Hukum Asuransi Garansi Jaminan
GARANSI, JAMINAN DAN ASURANSI 
   
 Garansi dan jaminan, merupakan bagian aktivitas ekonomi yang perlu 
mendapatkan legitimasi hukum Islam yang jelas. Namun, sebelum kita 
membahas apa hukum garansi, jaminan, dan asuransi, juga untuk menjawab 
apa hukum orang yang menjual produk-produk yang bergaransi, berjaminan, 
dan berasuransi, kita harus memahami terlebih dahulu fakta dari 
ketiganya.
Garansi adalah
 jaminan atau tanggungan. Ia termasuk salah suatu bentuk layanan purna 
jual yang diberikan penjual kepada pembeli, dalam bentuk perjanjian 
tertulis. Tujuannya untuk menyakinkan pembeli atas mutu barang yang 
hendak dibelinya, atau sekedar memberikan pelayanan kepada pembeli, agar
 pembeli tertarik untuk membeli barangnya. Layanan purna jual di sini 
bisa berwujud memperbaiki barang yang dibeli bila barang tersebut 
mengalami kerusakan pada masa garansi. Misalnya, garansi 1 tahun atas 
produk elektronik. Jika barang elektronik tersebut rusak maka ia akan 
diganti atau mendapat perbaikan sesuai dengan perjanjian (aqad) yang 
tertulis di dalam lembar garansi. Pembeli bisa meminta hak garansinya 
kepada penjual barang tersebut, sesuai dengan hak-haknya yang tertera 
dalam surat garansi. Kadang bisa juga dalam bentuk penggantian sebagian 
atau keseluruhan barang yang telah dibeli. Jika dalam perjanjian 
garansinya disebutkan akan diperbaiki 50% saja, atau diganti 100 %, maka
 pembeli barang bergaransi tersebut diperbolehkan meminta haknya kepada 
penjual barang tersebut. Kasus semacam ini diperbolehkan, sebagaimana 
halnya layanan pra dan pasca jual lainnya. Misalnya, ada seseorang 
mengatakan, "Bila
 bapak membeli barang ini, maka barang ini akan saya kirim ke rumah 
bapak dengan gratis. Dan setelah pembelian, barang yang bapak beli, akan
 kami bersihkan selama seminggu." Kasus ini juga mirip dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah,
"Ada
 seorang laki-laki membeli budak, lalu budak itu dimanfaatkan. Akan 
tetapi laki-laki itu kemudian mengetahui cacat budak tersebut. Lalu ia 
mengembalikan budak tersebut kepada penjual. Lalu penjual itu berkata, 
"Bagaimana dengan budakku yang telah dimanfaatkannya? Nabi saw bersabda,
 "hasil itu (boleh dimiliki), sebab ada tanggungannya.'
Jumhur
 'ulama berpendapat bahwa seseorang boleh mengembalikan barang yang 
dibelinya jika diketahui cacat atau rusaknya barang tersebut. Ia juga 
berhak atas hasil atau manfaat yang dia dapatkan dari barang yang 
dibelinya tersebut. Hasil dan manfaat barang itu tidak dikembalikan 
kepada penjual barang. Ini adalah pendapat asy-Syafi'I, Imam Malik, 
serta 'ulama-'ulama terkemuka lainnya. [lihat Imam Syaukani, Nail al-Authar, pada bab Hiwalah dan Dlaman]
    Jaminan adalah
 tanggungan atas pinjaman yang diterima, borg. Contohnya seseorang 
meminjam uang dengan jaminan sebuah rumah dan mobil. Jaminan bisa juga 
bermakna garansi.   Jaminan juga
 bermakna, janji seorang untuk menanggung utang  atau kewajiban pihak 
lain, apabila utang dan kewajiban itu tidak dipenuhi. Bila jaminan 
didefinisikan dengan definisi-definisi seperti ini, maka untuk definisi 
pertama' yakni jaminan dalam pengertian tanggungan atas pinjaman yang 
diterima, borg, maka ia termasuk dalam bab gadai. Dan ini boleh 
dilakukan oleh kaum muslim, sebagaimana riwayat dari Bukhari dan Muslim,
"Nabi saw wafat sedangkan baju besinya tergadai pada seorang yahudi dengan tiga puluh sha' gandum."
Dari Anas, ia berkata,
"Nabi
 saw pernah menggadaikan sebuah baju besi kepada seorang yahudi di 
madinah dan Nabi saw mengambil gandum dari si yahudi itu untuk 
keluarganya." [HR. Ahmad, Bukhari, nasa'I, dan Ibnu majah].
Sedangkan
 jaminan dalam definisi "janji seorang untuk menanggung utang atau 
kewajiban pihak lain", dalam fiqh termasuk dalam bab hiwalah dan dhaman.
Hiwalah adalah
 penyerahan, yakni A berhutang kepada B, kemudan dengan salah satu sebab
 A menyatakan bahwa hutangnya akan ditanggung pembayarannya oleh C.
Dlaman adalah tanggungan; yakni hutang seseorang ditanggung pembayarannya oleh orang lain. Rasulullah saw bersabda,
"Aku
 lebih berhak menanggung atas setiap mu'min daripada dirinya sendiri, 
karena itu barangsiapa meninggalkan hutang, akulah yang menanggungnya 
dan barangsiapa meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya.' [HR. 
Ahmad, Abu Daud dan nasaa'i]
    Asuransi adalah
 pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu 
berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan 
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran dalam waktu tertentu, apabila 
terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang 
diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya). Dan bila tidak ada
 kejadian yang menimpa atas jiwa atau barang yang diasuransikan maka 
iuran menjadi milik pihak penanggung. Hukum asuransi haram. Sebab, di 
dalamnya ada unsur judi, spekulasi dan gharar.    Dari Abu Hurairah ra, 
bahwa Nabi saw melarang jual beli dengan lemparan batu dan jual beli 
barang secara gharar. [HR. Jama'ah kecuali Bukhari].
   
 Berdasarkan kenyataan di atas, barang yang bergaransi boleh untuk 
dibeli ataupun dijual. Orang yang menjual barang bergaransi hukumnya 
mubah (boleh). Dengan catatan barang yang dijualnya itu bukan barang 
yang diharamkan Allah swt. Bila barang itu ternyata juga diasuransikan, 
maka keharamannya terletak pada aktivitas asuransinya itu sendiri. ….
Hukum Asuransi Garansi Jaminan - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar