Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 09 Juli 2017

Dalil Ruku': Bentuknya Dan Dzikir Di Dalamnya



Ruku' adalah membungkukkan punggung dan memposisikan kepala sejajar dengan tanah dengan kedudukan yang telah dimaklumi, di mana kepala berada lurus sejajar dengan punggung tanpa naik lebih tinggi atau turun lebih rendah. Apabila si mushalli melakukan ruku’, maka dia merenggangkan kedua tangannya dari sisinya dan merenggangkan jari-jarinya seraya menggenggamkan tangannya pada dua lututnya. Inilah pengertian ruku', dan ini merupakan bentuk ideal dari ruku’. Dari Sali, ia berkata:

“Kami mendatangi Abu Mas'ud, lalu kami berkata kepadanya: “Beritahukanlah kepada kami tentang shalat Rasulullah Saw.” Lalu dia berdiri di depan kami dan bertakbir, ketika ruku' dia meletakkan dua tangannya ke atas dua lututnya, dan menjadikan jari-jarinya lebih rendah dari itu, dan merenggangkan dua sikutnya hingga lurus segala sesuatu darinya. Kemudian dia mengucapkan sami 'allahu liman hamidahu, lalu dia berdiri hingga lurus segala sesuatu darinya.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Khuzaimah)

Dari Abu Humaid al-Sa'idi ra., ia berkata:

“Adalah Nabi Saw. jika ruku' beliau melakukannya dengan lurus, di mana beliau tidak mendongakkan kepalanya dan juga tidak menundukkannya, dan meletakkan dua tangannya di atas dua lututnya.” (HR. an-Nasai)

Ucapan i'tadala (melakukannya dengan lurus) artinya berada dalam pertengahan, antara posisi mengangkat dan menundukkan, dan ucapan: beliau tidak mendongakkan kepalanya dan juga tidak menundukkannya artinya beliau Saw. tidak mengangkatnya dan tidak menundukkannya, sehingga kepalanya itu berposisi sejajar dengan punggungnya. Abu Barazah al-Aslami ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika melakukan ruku', seandainya dituangkan air di atasnya niscaya air itu akan diam (dengan tetap).” (HR. Thabrani)

Dari Ali ra. ia berkata:

“Adalah Rasulullah Saw. jika melakukan ruku', seandainya diletakkan gelas berisi air di atasnya niscaya tidak akan tumpah.” (HR. Ahmad)

Dari Abu Humaid al-Sa’idi ra. ia berkata:

“Aku adalah orang yang paling hafal tentang shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Aku melihatnya, jika bertakbir beliau menjadikan kedua tangannya di depan dua bahunya, dan jika melakukan ruku' beliau menetapkan dua tangannya dari dua lututnya, kemudian membungkukkan punggungnya...” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Abu Humaid al-Sa’idi ia berkata:

“Aku adalah orang yang paling mengetahui shalat Rasulullah Saw. di antara kalian. Sesungguhnya Nabi Saw. berdiri, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya, kemudian mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir untuk ruku', lalu ruku' dan meletakkan dua tangannya di atas dua lututnya seperti menggenggamkannya. Setelah itu beliau Saw. mengencangkan pegangan keduanya dan memiringkannya dari dua sisi tubuhnya, dan beliau tidak mendongakkan kepalanya dan juga tidak merundukkannya...” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Wail ra.:

“Bahwa Nabi Saw. jika melakukan ruku' beliau Saw. merenggangkan jari-jarinya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Ruku’ adalah satu kewajiban dan rukun. Shalat menjadi tidak sah tanpa ruku', sehingga barangsiapa shalat dan tidak ber-ruku' dengan cara membungkukkan punggungnya dan menggenggamkan dua tangannya di atas dua lututnya, maka tidak ada shalat baginya. Dari Zaid bin Wahab, ia berkata:

“Hudzaifah melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujud, ia berkata: “Engkau tidak shalat, kalaupun engkau mati, maka engkau mati tidak dalam fitrah yang ditetapkan Allah Swt. pada diri Muhammad Saw.” (Riwayat Bukhari)

Ahmad meriwayatkannya dengan redaksi kalimat sedikit berbeda.

Allah ‘azza wa jalla telah menyeru manusia untuk melakukan shalat. Dia Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (TQS. al-Hajj [22]: 77)

Allah Swt. tidak memilih ruku’ dan sujud dari berbagai perbuatan shalat, tidak lain untuk menunjukkan bahwa keduanya adalah dua rukun dari rukun-rukun shalat. Tidak ada shalat tanpa keduanya.

Membungkukkan punggung dan memposisikannya secara lurus saja tidak cukup, tetapi harus disertai thuma'ninah juga. Thuma’ninah bisa diwujudkan minimal dengan mendiamkan gerakannya ketika dia ber-ruku’. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya, dan di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah berkata pada orang yang buruk shalatnya itu:

“…Kemudian ruku’lah hingga kamu thuma'ninah dalam ber-ruku'…” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Dari Ibnu abbas ra., ia berkata:

“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw. tentang perkara shalat, maka Rasulullah Saw. berkata kepadanya: “Susup-susupkanlah jari-jari pada dua tanganmu dan dua kakimu, yakni menyempurnakan wudhu.” Dan di antara yang beliau katakan kepadanya: “Jika engkau ruku' maka tempatkanlah dua tanganmu di atas dua lututmu hingga kamu thuma'ninah.” Dalam satu riwayat: “hingga keduanya thuma'ninah. “Dan jika engkau sujud maka lekatkanlah dahimu di atas tanah hingga kamu benar-benar mendapati permukaan tanah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Perlu diperhatikan bahwa merapatkan (tathbiq) dalam ruku' itu pernah dilakukan, kemudian dinasakh. Maksud merapatkan di sini adalah melekatkan dua telapak tangan satu sama lain ketika ruku' dan menjadikan keduanya antara dua paha. Dari Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:

“Rasulullah Saw. mengajarkan shalat kepada kami, lalu beliau Saw. bertakbir dan mengangkat keduanya, kemudian ruku, dan merapatkan dua tangannya dan menjadikannya di antara dua lututnya. Hal itu sampai kepada Sa'ad, maka ia berkata: “Saudaraku benar, kami pernah melakukan hal itu, kemudian kami diperintahkan melakukan seperti ini. Dan ia memegang dua lututnya.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Abi Syaibah)

Dari Mush’ab bin Saad, ia berkata:

“Aku shalat di samping ayahku, lalu aku melekatkan di antara dua telapak tanganku, kemudian aku meletakkannya di antara dua pahaku. Maka ayahku melarangku dari (tindakan) itu, dan berkata: “Kami pernah melakukan hal itu, kemudian kami dilarang, dan kami diperintahkan untuk meletakkan dua tangan kami di atas lutut-lutut kami.” (HR. Bukhari)

Muslim, an-Nasai, dan ad-Darimi meriwayatkan hadits ini dengan redaksi kalimat yang berbeda. Mush’ab bin Saad adalah anak Saad bin Abi Waqash ra.

Di dalam ruku' disunahkan untuk mengagungkan Allah ‘azza wa jalla. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dari Nabi Saw.:

“…Ingatlah, sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur'an ketika ruku' atau sujud. Adapun ruku', maka agungkanlah Allah di dalamnya, sedangkan sujud maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Doa itu sangat dekat diijabahnya bagi kalian.” (HR. Muslim)

Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadits yang hampir sama.

Di dalam sejumlah hadits telah disebutkan beberapa bentuk doa dalam ruku', yang paling masyhur dan utama adalah: “subhaana rabbiyal adzim (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung)” tiga kali, sehingga disunatkan untuk mengambilnya, dan lebih mengutamakannya dari doa-doa selainnya. Namun, ini tidak menghalangi untuk membaca doa selainnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra., ia berkata:
“Ketika turun ayat: fasabbih bismi rabbikal adzim, Rasulullah Saw. berkata kepada kami: “Jadikanlah kalimat ini bacaan dalam ruku'-ruku’ kalian.” Dan ketika turun ayat: sabbihisma rabbikal a'la, beliau Saw. berkata: “Jadikanlah ini bacaan dalam sujud kalian.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Abu Bakrah ra. meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah Saw. bertasbih dalam ruku'nya: subhaana rabbiyal adzimi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) tiga kali, dan dalam sujudnya: subhaana rabbiyal a'la (Maha Suci Tuhanku yang Maha Luhur).” (HR. al-Bazzar)

Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra.:

“Bahwa dia mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan tasbih ketika ruku’: subhaana rabbiyal adzimi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) tiga kali, dan jika sujud: subhaana rabbiyal a’la (Maha Suci Tuhanku yang Maha Luhur) tiga kali.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, an-Nasai dan at-Thayalisi)

Bentuk tasbih: subhaana rabbiyal adzimi wa bi hamdihi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya) diriwayatkan dalam hadits-hadits yang dhaif, sehingga harus ditinggalkan, dan kita menetapi bentuk yang terbukti pasti dan baku: subhaana rabbi yal adzimi (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) yang diucapkan tiga kali seperti ini: “subhaana rabbiyal adzimi, subhaana rabbiyal adzimi, subhaana rabbiyal adzimi”. Saya memprioritaskan bentuk tasbih ini dibanding yang lain, yang akan saya sebutkan sebentar lagi, karena bentuk tasbih yang satu ini telah diperintahkan Rasulullah Saw. untuk kita lafalkan dalam ruku'. Sedangkan dzikir-dzikir yang lain hanya disebutkan berasal dari perbuatan beliau Saw. Bentuk-bentuk tasbih yang lain tersebut adalah:

a. Maha Suci dan Maha Qudus Tuhan sekalian malaikat dan ruh.

b. Maha Suci Tuhan yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan.

c. Ya Allah, kepada-Mu aku ber-ruku’, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Engkaulah Tuhanku, di mana pendengaranku, penglihatanku, sungsumku, tulangku, syarafku, dan segala yang ditopang oleh kakiku ini tunduk kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

a. Dari Aisyah ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah Saw. mengucapkan dalam ruku'nya: Maha Suci dan Maha Qudus, Tuhan sekalian malaikat dan ruh.” (HR. an-Nasai)

Ahmad, Ibnu Hibban, Muslim, Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Beliau mengucapkan dalam ruku' dan sujudnya:…”

Subbuhun qudduusun, yang paling terkenal adalah dengan mendhommahkan huruf-huruf awalnya, bisa juga dengan memfathahkannya, tetapi ini kurang terkenal.

b. Dari Auf bin Malik ra., ia berkata:
“Aku berdiri shalat malam bersama Rasulullah Saw. Ketika ruku' beliau diam lama, sebanding dengan membaca surat al-Baqarah. Dalam ruku'nya beliau Saw. mengucapkan: Maha Suci Tuhan yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. an-Nasai)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Aku berdiri shalat malam bersama Rasulullah Saw., lalu beliau Saw. membaca surat al-Baqarah. Beliau Saw. tidak melewati satu ayat terkait rahmat kecuali beliau berhenti, seraya berdoa memintanya. Dan beliau Saw. tidak melewati satu ayat tentang adzab kecuali beliau berhenti, seraya meminta perlindungan dari-Nya. Dia berkata: Kemudian beliau ruku', yang lamanya hampir sama dengan lama berdirinya. Dan dalam ruku’nya beliau mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan. Kemudian bersujud, yang sama (lamanya) dengan berdirinya, lalu beliau mengucapkan dalam sujudnya semisal itu. Setelah itu berdiri, lalu membaca surat Ali Imran, kemudian membaca satu surat-surat.”

c. Dari Ali bin Abi Thalib ra.:

“Bahwa Nabi Saw. jika ruku' beliau mengucapkan: “Ya Allah, kepada-Mu aku ber-ruku’, kepada-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Engkaulah Tuhanku, di mana pendengaranku, penglihatanku, sungsumku, tulangku, syarafku, dan segala yang ditopang oleh kakiku ini, seluruhnya tunduk kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)

Inilah doa-doa yang diucapkan dalam ruku'. Seperti yang sudah saya katakan, bahwa yang pertama dan paling utama adalah: “subhaana rabbiyal 'adzimi” tiga kali, kemudian tidak ada halangan untuk mengucapkan bentuk dzikir yang lain dari tiga bentuk ini setelahnya, karena tidak terlarang untuk menghimpun dua dzikir atau lebih dalam satu ruku'.

Muslim telah meriwayatkan dari jalur Aisyah, Ummul Mukminin ra.:
“Adalah Rasulullah Saw. memperbanyak mengucapkan dalam ruku' dan sujudnya: subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika, allahummaghfirli (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan pujian bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).”

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Adalah Nabi Saw. mengucapkan dalam ruku’ dan sujudnya: subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika, allahummaghfirli (Maha Suci Engkau yaAIIah, Tuhan kami dan pujian bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).”

Kita kembali pada tasbihat yang ma'tsur. Kami nyatakan: bilangan tasbihati dalam satu ruku’, itu tidak kurang dari tiga kali, dan ini adalah pelaksanaan minimal. Jika diucapkan satu atau dua kali, juga boleh saja, dengan konsekuensi berkurangnya keutamaan karena tidak mengikuti sunnah. Alasannya karena tidak diketahui Rasulullah mengucapkan tasbih hanya satu atau dua kali, dan tidak ada batasan maksimal, terutama jika diucapkan oleh mushalli yang munfarid.

Imam bertasbih dengan ukuran yang tidak memberatkan para makmum. Jika harus ditentukan batasannya, maka saya berpendapat agar imam itu bertasbih tujuh kali, agar bisa memberi kesempatan kepada para makmum untuk bertasbih sebanyak tiga kali tanpa perlu tergesa-gesa. Terlebih lagi bahwa di antara mereka ada orang yang lambat, masbuq, dan sakit, sehingga bersikap lembut kepada mereka sangat disunahkan. Ini pendapat saya terkait jumlah terpilih yang harus diucapkan oleh imam, dan kalaupun harus menambah, hendaknya imam mengucapkan tidak lebih dari sepuluh kali tasbih. Dari Said bin Jubair dari Anas bin Malik ra., ia berkata:

“Aku belum pernah melihat seseorang yang shalatnya paling mirip dengan shalat Rasulullah Saw. selain anak ini -yakni Umar bin Abdul Aziz-. Dia berkata: maka kami memperkirakan dalam ruku'nya dia membaca sekitar sepuluh tasbih, dan dalam sujudnya sepuluh tasbih.” (HR. Ahmad)

Abu Dawud meriwayatkan hadits yang hampir sama. Rasulullah Saw. telah melarang kita dari membaca al-Qur'an pada saat ruku’. Dari Ali ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. melarang dari memakai al-qassiyi (pakaian bergaris sutera), dari memakai cincin emas, dan dari membaca al-Qur’an pada saat ruku.” (HR. Malik)

Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarangku membaca al-Qur'an ketika aku ruku' atau (ketika) aku sujud.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi Saw.:

“Ingatlah, sesungguhnya aku dilarang membaca al-Qur'an ketika ruku’ atau sujud. Adapun ruku, maka agungkanlah Allah di dalamnya, (ketika) sujud maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa itu sangat dekat diijabahnya bagi kalian.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

Tirmidzi berkata: ini adalah pendapat ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi Saw. dan orang-orang setelah mereka, di mana mereka memakruhkan membaca al-Qur’an pada saat ruku' dan sujud.

Bacaan: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam