Masalah Utama Umat Islam Bukanlah Masalah Akhlaq yang Rusak
Persoalan Utama Kaum Muslim: Bukanlah Akhlaq Yang Rusak
    Ada
 sebagian kaum muslim memahami , bahwa kebangkitan umat harus dimulai 
dari kebangkitan akhlaq. Mereka mengajukan sebuah asumsi, “Jika setiap 
individu memiliki akhlaq yang baik, maka masyarakat pun akan menjadi 
baik. Kemunduran dan kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh
 kebangkitan dan kemunduran akhlaqnya.”
    Mereka juga mengetengahkan dalil-dalil syara’ untuk membangun argumentasi mereka. Dari al-Quran, mereka mengetengahkan ayat,
    “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.”[al-Qalam:4], serta nash-nash yang senada pengertiannya.
Dari sunnah mereka juga berhujjah dengan hadits yang berbicara tentang akhlaq, salah satu contohnya adalah, 
    “Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq.”
Benar,
 akhlaq merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam.  Namun demikian, 
kita tidak boleh memahami, bahwa akhlaq yang dimaksud di sini sekedar 
sebagai nilai-nilai universal, dan terlepas sama sekali dengan konteks 
hukum syari’at.
Kejujuran,
 amanah, disiplin, rasa hormat, dan lain-lain merupakan nilai akhlaq 
yang mulia. Kesemuanya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh 
umat manusia, tanpa memperhatikan agama, ras, suku dan jenis kelamin. 
Kaum Kristen, Budhis, Yahudi, Konghucu, serta kaum kapitalis pun sangat 
menjunjung tinggi nilai-nilai itu, bahkan berusaha untuk menerapkannya. 
Kaum muslim juga menjunjung tinggi dan berusaha menerapkan nilai-nilai 
tersebut di dalam kehidupannya. Namun, seorang muslim tatkala hendak 
menerapkan nilai-nilai yang sangat mulia itu, bukan didorong oleh sebuah
 motivasi bahwa nilai-nilai tersebut adalah nilai universal. Akan 
tetapi, ia melaksanakan semua nilai-nilai itu karena diperintahkan oleh 
Allah swt. Seorang muslim bersikap jujur, karena ia memang diperintahkan
 oleh Allah swt, bukan karena jujur itu bermanfaat atau nilai universal.
 Dengan kata lain, akhlaq seorang muslim adalah refleksi dari 
pelaksanaan syariatNya. Sebab, seluruh perbuatan seorang muslim wajib 
bersandar pada syariat Islam.
Di
 sisi lain, seorang muslim harus memahami, kapan ia jujur, dan kapan ia 
tidak boleh jujur. Seorang muslim, tatkala melakukan jual beli dengan 
orang lain, harus jujur dan amanah. Namun, ketika dalam peperangan 
melawan kaum kafir, ia tidak diperbolehkan jujur membeberkan kekuatan 
kaum muslim.
   
 Kenyataan di atas menunjukkan bahwa akhlaq merupakan bagian dari 
syari’at Islam. Menurut pandangan Islam, akhlaq bukan sekedar nilai 
universal yang berlaku di tengah-tengah manusia, akan tetapi, ia adalah 
sifat yang harus dimiliki seorang muslim, berdasarkan perintah dari 
Allah swt. Dengan kata lain, akhlaq adalah syari’at Islam yang mengatur 
hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
   
 Bantahan atas pendapat yang menyatakan, bahwa kebangkitan umat, atau 
persoalan mendasar umat adalah kebangkitan akhlaqnya dapat diperinci 
sebagai berikut;
Pertama,
 sebenarnya, konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau 
kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda 
dengan masyarakat dari sisi karakter, maupun penyusunnya. Atas dasar 
itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan 
masyarakat atau umat. Akhlaq adalah hukum syariat yang mengatur hubungan
 manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlaq adalah salah 
satu variabel penting untuk membangkitkan individu.
Berbeda
 dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan 
masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat, serta 
cara untuk mengubah masyarakat. Begitu pula jika kita hendak mengubah 
individu, maka kita mesti memahami terlebih dahulu unsur-unsur penyusun 
individu dan bagaimana cara membangkitkannya.
Masyarakat sendiri tersusun atas manusia, pemikiran, perasaan dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Benar,
 manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun 
demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menyebabkan perubahan 
masyarakat, maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya 
tersusun dari manusia belaka. Namun ia juga tersusun oleh pemikiran, 
perasaan dan aturan. Selain itu faktor yang menentukan corak dan warna 
masyarakat bukanlah manusia, akan tetapi pemikiran dan aturan yang 
diterapkan.
   
 Masyarakat Budha terkenal orang yang menjunjung nilai-nilai akhlaq, 
bahkan terkenal memiliki sifat-sifat akhlaq yang mulia. Namun demikian, 
warna masyarakat yang tersusun oleh orang-orang Budha dan agama Budha 
adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Ini menunjukkan, bahwa 
faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan 
aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan semata akhlaq individunya.
   
 Negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Islam yang terkenal jujur, 
amanah, dan berbudi pekerti luhur, tetap saja disebut masyarakat kufur, 
jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri tersebut adalah 
sistem aturan kufur. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol, tidak
 lagi disebut negeri Islam, sebab sistem yang diberlakukan di Baghdad 
bukan sistem Islam. Ini semua menunjukkan, bahwa perubahan akhlaq 
individu tidak secara otomatis merubah warna masyarakat. Bahkan, 
perubahan akhlaq –sebagai nilai-nilai universal- sama sekali tidak 
berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
   
 Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam, juga menjunjung nilai-nilai akhlaq 
yang tinggi –menghargai tamu, perwira dan sebagainya. Sifat-sifat 
akhlaqiyyah ini tidak berubah ketika masyarakat Jahiliyyah berubah 
menjadi masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa akhlaq tidak berhubungan
 dengan perubahan warna masyarakat.
   
 Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau 
corak masyarakat, maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan 
hanya kepada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan kepada
 perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
   
 Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlaq –sebagai nilai universal- 
bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada
 perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlaq. Namun, anda tidak bisa 
mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia 
melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan 
apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai Bank
 yang mempertahankan sistem ribawi. Jujur juga bisa melekat pada pada 
anggota parlemen yang suka menelurkan aturan-aturan kufur (hukum buatan 
manusia). Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan 
haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekali. Bahkan, kita tidak 
boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlaq. Sebab, kejujurannya 
telah melekat pada perbuatan haram.
Dedikasi
 yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat kepada 
pasukan-pasukan perang yang menjadi pembela sistem  kufur. Tetapi, kita 
tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai 
Islam. Bahkan, akhlaq yang menempel pada sistem kufur semacam ini, tidak
 memiliki arti sedikitpun.
   
 Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang 
berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlaq, hanyalah sekedar 
bagian dari aturan-aturan Allah swt yang mengatur hubungan manusia 
dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlaq sama sekali tidak berkaitan 
dengan perubahan warna masyarakat.
    Kedua, pernyataan
 di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlaq, atau menganggap 
bahwa akhlaq bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan 
perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq 
di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam:4 dan al-Syu’araa’ :137.
Selain
 itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan
 hukum syari’at. Mereka tidak pernah mengkaji akhlaq dalam bab fiqh 
tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlaq adalah bagian dari syariat 
Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
    Ketiga. Seandainya
 kita bandingkan dengan bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, 
kita bisa menyimpulkan bahwa, akhlaq yang dimiliki oleh kaum muslim 
lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, 
kaum muslim tetap saja dalam posisi kemunduran. Mereka tertinggal jauh 
dari bangsa-bangsa yang akhlaqnya lebih rendah dibandingkan mereka.
    Keempat. Fakta
 juga telah menunjukkan, bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan, 
maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan 
kepada akhlaq sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan 
kaum kaum muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik dan
 hukum. Ini membuktikan bahwa akhlaq bukanlah asas atau dasar dari 
perubahan. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum muslim. (metode 
menegakkan Islam harus sesuai dengan metode Rasul Saw. dalam menegakkan 
Islam dan mengikutinya langkah demi langkah)
   
 Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan 
akhlaq, atau tidak menganggap penting masalah akhlaq. Namun, kami hanya 
ingin menjelaskan, bahwa akhlaq bukanlah persoalan utama kaum muslim, 
dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.
    Adapun ayat al-Quran yang menyatakan, “
    “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.”[al-Qalam:4],
serta nash-nash yang senada pengertiannya, semisal hadits;
    “Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq”, 
tidak
 bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlaq, atau dipahami bahwa 
persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw adalah 
perubahan akhlaq.
    Mufasir-mufasir
 terkenal, seperti Mujahid, Dlahak, Imam Thabari dan Qurthubiy, 
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khulq” pada surat al-Qalam 
ayat 4, bukan sekedar “akhlaq”, akan tetapi bermakna “diin” (agama). Di 
dalam shahih Bukhari telah diriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra pernah ditanya 
tentang akhlaq Rasulullah saw. Ia menyatakan, “Akhlaq beliau saw adalah al-Quran.” [lihat pada catatan kaki, ‘Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasir, juz III, hal.465]
    Ini
 menunjukkan, bahwa al-Quran merupakan pembentuk akhlaq Rasulullah saw 
dan kaum muslim. Akhlaq Islam hanya akan terbentuk dengan panduan 
al-Quran al-Karim (termasuk di dalamnya mengenai akidah dan syariah).
   
 Tidak ada gunanya mengklaim dirinya berakhlaq sementara itu, mereka 
berkecimpung dan turut aktif di dalam sistem kufur, atau malah masuk ke 
dalam parlemen untuk membuat aturan-aturan kufur (hukum berdasar pikiran
 manusia).
   
 Riwayat-riwayat sharih juga menuturkan bahwa fokus utama dakwah 
Rasulullah saw adalah mengubah sistem kemasyarakatan jahiliyyah, 
kemudian diganti dengan sistem Islam. Dengan kata lain, beliau 
senantiasa memfokuskan dirinya untuk merubah pemikiran yang ada di 
tengah-tengah masyarakat.
   
 Fakta perubahan masyarakat di zaman Rasulullah saw dan juga fakta 
perubahan masyarakat yang ada di dunia ini, menunjukkan bahwa masyarakat
 hanya akan berubah jika pemikiran (beserta sistem hukum/ aturan di 
berbagai bidang) mereka telah berubah.
   
 Demikianlah anda telah kami jelaskan dengan gamblang bahwa akhlaq 
bukanlah asas atau dasar bagi kebangkitan umat, dan ia juga bukan 
masalah utama kaum muslim.
Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar