Cara Mengqadha Puasa – Qadha Puasa Ramadhan
Para
 ‘ulama berbeda pendapat apakah qadha’ puasa mesti dilakukan dengan 
berurutan atau tidak. Sebagian ‘ulama menyatakan boleh memilih 
kedua-duanya (berurutan maupun terpisah-pisah harinya). Rasulullah saw 
bersabda artinya, 
“Qadha’ puasa Ramadhan boleh dilakukan dengan berurutan maupun terpisah-pisah harinya.” [HR. Daruquthniy].
 Imam
 Bukhari berkata, “Tidak mengapa mengqadla’ puasa dengan terpisah-pisah,
 sebagaimana firman Allah swt, “Maka sempurnakan puasa kalian pada hari 
yang lain.”[ Imam Syaukani, Nailul Authar, Kitab al-Shiyam, hal. 299].
Diriwayatkan
 dari ‘Aisyah ra: Turun ayat, ”Maka sempurnakan puasa kalian pada hari 
yang lain dengan berturut-turut [harinya]”, [HR. Daruquthniy, dan 
mengatakan isnadnya shahih]. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam 
berhujjah dengan hadits ini.  Sebab, riwayat ini adalah ahad yang 
diklaim sebagai al-Quran.
Pendapat
 yang lebih rajih dalam hal ini adalah sebagaimana diungkapkan oleh 
jumhur ‘ulama, yakni boleh mengqadha’ puasa dengan berturut-turut 
harinya, atau dengan terpisah-pisah. Oleh karena seseorang, misalnya 
memiliki hutang puasa lima hari, maka ia boleh mengqadha’ puasanya 
dengan berturut-turut, atau terpisah-pisah yang penting terhitung lima 
hari.
Waktu Mengqadha’ Puasa
Batas
 waktu mengqadha’ puasa adalah hingga menjelang bulan Ramadhan 
(Sya’ban). Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat ‘Aisyah ra, 
 bahwa ia berkata, “Aku memiliki tanggungan puasa dari bulan Ramadhan, maka aku tidak mengqadha’nya sehingga datanglah bulan Sya’ban.” [HR. Bukhari].
Bila
 seseorang tidak mengqadha’ puasanya hingga datang bulan Ramadhan 
berikutnya, maka sebagian ulama mewajibkan orang tersebut membayar 
fidyah selain kewajiban mengqadha’ puasanya. Sebagian ‘ulama berpendapat
 bahwa orang tersebut tetap wajib qadha’ namun tidak diwajibkan membayar
 fidyah, baik karena udzur atau tidak. Ini adalah pendapat al-Hasan, dan
 ‘ulama Hanafiyyah. Sedangkan Imam Malik, Syafi’iy, Ahmad dan Ishaq sependapat dengan ‘ulama Hanafiyyah, jika orang tersebut mempunyai udzur, namun ia wajib membayar fidyah bila tidak ada udzur.
Menurut ahli tahqiq pendapat ‘ulama Hanafiyyah lebih bisa dipegang.
Bila
 seseorang mati dengan menyisakan puasa Ramadhan, maka walinya tidak 
wajib membayar fidyah. Bila si mati bernadzar maka si walinya harus 
melaksanakan nadzar si mati. [Bila si mati bernadzar maka walinya harus 
mengerjakan nadzar dari si mati.  Pendapat ini didasarkan pada sabda 
Rasulullah saw, artinya, “Barangsiapa
 meninggal dunia sedangkan ia memiliki tanggungan puasa yang 
ditinggalkannya, tidak dikerjakan di masa hidupnya, dipuasakanlah 
untuknya oleh walinya.” [HR.Bukhari dan Muslim]. Juga diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, artinya, “Bahwasanya
 seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw lalu bertanya, “Ya 
Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ada puasa nadzar atasnya, 
apakah saya mengqadha’nya?” Rasulullah menjawab, “Apa pendapatmu, 
sekiranya ibumu punya hutang, kemudian engkau membayarnya, apakah ibumu 
masih punya utang? Lalu ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah saw bersabda, 
“Puasalah atas namanya.” Oleh karena itu jumhur ‘ulama sepakat bahwa wali si mati harus mengganti puasa yang ditinggalkan oleh walinya.]
‘Ulama yang mengharuskan bagi wali untuk membayar fidyah bagi si mati berpegang kepada hadits-hadits berikut ini;
Rasulullah
 saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dan atasnya ada puasa Ramadhan 
yang telah ditinggalkan, maka hendaklah diberi makan atas namanya sehari
 seorang miskin.” [HR. Tirmidzi] [Imam Syaukani,
 Nailul Authar, Kitab al-Shiyam, hal. 301]  Hadits ini dha’if, akan 
tetapi Tirmidziy menshahihkan hadits ini, tapi hadits ini mauquf.
Dari Ibnu ‘Abbas ia
 berkata, “Apabila seseorang sakit dalam bulan Ramadhan kemudian mati, 
padahal ia tidak berpuasa, maka walinya harus memberikan fidyah atas 
nama si mati. Tidak ada qadha atasnya, akan tetapi jika si mati 
bernadzar maka walinya harus mengqadha’ puasanya.” [HR. Abu Dawud]. Ini 
adalah hadits mauquf.
Oleh
 karena itu, para pentahqiq berkesimpulan bahwa dua hadits ini tidak 
bisa digunakan argumentasi untuk membangun pendapat mereka, sebab hadits
 di atas adalah hadits dho’if, sementara riwayat dari Ibnu ‘Abbas adalah
 hadits mauquf. Berpegang dengan kaedah “al-baraat al-ashliyyah”, maka 
hadits dho’if dan hadits mauquf tidak bisa digunakan hujjah. Oleh karena
 itu, pendapat ‘ulama Hanafiyyah lebih utama untuk diikuti. [Imam Syaukani, Nailul Authar, Kitab al-Shiyam, hal.303-305]
Cara Mengqadha Puasa – Qadha Puasa Ramadhan - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar