Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 24 Juli 2017

Dalil Hukum Fardhu Kifayah Dua Shalat ‘Id



1. Dua Shalat ‘Id Hukum dan Waktunya

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama seputar hukum shalat ‘Idain (dua hari raya). Di antara mereka ada yang menghukuminya sebagai wajib ‘ain, ada yang memandangnya sunah mu'akkadah, dan ada juga yang memandangnya sebagai fardhu kifayah, dan inilah yang benar. Ini karena terdapat beberapa alasan yang akan kami jelaskan berikut ini:

1) Shalat ‘Idain (dua hari raya) merupakan sebagian dari syiar-syiar dan panji-panji Islam. Sedangkan syiar-syiar dan panji-panji Islam tidak mungkin dibangun di atas perkara-perkara yang mandub alias sunat, yang boleh dilakukan dan boleh pula ditinggalkan. Hal ini tidak tegak kecuali dengan memandang penting syiar-syiar ini. Syiar-syiar tersebut menjadi sebagian dari kewajiban-kewajiban agama, dan terkait dengan syiar yang satu ini -yakni shalat dua hari raya- maka Islam telah menetapkan beberapa ritual yang harus dilakukan hingga syiar-syiar ini dapat terlaksana. Di dalam (ibadah) haji banyak terdapat ritual, di antaranya adalah memotong hewan kurban pada hari raya. Ritual ini, yakni memotong hewan kurban, pelaksanaannya dikaitkan dengan pelaksanaan syiar shalat ‘Id, sehingga tidak mungkin hukum shalat hari raya itu mandub, yaitu ada peluang untuk dilakukan atau ditinggalkan, sehingga dengan meninggalkannya maka ritual-ritual haji akan terabaikan. Dari al-Barra bin ‘Azib ra., ia berkata:

“Nabi Saw. berkhutbah pada hari raya kurban setelah shalat. Beliau Saw. bersabda: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat kami ini, dan melakukan ritual kurban seperti kami, maka ritualnya itu telah benar. Barangsiapa yang melakukan ritual kurban sebelum shalat maka sesungguhnya itu hanya dipandang sebagai penyembelihan biasa sebelum shalat, dan tidak dipandang ada nilai ritual kurban di dalamnya…” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur yang sama:

“Sesungguhnya perkara yang mula-mula kami lakukan pada hari ini adalah melaksanakan shalat, kemudian kami pulang, lalu kami memotong hewan kurban. Maka barangsiapa yang melakukan hal seperti itu dia telah sesuai dengan sunat kami, dan barangsiapa memotong hewan sebelum shalat maka ia menjadi daging yang dia berikan untuk keluarganya dan tidak ada nilai kurban sedikitpun di dalamnya…”

Allah Swt. berfirman:

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (TQS. ali Kautsar [108]: 2)

2) Sesungguhnya syariat telah mewajibkan beberapa kefardhuan dan menjadikan pelaksanaanya sebagai satu kewajiban yang harus dilaksanakan. Syariat menjadikan kefardhuan itu lebih tinggi daripada hal-hal yang mandub (disunahkan). Jika syariat memerintahkan salah satu dari kewajiban ini, kemudian kita melihat bahwa kewajiban tersebut bisa diganti dengan perbuatan yang lain, maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan yang lain tersebut merupakan satu kewajiban juga. Jika perbuatan yang lain tersebut bukan satu kewajiban, tidak mungkin dia bisa mengganti kewajiban yang pertama, karena sesuatu yang mandub itu kedudukannya di bawah yang fardhu, dan tidak mungkin sesuatu yang mandub menggantikan posisi yang fardhu dan bisa menggesernya, dan tidak mungkin sesuatu yang fardhu itu diganti kecuali oleh sesuatu yang fardhu juga.
Kaidah ini mudah untuk dipahami dan diterima. Syariat telah memfardhukan shalat dhuhur, lalu kita melihat syariat juga memerintahkan dilaksanakannya shalat Jum’at pada hari Jum’at sebagai pengganti shalat dhuhur, maka kita bisa memahami bahwa shalat Jum’at itu fardhu. Jika bukan fardhu, tidak mungkin shalat Jum’at bisa mengganti posisi shalat dhuhur pada hari Jum’at.
Berdasarkan hal itu kita bisa memahami bahwa shalat Jum’at itu fardhu, jika bukan fardhu, tidak mungkin shalat Jum’at bisa menggeser shalat dhuhur yang difardhukan.
Lalu kita melihat bahwa syariat memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat dua hari raya pada hari Jum’at, di mana shalat dua hari raya pada hari Jum’at bisa menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Dengan kata lain, orang yang shalat dua hari raya pada hari Jum’at, maka telah gugur kewajiban shalat Jum’at darinya. Sehingga bisa dipahami bahwa shalat dua hari raya seandainya bukan sesuatu yang difardhukan tidak mungkin bisa mengganti posisi shalat Jum’at, dan tidak mungkin bisa menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Apakah shalat yang mandub bisa menggugurkan kewajiban shalat fardhu? Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata:

“Aku menyaksikan Ibnu Zubair di Makkah, sedangkan kedudukannya sebagai amir. Lalu saat itu hari raya 'Idul Fitri atau Adha, bertepatan dengan hari Jum'at. Maka dia mengakhirkan keluar hingga hari sedikit tinggi. Dia keluar dan naik mimbar, seraya berkhutbah dan memanjangkan khutbahnya, lalu dia shalat dua rakaat, dan tidak shalat Jum'at. Namun orang-orang dari Bani Umayyah bin Abdi Syams mencelanya, dan hal itu sampai kepada Ibnu Abbas. Kemudian ia berkata: “Ibnu Zubair telah melakukan sesuatu sesuai dengan sunnah.” Dan perkataan itu sampai kepada Ibnu Zubair; lalu ia berkata: “Aku melihat Umar bin Khaththab ra., jika berkumpul dua hari raya maka dia melakukan hal serupa dengan ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan an-Nasai)

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini tanpa ada ucapan di akhir hadits: “dan sampailah ucapan itu pada Ibnu Zubair...”

Dari Iyas bin Abi Ramalah as-Syamiy, ia berkata:

“Aku mendengar seseorang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah engkau pernah menyaksikan dua hari raya dalam satu hari bersama Rasulullah?” Ia berkata: “Ya.” Ia berkata: “Apa yang dilakukan Rasulullah?” Ia berkata: “Beliau shalat hari raya, kemudian memberikan keringanan (untuk tidak shalat Jum'at) pada hari Jum'at, kemudian bersabda:

“Barangsiapa yang mau shalat (Jum'at) maka shalatlah.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ahmad)

Dari Ibnu Abbas ra. dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. bersabda:

“Dua hari raya telah berkumpul pada hari kalian ini. Barangsiapa yang mau maka (shalat 'Id) telah cukup baginya dari shalat Jum'at, dan sesungguhnya kami insya Allah akan tetap melaksanakan shalat Jumat.” (HR. Ibnu Majah)

Ibnu Majah, Abu Dawud dan al-Hakim meriwayatkan juga hadits ini dari jalur Abu Hurairah. Dilalah nash-nash ini begitu jelas.

3) Sesungguhnya syariat tidak akan mewajibkan kepada kaum wanita untuk keluar dari rumah-rumah mereka untuk melaksanakan shalat-shalat fardhu, dan akan mendorong mereka untuk melaksanakan shalat-shalat ini di rumah-rumah mereka. Ini diterapkan pada shalat fardhu yang lima, sebagaimana juga pada shalat Jum’at, maka kaum wanita melaksanakan shalat-shalat fardhu di rumah-rumah mereka itu lebih utama daripada melaksanakannya di masjid-masjid. Ini adalah hukum yang bersifat umum yang tidak bisa dilanggar kecuali khusus terkait shalat hari raya saja.
Kita mendapati bahwa syariat telah memerintahkan, mendorong dan sangat menganjurkan agar kaum wanita keluar dari rumah-rumah mereka untuk melaksanakan shalat hari raya. Begitu besar dorongan dari syariat hingga syariat tidak mengecualikan seorangpun dari kalangan wanita. Syariat telah memerintahkan kaum wanita, besar maupun kecil, hingga orang yang haid di antara mereka, dan hingga orang yang tidak memiliki jilbab sekalipun, untuk keluar pada hari raya dan meminjam jilbab dari perempuan yang lain. Lalu, petunjuk apa terhadap fenomena ini? Apakah dengan dimintanya kaum wanita untuk tidak shalat fardhu dan shalat Jum'at di masjid, dan mereka dianjurkan melaksanakan shalat-shalat tersebut di rumah mereka, kemudian -di saat lain- kita mendapati bahwa mereka diminta keluar dari rumah mereka untuk melaksanakan shalat hari raya, lalu kita tetap berpandangan bahwa shalat dua hari raya itu sesuatu yang mandub atau sunah saja? Sesungguhnya pandangan seperti ini jauh dari kebenaran. Tidak bisa tergambarkan bagaimana syariat bisa memerintahkan agar kaum wanita melaksanakan shalat-shalat fardhu di rumah-rumah, kemudian syariat memerintahkan mereka keluar rumah melaksanakan sesuatu yang mandub. Semua itu menunjukkan bahwa shalat dua hari raya adalah suatu kefardhuan atau kewajiban [kifayah]. Dari Ummu Athiyah ra., ia berkata:

“Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, hingga kami mengeluarkan para gadis dari tempat pingitannya, mengeluarkan wanita yang sedang haid di mana mereka berada di belakang orang-orang. Lalu kami bertakbir bersama takbir kaum mereka (kaum Muslim), dan berdoa dengan doa mereka, mengharap barakah dan kesucian hari itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang kedua yang diriwayatkan Bukhari dari Ummu Athiyah, ia berkata:

“Kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wantia muda dan gadis-gadis pingitan.”

Bukhari meriwayatkan hadits semisal dari Hafshah ra., dan ia menambahkan:

“Dia berkata: “Wanita-wanita muda dan gadis-gadis pingitan, dan wanita-wanita yang sedang haid menjauhi tempat shalat'”

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim lainnya dari jalur Ummu Athiyah, ia berkata:

“Kami diperintah untuk keluar (rumah), lalu kami mengeluarkan para wanita yang sedang haid, gadis-gadis muda, gadis-gadis pingitan. Ibnu Aun berkata: atau gadis-gadis muda, yakni gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, maka mereka menyaksikan jamaah kaum Muslim dan doa-doa mereka, dan wanita-wanita yang sedang haid ini menjauhi tempat shalat mereka.”

Dari Ummu Athiyah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. memerintahkan agar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha kami mengeluarkan (dari rumah) wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Untuk wanita-wanita yang sedang haid maka mereka tidak mengerjakan shalat, (cukup) menyaksikan kebaikan dan doa kaum Muslim. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Beliau berkata:

”Hendaklah saudarinya memakaikan (meminjamkan) jilbab untuknya.” (HR. Muslim dan Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Perkataan beliau al-awatiq maksudnya adalah wanita muda yang masih kecil yang baru haid, dan ucapannya dzawatul khudur: yakni wanita-wanita yang ditutupi yang tidak menampakkan dirinya alias sedang dipingit, biasanya tidak pernah meninggalkan rumahnya kecuali karena ada keperluan atau sesuatu yang sangat penting.

Shalat dua hari raya itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Ini karena dalam shalat dua hari raya tidak ada kumandang adzan dan iqamat. Sehingga shalat ini bisa saja terlaksana, tapi banyak orang yang terlalaikan karena tidak ada orang yang memanggil mereka dengan kumandang adzan dan iqamat. Seandainya shalat ini diwajibkan pada semua orang, niscaya di dalamnya disyariatkan kumandang adzan dan iqamat untuk mengumpulkan manusia dalam melaksanakan shalat ini. Dari Jabir bin Samurah ra. ia berkata:

“Aku shalat dua hari raya bersama Rasulullah Saw. bukan satu atau dua kali, tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)

Dari Atha, ia berkata Jabir bin Abdullah al-Anshari telah mengabarkan kepadaku:

“Bahwa tidak adzan untuk shalat pada hari raya Idul Fitri ketika imam keluar atau setelah dia keluar, dan tidak ada iqamat atau seruan atau sesuatupun. Pada hari itu tidak ada adzan dan tidak pula iqamat.” (HR. Muslim)

Dalam hadits kedua yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai dari jalur Jabir bin Abdullah disebutkan:

“Dia berkata: aku menyaksikan hari raya bersama Rasulullah saw. Beliau Saw. memulainya dengan shalat sebelum berkhutbah tanpa adzan dan iqamat...”

Seandainya shalat dua hari raya ini hukumnya fardhu ‘ain, niscaya akan dikumandangkan adzan atau iqamat di dalamnya, hingga tidak ada yang tertinggal seorangpun.

Adapun waktu shalat ‘Id adalah seperti waktu dhuha, dimulai ketika matahari mulai tinggi dan berwarna putih, dan terus berlangsung hingga matahari mulai tergelincir, yakni ketika matahari berada di tengah-tengah langit pada siang hari. Dari Yazid bin Khumair al-Rahabiy dia berkata:

“Abdullah bin Busr salah seorang sahabat Rasulullah Saw. keluar bersama orang-orang pada hari Idul Fitri atau Idul Adha. Dia mengingkari berlambat-lambatnya imam, seraya berkata: “Sesungguhnya kami telah menggunakan waktu ini (untuk shalat 'Id), dan itu dilakukan ketika tiba waktu tasbih.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Ketika waktu tasbih: yakni ketika berakhirnya waktu yang dimakruhkan melakukan shalat, dan dimulainya waktu jawaz untuk shalat, seperti dhuha dan shalat sunat muthlaq. Dengan kata lain kami katakan bahwa waktu shalat dua hari raya dimulai ketika matahari meninggi dan berubah warnanya menjadi putih di awal hari, dan terus berlangsung waktu jawaznya hingga pertengahan hari.
Jika shalat dua hari raya belum dilaksanakan pada waktu tersebut karena sebab yang lain, maka shalat dua hari raya bisa dilaksanakan pada saat yang sama keesokan harinya, dan tidak sah dilaksanakan setelah lewat tengah hari. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Umair bin Anas, dari salah seorang pamannya yang berasal dari kalangan sahabat Nabi Saw.:

“Sejumlah penunggang kuda datang menemui Nabi, dan mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal pada hari kemarin. Lalu Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk berbuka, dan pada keesokan harinya mereka berangkat ke mushalla (tempat pelaksanaan shalat Ied).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan kalimat:

“Sesungguhnya sekelompok orang telah melihat hilal, lalu mereka mendatangi Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk berbuka setelah hari mulai tinggi, dan memerintahkan mereka keluar untuk shalat Ied pada keesokan harinya.”

Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits ini dengan kalimat:

“Kami tidak bisa melihat hilal Syawal karena tertutup awan, sehingga besoknya kami tetap berpuasa. Lalu datang sekelompok penunggang kuda di penghujung hari, dan mereka bersaksi di hadapan Nabi Saw. bahwa mereka melihat hilal hari kemarin. Maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk berbuka, dan keluar untuk melaksanakan shalat Ied pada keesokan harinya.”

Seandainya shalat ‘Ied itu boleh dilakukan setelah pertengahan hari, niscaya Rasulullah Saw. akan melaksanakannya ketika hilal Syawal tidak terlihat oleh mereka dan kemudian mengetahuinya dari para penunggang kuda pada keesokan harinya ketika mulai berbuka, bersamaan dengan datangnya penunggang kuda. Kalimat: “setelah hari mulai tinggi”, “datanglah penunggang kuda di penghujung hari”, disampaikannya kabar hilal tersebut terjadi dalam tenggat waktu antara pertengahan hari dan penghujungnya tetapi matahari belum terbenam. Namun, Rasulullah Saw. menunda pelaksanaan shalat Idul Fitri hingga pagi hari berikutnya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam