Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 28 Juli 2017

Dalil Cara Shalat Ketika Sakit



3. Shalat Orang yang Sakit

Sakit merupakan cobaan dari Allah Swt. kepada para hamba-Nya. Dengan sakit, Allah Swt. memberi pahala bagi orang-orang yang sabar, dan menyiksa orang-orang yang durhaka. Termasuk karunia Allah Swt. kepada hamba-Nya yang sabar, bahwa dia boleh meninggalkan segala sesuatu yang (biasa dan harus dilaksanakan pada waktu sehat tetapi) terhalang oleh penyakit tersebut, di antaranya adalah shalat dalam bentuk dan tatacaranya semula, di mana apabila berdiri, ruku’, sujud dan duduk dalam shalat (dengan bentuk dan tatacara yang normal) itu terhalang oleh penyakit tersebut, maka si sakit cukup melaksanakan shalat dengan berbaring saja, atau dengan isyarat saja. Walaupun begitu dia tetap memperoleh pahala, sama seperti melaksanakan shalat dengan bentuk asalnya dalam kondisi sehat. Dari Abdullah bin Umar ra. dari Nabi Saw.:

“Tidaklah salah seorang dari manusia tertimpa cobaan (penyakit) dalam tubuhnya kecuali Allah azza wa jalla memerintahkan para malaikat yang menjaganya, di mana Dia berkata: “Tuliskanlah untuk hamba-Ku setiap hari dan setiap malam kebaikan yang biasa dilakukan selama dia dalam keadaan sakit (yang) Aku ujikan kepadanya.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Al-Watsaq di sini maksudnya adalah al-maradh (sakit).

Dari Abu Musa ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika seorang hamba tertimpa sakit atau melakukan safar, maka dituliskan baginya pahala semisal apa yang dilakukannya ketika mukim dan dalam kondisi sehat.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Abu Dawud)

Berdasarkan hal ini maka orang yang tidak sanggup melaksanakan shalat secara berdiri, atau bila shalat dengan berdiri dia akan tertimpa kesulitan, maka dia boleh shalat dengan duduk, dan jika dia merasa sakit bila sujud di atas tanah atau kesulitan melakukannya, maka dia boleh menjadikannya lebih rendah dari ruku’ tanpa perlu meletakkan bantal atau kayu agar kepalanya bisa ditempelkan di atasnya. Bahkan dalam kondisi ini, isyarat dan merendahkan sujud telah cukup baginya. Dan jika tidak sanggup duduk maka dia boleh shalat dengan berbaring pada tubuh bagian kanannya, sedangkan wajahnya menghadap kiblat. Dari Jabir ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menjenguk seseorang yang sakit, lalu beliau Saw. melihatnya shalat (sujud) di atas sebuah bantal. Maka beliau Saw. melemparkannya, dan dia (orang itu) mengambil kayu dan sujud di atasnya. Beliau Saw. melemparkannya lagi dan berkata: “Jika engkau mampu sujud di atas tanah (maka lakukanlah), jika tidak, maka cukup dengan memberikan isyarat, dan jadikanlah sujudmu lebih rendah dari ruku'mu.” (HR. al-Bazzar dan al-Baihaqi)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang mampu dari kalian untuk bersujud maka bersujudlah, dan yang tidak mampu maka janganlah dia mengangkat sesuatu ke atas dahinya sebagai alas ketika dia bersujud, akan tetapi ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya saja.” (HR. Thabrani)

Dari Imran bin Hushain ra., ia berkata:

“Aku terkena penyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi Saw. tentang shalat, maka beliau berkata: “Shalatlah engkau dengan berdiri, dan jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka dengan (berbaring) pada sisi (tubuh)nya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Tatkala kami menyatakan dia melaksanakan shalat pada sisi tubuh yang sebelah kanan, itu karena Rasulullah Saw. menyukai tayammun (memprioritaskan sebelah kanan) dalam segala perkara yang dilakukannya, dan shalat yang dilakukan pada sisi tubuh sebelah kanan itu lebih utama, walaupun shalat pada sisi tubuh sebelah kiri juga boleh-boleh saja, karena dalam teks-teks hadits tersebut tidak ada yang membatasi shalat tersebut harus dilakukan pada sisi yang sebelah kanan.

Apabila imam jamaah sedang sakit dan dia terpaksa shalat dengan duduk, maka seluruh makmum yang shalat di belakangnya harus shalat dengan duduk, serupa dengannya, walaupun mereka tidak dalam kondisi sakit. Ini merupakan kondisi khusus yang disyariatkan dalam hal bentuk shalat orang yang sakit bagi orang-orang sehat. Dari Anas bin Malik ra.:

“Bahwa Rasulullah Saw. menunggang kuda, lalu beliau Saw. terlempar dari kuda. Sisi sebelah kanannya bengkak, maka beliau melaksanakan shalat dengan cara duduk, dan kami yang ada di belakangnya (shalat) dengan cara duduk. Ketika menoleh, beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika dia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.” (HR. Bukhari, Malik, an-Nasai, Ahmad dan al-Baihaqi)

Dari Aisyah ra. ia berkata:

“Rasulullah Saw. shalat di rumahnya dan beliau dalam keadaan sakit ringan, maka beliau Saw. shalat dengan cara duduk. Orang-orang yang berada di belakangnya shalat dengan cara berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk. Usai (shalat) beliau berkata: “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika dia ruku' maka kalian harus ruku' dan jika dia bangkit maka kalian harus bangkit, dan jika dia shalat dengan cara duduk maka kalian shalat dengan cara duduk.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Untuk lebih jelasnya Anda bisa menelaah pembahasan “imam melakukan shalat dengan cara duduk” dalam bab terakhir “kepemimpinan imam dalam shalat.”

Kita kembali pada pokok pembahasan. Kami nyatakan: seandainya seseorang yang sakit memulai shalatnya dan dia sanggup serta mampu, maka dia shalat dengan berdiri. Jika kemudian dia merasa lemah untuk berdiri di tengah-tengah shalatnya untuk kedua kalinya dalam rakaat yang kedua, maka dia tinggal menambahkan pada apa yang telah dilaluinya dengan duduk pada rakaat yang berikutnya.
Dan sebaliknya, jika dia merasa memasuki shalat dalam keadaan tidak mampu lalu dia duduk pada awal shalatnya, tetapi kemudian dia mendapati dalam dirinya tekad dan kekuatan, maka dia boleh berdiri pada rakaat berikutnya. Begitu seterusnya, dia tinggal melakukan gerakan atau posisi yang bisa dilakukannya, dan apa yang tidak bisa, maka dia tinggal melakukannya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya.

Perlu diketahui bahwa ‘udzur yang membolehkan seseorang melakukan apa yang dijelaskan di atas adalah karena sakit, atau adanya kesulitan, atau ketakutan akan bahaya atau rasa takut jika sakitnya akan bertambah parah. Harus diperhatikan pula bahwa jika penyakit tersebut terkategorikan penyakit yang ringan, seperti pilek, batuk, sedikit pusing, atau sakit mata, dan sebagainya, maka seorang Muslim diperintahkan untuk melakukan shalatnya sesuai dengan bentuk asalnya secara sempurna, karena dia mampu melakukannya. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika aku memerintahkanmu satu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Orang yang terkena penyakit ringan seperti yang disebutkan di atas, tidak ragu lagi, penyakit-penyakit tersebut tidak menjadi 'udzur baginya.

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam