia shalat bersama imam, maka dia melakukannya dengan mengikuti shalat imam.”

Orang yang Shalat Fardhu Diikuti Oleh Orang yang Shalat Nafilah, dan Sebaliknya

Bagi orang yang ingin shalat fardhu dan mendapati seseorang yang sedang melaksanakan shalat nafilah, maka dibolehkan baginya untuk berimam padanya dan sah pula shalatnya. Dari Jabir bin Abdullah:

“Bahwa Muadz bin Jabal shalat isya bersama Rasulullah saw. Kemudian dia pulang kepada kaumnya dan mengimami mereka shalat yang sama.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Syafi’i, Daruquthni, Abdur Razaq dan Baihaqi meriwayatkan hadits tersebut dengan tambahan: “Baginya shalat tersebut sebagai tathawwu', dan bagi mereka sebagai shalat fardhu isya.”

Inilah riwayat Syafi’i:

“Dari Jabir ia berkata: Adalah Muadz shalat isya bersama Nabi Saw., kemudian dia pulang menemui kaumnya dan shalat isya kembali. Maka baginya shalat tersebut sebagai tathawwu', sedang bagi mereka sebagai shalat fardhu isya.”

Hadits ini menyebutkan bahwa kaumnya Muadz melaksanakan shalat fardhu isya di belakang Muadz yang shalat memimpin mereka sebagai shalat nafilah, karena Muadz telah shalat isya di belakang Rasulullah Saw. Dalam bab “shalat orang yang ‘udzur” pasal “shalat khauf” bagian 3, ada hadits berikut: Dari Abi Bakrah, bahwa ia berkata:

“Nabi Saw. melaksanakan shalat khauf bersama kami. Beliau Saw. shalat bersama sebagian sahabatnya sebanyak dua rakaat, kemudian bersalam. Lalu mereka mundur, dan sebagian yang lain datang, sementara mereka berada di tempatnya. Kemudian beliau Saw. shalat bersama mereka dua rakaat. Nabi Saw. shalat sebanyak empat rakaat, sedangkan kaumnya itu dua rakaat-dua rakaat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Hibban dan Daruquthni)

Arah istidlal (penarikan kesimpulan) dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat fardhu dua rakaat dengan sekelompok kaum Muslim, dan menyempurnakan shalat dengan salam. Ketika shalat bersama kelompok kedua (hal itu dilakukan) sebanyak dua rakaat pula. Maka beliau Saw. melaksanakan dua rakaat yang terakhir ini sebagai nafilah, sedangkan pada waktu itu mereka (kelompok yang kedua) ini melaksanakan shalat fardhu. Artinya, kelompok kedua kaum Muslim ini telah melaksanakan shalat fardhu dengan berimam kepada Rasulullah Saw. yang bershalat nafilah.

Boleh bagi muftaridh (orang yang melaksanakan shalat fardhu) untuk shalat di belakang mutanafil (orang yang melaksanakan shalat nafilah), begitu juga sebaliknya, boleh seorang mutanaffil shalat di belakang seorang muftaridh, bahkan hal itu disunahkan baginya jika dia mendapati shalat jamalah, baik di masjid ataupun di tanah lapang, dan dia telah melaksanakan shalat yang fardhu. Saat itu dia disunahkan untuk masuk dalam shalat jama’ah, dan shalatnya itu (bersama jama’ah) menjadi shalat nafilah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Mihjan ad-Diliy ra., ia berkata:

“Aku mendatangi Nabi Saw., lalu iqamat shalat dikumandangkan dan aku (sedang) duduk. Ketika beliau selesai shalatnya, beliau Saw. bertanya: “Bukankah engkau seorang Muslim?” Aku menjawab: “Ya”. Beliau bertanya: “Apa yang menghalangimu dari shalat bersama orang-orang itu?” Aku berkata: “Aku telah shalat di keluargaku.” Beliau Saw. berkata:

“Maka shalatlah engkau bersama orang-orang itu.” (HR. Ahmad, Malik, Ibnu Hibban, al-Hakim dan an-Nasai)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Yazid bin al-Aswad ra. Hadits tersebut secara lengkap telah disebutkan dalam pembahasan “hukum shalat berjamaah dan keutamaannya.” Di dalamnya disebutkan:

”...Lalu beliau Saw. bertanya: “Apa yang menghalangi kalian (sehingga kalian) tidak shalat bersama orang-orang?” Keduanya menjawab: “Ya Rasulullah sesungguhnya kami sudah shalat dalam perjalanan.” Beliau Saw. berkata: “Jangan lakukan lagi, jika salah seorang dari kalian telah melaksanakan shalat dalam perjalanan, kemudian mendapati shalat bersama imam, maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya. Karena shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai, Tirmidzi dan ad-Darimi)




Shalat Imam yang Kehilangan Syarat-Syarat Shalat

Jika seorang yang junub atau yang belum berwudhu mengimami orang-orang, dan dia tidak tahu hingga selesai dari shalat, maka para makmum tidak perlu mengulang shalat mereka. Shalat mereka sah dan diterima, sedangkan imam sendiri harus mengulang shalat itu, karena bersuci itu merupakan syarat sahnya shalat. Tanpa itu maka shalatnya tidak diterima.
Begitu pula jika imam kehilangan salah satu syarat apapun dan ia menyelesaikan shalatnya tanpa sepengetahuan para makmum, maka shalat mereka (makmum) sah, sedangkan shalat imam sendiri batil dan wajib atas imam untuk mengulangnya.
Sejumlah atsar dari para sahabat senior ra. menyebutkan bahwa mereka shalat mengimami orang-orang, sedangkan mereka dalam keadaan junub, atau mereka belum berwudhu, tanpa sepengetahuan mereka dan sepengetahuan para makmumnya. Ketika mereka selesai shalat barulah mereka mengetahuinya, maka mereka mengulang shalatnya seorang diri, dan tidak memerintahkan para makmumnya untuk mengulang shalat tersebut. Peristiwa ini terjadi di depan mata para sahabat ra. tanpa ada pengingkaran dari mereka, sehingga hal itu menjadi ijma sahabat. Dari al-Aswad bin Yazid, ia berkata:

“Aku bersama Umar bin Khaththab (yang sedang berada) di antara Makkah dan Madinah, lalu dia shalat mengimami kami. Usai dari shalatnya, dia (Umar) melihat ada bekas mimpi pada bajunya. Kemudian Umar mandi dan mencuci apa yang dilihat di bajunya dan mengulang shalatnya, sedangkan kami tidak mengulang shalat kami.” (Riwayat Ibnu al-Mundzir)

Dari Syarid at-Tsaqafi:

“Bahwa Umar shalat mengimami orang-orang sedangkan dia dalam keadaan junub, lalu dia mengulang shalatnya dan tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka.” (Riwayat Daruquthni dengan sanad para perawi yang tsiqah)

Dari Muhammad bin Amr bin al-Harits bin al-Mushthaliq:

“Bahwa Utsman shalat fajar mengimami orang-orang. Ketika hari sudah tinggi dia melihat bekas junub pada pahanya, lalu dia berkata: “Demi Allah, aku sudah renta, demi Allah, aku sudah tua, aku junub tetapi aku tidak mengetahuinya.” Lalu dia mandi dan mengulang shalatnya, dan dia tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka.” (Riwayat Ibnu al-Mundzir, al-Atsram, al-Baihaqi dan Daruquthni)

Dari Nafi’:

“Bahwa Ibnu Umar shalat mengimami para sahabatnya, kemudian dia ingat bahwa dia telah menyentuh kemaluannya, lalu dia berwudhu, dan tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka.” (Riwayat Daruquthni)

Ibnu al-Mundzir, Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dengan sedikit perbedaan.

Dengan demikian, jika imam kehilangan salah satu syarat shalat seperti bersuci misalnya, dan dia tidak mengetahuinya, maka shalat para makmumnya tetap sah, baik shalat itu telah diselesaikan dalam kondisi imam kehilangan syarat shalat atau ada perbaikan oleh imam (dengan mewujudkan syarat shalat tersebut) di sepanjang shalatnya. Yang penting adalah bahwa hal itu terjadi tanpa sepengetahuan imam. Jika imam mengetahui adanya hal itu (yakni tidak adanya syarat shalat), atau makmum mengetahui hal itu terjadi pada imam, dan shalat diteruskan juga, maka shalat mereka seluruhnya batil ketika itu.

Ringkasnya adalah, jika imam kehilangan syarat-syarat shalat atau kekurangan sesuatu darinya, maka yang ditolak itu hanya shalatnya sendiri, dan tidak berpengaruh sedikitpun pada shalat para makmumnya, kecuali jika makmum mengetahui dan rela, seraya bersekutu dengannya dalam perkara itu. Ini berdasarkan pada dalil-dalil di atas, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Amir bin ‘Uqbah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mengimami orang-orang dan waktu telah tiba, dan dia menyempurnakan shalat, maka ganjaran shalat itu diperuntukkan baginya dan bagi mereka. Dan siapa yang kekurangan sesuatu dari shalatnya, maka itu hanya menjadi tanggungannya dan tidak menjadi tanggungan mereka.” (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud dan Thabrani)

Imam Meminta Pengganti dalam Shalatnya

Imam boleh menjadikan seseorang dari mereka yang berdiri di belakangnya untuk menjadi penggantinya, memajukkannya ke depan mereka dan menjadikannya sebagai imam menggantikan dirinya. Tetapi boleh pula imam tidak mencari penggantinya, di mana sang imam hanya pergi dari shalatnya untuk menghilangkan penghalang yang menghalangi dirinya dari meneruskan shalat, kemudian dia kembali untuk mengimami mereka, seperti ingat bahwa dia dalam keadaan junub, atau belum berwudhu, atau pada pakaiannya ada najis, dengan catatan, perginya untuk menghilangkan penghalang tersebut tidak memerlukan waktu lama yang bisa menyusahkan jamaah shalatnya.

Dari Abu Bakrah ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. memulai shalatnya dan bertakbir, kemudian beliau memberi isyarat pada mereka untuk tetap di tempat mereka. Beliau masuk rumah, lalu keluar lagi, dan kepalanya meneteskan air. Beliau Saw. (melanjutkan) shalat mengimami mereka. Ketika telah menyelesaikan shalatnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku ini manusia, dan tadi aku dalam keadaan junub.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits serupa.

Rasulullah Saw. ketika ingat bahwa beliau berjunub -padahal beliau sedang shalat, tetapi beliau tidak meminta seseorang menjadi penggantinya-, maka beliau cepat pergi untuk menghilangkan penghalang yakni dengan mandi junub, kemudian kembali lagi dan melanjutkan mengimami orang-orang.

Adapun dalil bolehnya menjadikan seseorang sebagai pengganti adalah hadits yang diriwayatkan Abu Razin, ia berkata:

“Ali mengimami kami lalu dia (mengalami) mimisan, maka beliau menarik seseorang dan menjadikannya berdiri di depan, sedangkan dia sendiri mundur ke belakang.” (Riwayat Abdurrazaq dan Said bin Manshur)

Tindakan ini, walaupun berasal dari seorang sahabat, tetapi ini terjadi di depan pandangan dan pendengaran para sahabat lainnya, dan mereka tidak mengingkarinya, sehingga hal itu menjadi dalil sahnya mengangkat seorang pengganti.

Imam yang Dibenci oleh Makmum yang Shalat

Kepemimpinan imam yang dibenci oleh jamaah shalatnya adalah bathil dan tidak boleh baginya, tetapi melakukan shalat di belakangnya itu boleh dan sah. Dari Abu Umamah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tiga golongan di mana shalat mereka tidak melampaui telinga-telinga mereka: hamba (budak) yang kabur hingga dia kembali, perempuan yang tidur sedangkan suaminya dalam keadaan marah padanya, dan imam satu kaum dan mereka benci kepadanya.” (HR. Tirmidzi)

Dari Ibnu Abbas ra. dari Rasulullah Saw., dia berkata:

“Tiga perkara di mana shalat mereka tidak terangkat ke atas kepala mereka sejengkalpun: seorang laki-laki yang mengimami satu kaum dan mereka benci kepadanya, perempuan yang tidur sedangkan suami dalam keadaan marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan (persaudaraan)? (HR. Ibnu Majah)

Barangsiapa yang shalatnya tidak bisa melewati telinganya, dan tidak terangkat ke atas kepalanya, maka jelas bahwa shalatnya adalah bathil, bukan sekedar makruh. Keharaman ini telah dinyatakan sejumlah ahli fikih. Yang dimaksud dengan bencinya para jamaah shalat pada imam ini adalah ketidaksukaan sebagian besar dari mereka. Karena itu, kepemimpinan imam tidak bermasalah jika dia hanya dibenci oleh dua orang atau tiga orang saja dari jamaahnya. Kebencian di sini dilihat dari sisi banyaknya.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam