Hukuman Sanksi Atas Tindakan Memata-Matai
SANKSI ATAS TINDAKAN TAJASSUS (Memata-Matai)
Apabila tajassus dilakukan kafir harbi baik hakiki, maupun hukman, maka
sanksinya adalah bunuh, bila diketahui bahwa ia adalah mata-mata, atau
telah terbukti bahwa ia adalah mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada
sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’.
Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Seorang
mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah saw, sedangkan
orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para
shahabat Nabi saw, dan ia berbincang-bincang dengan para shahabat.
Kemudian orang itu pergi. Nabi saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!”
Lalu, aku [Salamah bin al-Akwa’] berhasil mendapatkannya lebih dahulu
dari para shahabat yang lain, dan aku membunuhnya.”
Imam Muslim juga
meriwayatkan dengan pengertian senada namun dengan lafadz berbeda.
Sedangkan dalam riwayat Abu Na’iim dalam al-Mustakhraj, dari jalan Yahya
al-Hamaniy, dari Abu al-‘Umais, “Ketahuilah, bahwa dia adalah mata-mata”.
Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw telah
menetapkan, bahwa ia adalah mata-mata, kemudian beliau saw berkata, “Cari, dan bunuhlah dia.”
Ini menunjukkan, bahwa thalab dari Rasul adalah thalab yang pasti,
sehingga sanksi bagi kafir harbiy yang mematai-matai kaum muslimin,
adalah dibunuh tanpa perlu komentar. Ketentuan ini berlaku umum untuk
semua kafir harbi, baik kafir mu’ahid, musta’min, atau bukan mu’ahid dan
musta’min. [idem, hal.215]
Bila
tajassus (memata-matai) dilakukan oleh kafir dzimmiy, maka sanksi yang
dijatuhkan kepadanya perlu dilihat. Jika pada saat ia menjadi kafir
dzimmiy disyaratkan untuk tidak menjadi mata-mata, dan bila ia melakukan
spionase dibunuh, maka sanksi bila kafir dzimmiy tadi melakukan tindak
tajassus (memata-matai), maka hukumnya dibunuh sesuai dengan syarat
tadi. Namun bila saat ia menjadi kafir dzimmiy tidak disyaratkan
apa-apa, maka khalifah boleh menetapkan sanksi bunuh terhadapnya, atau
tidak, bila ia melakukan tajassus (memata-matai).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
bahwa Nabi saw telah memerintahkan untuk membunuh seorang kafir
dzimmiy, yakni mata-matanya Abu Sofyan [Furat bin Hayyan], kemudian
sekelompok orang Anshor mendatangi Furat bin Hayyan, lalu dia [Furat bin
Hayyan] berkata, “Saya muslim!”. Kemudian para shahabat berkata, “Dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.”
Hadits ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw memerintahkan
para shahabat untuk membunuh kafir dzimmiy yang melakukan tindak
spionase (tajassus). Namun demikian, hal ini hanya berhukum jaiz (boleh)
bagi imam, tidak wajib seperti sanksi terhadap kafir harbiy bila
menjadi mata-mata. Dalil yang menyatakan bahwa sanksi bunuh terhadap
kafir dzimmiy jaiz (boleh) dan tidak wajib, adalah, hadits di atas tidak
memiliki qarinah yang bersifat jaazm (qarinah yang pasti).
Walhasil,
hadits di atas thalab-nya (tuntutannya) menjadi tidak pasti (ghairu
jaazim). Ada qarinah yang menunjukkan bahwa thalab pada hadits itu tidak
pasti (ghairu jaazim) yakni, nash hadits di atas menunjukkan bahwa
Rasulullah saw tidak langsung membunuh Furat bin Hayyan, sekedar
mengetahui bahwa ia adalah mata-mata, padahal kafir harbiy yang
disebutkan dalam hadits Salamah bin al-Akwa’, Rasulullah saw langsung
memerintah untuk membunuhnya sekedar setelah ditetapkan bahwa ia adalah
mata-mata. Rasulullah saw bersabda kepada kaum muslimin, “Cari dan bunuhlah dia!”
Dalil ini menunjukkan, bahwa beliau tidak langsung membunuhnya, padahal
Rasulullah saw mengetahuinya bahwa ia adalah kafir dzimmiy, dan ini
tampak jelas dari lafadz hadits, “dan dia adalah [kafir] dzimmiy, dan seorang mata-mata”, yakni bahwa dia [Furat bin Hayyan] telah diketahui oleh beliau saw. Ini juga tampak jelas dari ucapan Rasulullah saw, “dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Atas dasar itu, Rasulullah saw telah berkata kepada kafir harbiy yang melakukan tindak tajassus (memata-matai), “Cari dan bunuhlah dia!”.
Sedangkan untuk Furat bin Hayyan beliau
saw sekedar memerintahkan untuk membunuhnya, namun tidak memerintahkan
kaum muslimin untuk mencarinya. Ini menunjukkan dengan jelas, ada
perbedaan antara kedua riwayat tersebut; riwayat Salamah bin Akwa’
dengan Furat bin Hayyan. Terhadap kafir harbiy, maka tuntutan untuk
membunuh bila mereka melakukan tindak spionase, adalah tuntutan yang
pasti (thalab jaazim),
sedangkan tuntutan untuk membunuh kafir dzimmiy, bukanlah tuntutan yang
pasti (ghairu jaazim). Ini menunjukkan bahwa membunuh mata-mata dari
kalangan kafir dzimmiy, atau tidak membunuhnya, hukumnya adalah jaiz
(mubah).
Adapun
bila seorang muslim memata-matai kaum muslimin dan kafir dzimmiy untuk
kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Sebab, Rasulullah saw telah
memerintah untuk membunuh kafir dzimi [bila mereka melakukan tindak
spionase], namun ketika ia menjadi muslim, maka hukuman bunuh itu
dibatalkan. Rasulullah saw telah memerintahkan untuk membunuh Furat bin
Hayyan, seorang kafir dzimmiy sekaligus sebagai mata-mata, namun ketika
para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah bersumpah menjadi seorang muslim.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Walhasil, ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim.
Imam Bukhari meriwayatkan, “Dari
‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Rasulullah saw mengutusku, juga
Zubair, dan Miqdad bin al-Aswad. Rasulullah saw bersabda, “Pergilah
sampai ke kebun Khakh, dan disana ada sekedup, dan di dalamnya ada
wanita yang membawa surat, maka ambillah surat itu. Kemudian kami
berangkat dengan menaiki kuda, hingga sampailah kami di kebun itu, kami
menjumpai sekedup. Kami berkata, “Keluarkan suratnya!” Wanita itu
menjawab, “Saya tidak memiliki surat.” Kami berkata, “Sungguh, engkau
keluarkan suratnya, atau kami akan singkap baju kamu!” Kemudian wanita
itu mengeluarkan surat itu dari gelung rambutnya. Kemudian kami
memberikan surat itu kepada Rasulullah saw. Ketika di dalamnya tertulis,
“Dari Hathib bin Abiy Balta’ah kepada penduduk Mekah. Dan ia
mengabarkan sebagian perintah Rasulullah saw. Rasulullah saw berkata,
“Apa ini, wahai Hathib?” Hathib berkata, “Jangan tergesa-gesa
terhadapku, Wahai Rasulullah!” Sesungguhnya aku [berbuat semacam ini]
untuk keluargaku di Mekah. Sedangkan orang-orang yang bersama anda,
yakni orang-orang Muhajirin mereka memiliki kerabat dekat di Mekah yang
bisa melindungi keluarga dan hartanya, sedangkan aku tidak. Maka aku
melakukan hal ini, agar mereka bisa melindungi kerabatku di Mekah. Aku
tidak melakukan ini untuk kekafiran, dan aku tidak murtad, dan aku tidak
ridlo dengan kekafiran setelah Islam. Rasulullah saw bersabda,
“Benarlah engkau!” ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku
untuk memenggal leher orang munafiq ini!” Rasulullah saw bersabda, “Dia
adalah orang yang ikut di perang Badar, dan engkau tidak mengetahui
bahwa Allah telah memuliakan ahli badar, kemudian beliau saw bersabda,
“Kerjakan, apa yang engkau kehendaki, kalian telah aku maafkan!”
Hadits
ini menceritakan bahwa Hathib bin Abi Balta’ah telah memata-matai kaum
muslimin, dan Rasulullah saw tidak membunuhnya. Ini menunjukkan, bahwa
bila seorang muslim melakukan tindak tajassus(memata-matai), maka ia
tidak dijatuhi sanksi bunuh. Tidak bisa dikatakan, bahwa hadits ini
hanya khusus untuk ahli Badar, sebab ‘illat penafian hukuman bunuh bagi
Hathib bin Abi Balta’ah, karena ia adalah ahli Badar. Tidak bisa
dikatakan demikian, sebab walaupun nash ini berfaedah pada ta’lil
(‘illat), dan walaupun redaksi nash tersebut menunjukkan bahwa riwayat
tersebut mengandung ‘illat, akan tetapi, hadits riwayat Imam Ahmad dari
Furat bin Hayyan – di mana hukuman bunuh telah dibatalkan kepadanya
karena ia masuk Islam; dan sebelumnya ia seorang kafir dzimmiy - telah
menafikan ‘illat pada hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Riwayat Imam
Ahmad ini sekaligus telah menempatkan “‘illat” pada hadits riwayat
Bukhari tersebut, sebagai sifat dari sebuah fakta saja –bukan sebagai ‘illat-, sebab, Furat bin Hayyan bukanlah ahli Badar.
Tidak
bisa dikatakan juga, bahwa hadits Furat bin Hayyan, menurut Abu Dawud,
dalam isnadnya terdapat Abu Himaam al-Dalaaliy Mohammad bin Mujib. Orang
ini haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Selain itu, Imam
Ahmad meriwayatkan hadits itu dari jalan Sofyan al-Tsauriy. Tidak bisa dikatakan seperti itu, sebab, Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dari Sofyan Bisyr bin al-Sariy al-Bashariy, dan dia termasuk orang yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dengan demikian hadits ini sah sebagai dalil.
Walhasil, riwayat Imam Ahmad tersebut
di atas bisa digunakan sebagai dalil, bahwa sanksi atas seorang muslim
yang melakukan tindak tajassus (memata-matai), tidaklah dibunuh. Namun,
ia diberi sanksi sebagaimana ketetapan yang dijatuhkan oleh khalifah
maupun qadhi.
Aktivitas
tajassus (memata-matai) yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum
muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar
memata-matai saja, maka syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu atas
kema’shiyatan ini. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim
adalah sanksi ta’ziiriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadhi.
[Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 218.]
Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar