Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 30 Januari 2013

Kriteria Orang Miskin yang Berhak Mendapat Zakat

Kriteria Orang Miskin yang Berhak Mendapat Zakat



KRITERIA MISKIN YANG BERHAK MENDAPATKAN ZAKAT

    Para 'ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria miskin. Sebagian 'ulama menyatakan bahwa miskin itu lebih berat dibandingkan dengan faqir, Ini adalah pendapat dari 'ulama Baghdad, dan Imam Malik. Ada juga yang menyatakan faqir itu lebih berat dibandingkan miskin. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi'iy dalam sebuah qaulnya. Namun ada sebagian 'ulama yang menyamakan istilah ini. Ini adalah pendapat Ibnu al-Qasim. [lihat Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, bab Zakat]

Namun pendapat yang lebih tepat adalah, faqir itu lebih berat daripada miskin. Sebab Allah swt telah menyatakan faqir lebih dahulu dibandingkan miskin. Berarti faqir itu lebih berat dibandingkan miskin. [Al-Sa'diy, Taisiir al-Kariim al-Rahmaan fi Tafsiir Kalaam al-Manan, juz III, hal.252]

Oleh karena itu faqir didefinisikan orang yang tidak memiliki apa-apa (untuk memenuhi kebutuhannya), atau memilikii sesuatu akan tetapi tidak sampai 1/2 dari nishab. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta 1/2 nishab atau lebih akan tetapi tidak sampai sempurna senishab.

Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa yang disebut kaya adalah orang memiliki harta sebanyak senishab. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw kepada Mu'adz ra, "maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka."

    Mahasiswa ataupun pelajar yang mendapatkan bantuan berupa harta (uang) dari orang tuanya, akan tetapi, selama harta itu belum mencukupi kebutuhannya, atau belum sampai senishab maka dirinya termasuk orang yang miskin [lihat batasan di atasnya]. Ukuran untuk menetapkan layak atau tidaknya seseorang menerima zakat, atau miskin, bukan diukur dengan "ia didonasi atau tidak oleh orang tuanya".

    Orang tua wajib menafkahi anak perempuannya sampai anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang lain. Sebab, kewajiban untuk memberi nafkah adalah tanggungjawab pihak laki-laki (bapak, atau kerabat laki-laki yang dekat). Alasan lain adalah, hukum bekerja hanya wajib bagi laki-laki yang memiliki kemampuan. Sedangkan bekerja bagi perempuan hukumnya mubah. [lihat di Muqaddimah Dustur, bab Nidzam al-Iqtishaad, pada pasal, persoalan ekonomi]. Walhasil, anak perempuan nafkahnya ditanggung oleh orang tua laki-laki. Jika orangtua tidak mampu, maka kerabatnya yang akan menanggung. Jika kerabatnya tidak mampu maka negara. Jika negara tidak mampu maka seluruh kaum muslim wajib untuk membantu nafkahnya. Ini dengan catatan jika wanita itu belum menikah. Jika ia sudah menikah maka kewajiban memberi nafkah jatuh kepada pihak suami.

    Nafkah kepada laki-laki hanya diberikan orangtua, hingga dirinya akil baligh. Jika ia sudah mencapai akil baligh maka orang tua tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada anak laki-lakinya. Kecuali dalam kondisi anak laki-laki itu tidak mampu bekerja, karena cacat, atau dirinya sudah bekerja akan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

    Gharim (orang berhutang yang tidak mampu bayar) ada dua model: (1) Gharim karena mendamaikan dua orang yang bersengketa dengan hartanya. Ini diakibatkan karena, sebegitu sibuknya ia mengurusi dua orang yang bersengketa itu, sampai akhirnya ia berhutang. Namun, ia tidak mampu membayar hutangnya. Gharim semacam ini lebih berhak untuk mendapat zakat. Kedua, gharim karena dirinya sendiri. Ia berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain. Ia akan diberi zakat sebatas utangnya. [Al-Sa'diy, Taisiir al-Kariim al-Rahmaan fi Tafsiir Kalaam al-Manan, juz III, hal.253]

    Menurut fuqaha', ibnu sabil adalah orang yang bepergian jauh dalam urusan ketaatan (bukan dalam urusan maksiyat), kemudian ia kehabisan bekal dan tidak memperoleh nafkah hidup. [Bidayat al-Mujtahid, Ibnu Rusyd].

    Ada juga sebagian besar fuqaha' yang berpendapat bahwa orang yang sedang menuntut ilmu kemudian ia kehabisan bekal, maka orang semacam ini berhak mendapatkan zakat. Sebab, menurut mereka menuntut ilmu termasuk aktivitas di jalan Allah (fi sabilillah). Dan ini telah ditetapkan dalam surat taubah:60.  [Al-Sa'diy, Taisiir al-Kariim al-Rahmaan fi Tafsiir Kalaam al-Manan, juz III, hal.253]

Kriteria Orang Miskin yang Berhak Mendapat Zakat - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam