SYARAT WAJIB PUASA
    Puasa
 diwajibkan bagi orang; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Suci 
dari haidh dan nifas (bagi wanita), (5) Muqim, dan tidak sedang safar, 
(6) Sanggup berpuasa.
    Pertama, orang
 kafir tidak diwajibkan berpuasa, sebab, puasa merupakan ibadah yang 
disyaratkan di dalamnya keIslaman. Apabila seorang kafir masuk Islam 
pada bulan Ramadhan, maka ia wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Jika ia 
masuk Islam pada siang hari (semisal jam 13.00 wib), maka mulai saat itu
 ia imsak (menahan
 diri untuk tidak mengerjakan perbuatan yang dapat membatalkan puasa), 
hingga datang saat Maghrib. Ini juga berlaku bagi seseorang yang murtad 
dari Islam, kemudian ia kembali masuk Islam pada saat bulan Romadhon. 
  Dan ia (orang yang murtad tadi) mengqadha’ puasa saat ia murtad. 
Berdasarkan firman Allah swt, artinya,
“Katakanlah
 kepada orang-orang kafir, ”Jika mereka berhenti, niscaya diampunilah 
dosanya yang telah lalu, dan jika mereka kembali lagi maka sungguh 
berlakulah atas diri mereka sunnah orang-orang yang telah lalu.” [QS 
8:39].
    Kedua, anak kecil (belum baligh) tidak diwajibkan berpuasa.  Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, artinya,
“Diangkat
 kalam (pena) dari tiga orang (1) dari anak kecil hingga ia baligh, (2) 
dari orang gila sampai ia sembuh, (3) dari orang tidur hingga ia 
bangun.” [HR. Ashhabus Sunan, dan al-Hakim].
Meskipun
 demikian, lebih baik anak kecil diajari untuk melakukan ibadah puasa, 
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, artinya,
“Rasulullah
 saw menyuruh orang-orang pada pagi hari ‘Asyura pergi ke 
kampung-kampung Anshar untuk menyampakan perintah Nabi, yaitu, 
“Barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berpuasa (belum makan dan 
minum), maka hendaklah ia sempurnakannya. Dan barangsiapa masuk ke pagi 
hari dalam keadaan berbuka, maka hendaklah dia berpuasa pada sisa 
harinya. Maka kami para shahabat berpuasa sesudah mendengar perintah 
itu, dan menyuruh anak-anak kecil berpuasa. Kami pergi ke mesjid dan 
kami buat untuk anak-anak mainan dari bulu domba. Bila seorang anak 
menangis untuk meminta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya, 
sehingga sampai waktu berbuka.”
    Ketiga, orang
 gila tidak wajib berpuasa. Dia tidak wajib mengqadha’ puasanya tatkala 
ia masih gila. Sedangkan bila ia sembuh di bulan Ramadhan maka ia wajib 
melaksanakan puasa, dan imsak di sisa harinya.
    Keempat, wanita
 yang sedang haidh atau nifas tidak wajib mengerjakan ibadah puasa. 
Namun, bila ia telah suci dari haidh atau nifasnya, maka ia wajib 
menggaqdha puasa yang ia tinggalkan selama haid dan nifas. Ini 
didasarkan pada riwayat yang dinyatakan oleh al-Jama’ah dari Mu’adz 
bahwa ‘Aisyah ra berkata, artinya, “Adalah
 kami ber-haid di masa Rasulullah saw, maka kami diperintahkan supaya 
mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat.” 
[Syarah Kabiir III, hal. 15]
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya, “Apakah seseorang kamu (kaum wanita) apabila haid, tiada sholat dan tiada berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” [Imam Syaukani, Nailul Authar]
    Kelima,  orang
 yang sedang safar (bepergian) tidak diwajibkan berpuasa. Mereka 
diperbolehkan berpuasa dalam safarnya atau tidak. Bila ia tidak berpuasa
 dalam safarnya, maka ia wajib mengganti puasa sejumlah hari yang ia 
tinggalkan. Allah swt berfirman, artinya,
“Barangsiapa
 sakit di antara kami, atau di dalam perjalanan, maka hendaklah ia 
menjalankan puasa yang ia tinggalkan di dalam sakit atau safar di 
hari-hari yang lain” [QS 2:184]
Rasulullah saw pernah ditanya oleh salah seorang shahabat –bernama Hamzah Ibn ‘Amr al-Aslami,
“Apakah saya berpuasa dalam safar?” Rasulullah saw menjawab, “Jika engkau mau berpuasalah, jika tidak juga boleh.” [HR. Jama’ah]
Keenam, puasa tidak diwajibkan bagi orang yang sakit. Akan
 tetapi bila ia telah sembuh dari sakitnya maka ia wajib mengganti 
sebanyak hari yang ia tinggalkan. Allah swt berfirman, artinya,
“Barangsiapa
 sakit di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah ia 
mengerjakan puasanya yang ia tinggalkan dalam sakit atau dalam safar 
itu, di hari-hari yang lain.” [QS 2:184]. Kata “maridh” di
 sini berfaedah kepada makna umum, dan tidak disyaratkan sakit keras 
atau lemah. Demikianlah pendapat Atha’ dan Ahlu al-Dzahir, al-Bukhari 
dan Ibnu Sirin. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah]
Orang-orang
 yang digolongkan sebagai orang yang tidak mampu berpuasa adalah, (1) 
orang hamil, (2) orang yang sedang menyusui, (3) orang yang sudah sangat
 tua. Mereka diberi keringanan (rukhshah) untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan kompensasi membayar fidyah. Ini didasarkan pada firman Allah swt, artinya,
“Atas mereka yang tak sanggup berpuasa, kecuali dengan mengalami kesukaran yang sangat, memberi fidyah sehari seorang miskin.” [QS 2:184].
Ibnu
 Abbas berkata, “Ayat ini walaupun dimansukhkan, namun hukumnya tetap 
untuk orang yang sangat tua, lelaki atau perempuan, yang tidak mampu 
berpuasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin setiap 
harinya.”[HR. Bukhari].
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa
 Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat tersebut diberlakukan bagi wanita hamil dan 
yang sedang menyusui.” [HR. Abu Dawud]. [Lihat pada Al-Syaukani, Nailul Authar, Kitaab al-Shiyaam, hal.297-8].
Hukum
 ini juga berlaku bagi para pekerja keras, orang terkena penyakit akut 
(maag), yang bila ia berpuasa akan menyebabkan dharar bagi dirinya, atau
 orang yang menolong orang dari peristiwa yuang mengerikan (kebakaran, 
tenggelam, dll), maka ia boleh berbuka puasa, dan mengqadha’ puasanya di
 hari yang lain. 
SYARAT WAJIB PUASA - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar