Hukum Isbal Kain Di Bawah Mata Kaki
HUKUM ISBAL
    Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa
 memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan 
melihatnya kelak di hari kiamat. Kemudian Abu Bakar bertanya, 
“Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali 
aku menyingsingkannya.” Rasulullah saw menjawab, “Kamu bukan termasuk 
orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali Imam
 Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidiziy tidak menyebutkan penuturan dari 
Abu Bakar.]
    Dari Ibnu ‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
“Isbal
 itu bisa terjadi pada sarung, sarung dan jubah. Siapa saja yang 
memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan 
melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, al-Nasaa`iy, dan Ibnu 
Majah]
   
 Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, 
 al-bathara, al-kibru, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni 
sombong dan takabur.
   
 Mengomentari hadits ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, 
“Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’” (karena sombong) menunjukkan bahwa 
siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur 
kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya 
saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).”
    Imam Nawawiy berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.
    Imam al-Buwaithiy dari
 al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di 
luar sholat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan.
 Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar ra.”
   
 Namun demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’ dalam hadits 
di atas bukanlah taqyiid. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal 
terlarang dan harus dijauhi. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu al-‘Arabiy berkata,
 “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata
 kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan 
isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup 
di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak 
tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. 
Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. 
Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya. 
Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan 
melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang 
melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.”
Mereka
 juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa ada 
taqyiid. Riwayat-riwayat itu diantaranya adalah sebagai berikut;
    “Angkatlah
 sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah 
hingga di atas kedua mata kakimu.  Perhatikanlah, sesungguhnya 
memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan
 Allah swt tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, al-Nasaa’iy, dan Al-Tirmidziy dari haditsnya Jabir bin Salim]
   
 “Tatkala kami bersama Rasulullah saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah 
al-Anshoriy di mana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi 
mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah saw segera menyingsingkan 
sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah 
swt. Kemudian beliau saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak 
perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah 
berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku 
melebihi mata kaki.” Rasulullah saw bersabda, “Wahai ‘Amru, sesungguhnya
 Allah swt telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai
 ‘Amru sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang yang melabuhkan 
kainnya melebihi mata kaki.” [HR.
 al-Thabarniy dari haditsnya Abu Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah. 
Dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud 
sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.
   
 Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan 
baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram.    Akan tetapi, kita 
tidak boleh mencukupkan diri dengan hadits-hadits seperti ini. Kita 
mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain 
yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas) “khuyalaa’”. Kompromi (jam’u)
 ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadits 
Rasulullah saw.  Sebab, menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa 
dianggap mengabaikan sabda Rasulullah saw. Tentunya, perbuatan semacam 
ini adalah haram.
    Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar ra (Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab,
 isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak 
karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah 
menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong
 hukumnya tidak haram.
Atas
 dasar itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan 
kesombongan. Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, 
tidaklah diharamkan.
Imam Syaukani berkata, “Oleh karena itu, sabda Rasulullah saw,” Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.”
 [HR. Abu Dawud, al-Nasaa’iy, dan Al-Tirmidziy dari haditsnya Jabir bin 
Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang 
melakukan isbal karena sombong. Hadits yang menyatakan bahwa isbal 
adalah kesombongan itu sendiri – yakni riwayat Jabir bin Salim — harus 
ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa 
ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang 
bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir 
bin Salim) harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat 
dalam shahihain …. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah 
yang menyatakan bahwa Allah swt tidak menyukai orang-orang yang sombong 
hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan
 Ibnu ‘Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, 
membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib….”
Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyiid
 atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan 
keharaman isbal harus ditaqyiid dengan hadits-hadits yang mengandung 
redaksi “khuyalaa’. Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram.
Tidak
 boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
 tidak bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain yang datang dalam 
bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadits-hadits tersebut, sebab dan hukumnya
 adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits tersebut juga sama, 
yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas 
dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks 
hadits-hadits di atas.
Hukum Isbal Kain Di Bawah Mata Kaki - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar