Apa Arti Kematian Secara Bahasa Definisi Mati
KEMATIAN DAN DEFINISINYA
   
 Allah swt telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptaan. Allah 
swt juga memulyakan manusia dengan memberikan kepada mereka berbagai 
kelebihan. Bahkan, Allah juga menetapkan aturan-aturan tertentu untuk 
menjaga kemuliaan dan martabat manusia. Tidak hanya bagi mereka yang 
masih hidup, bagi mereka yang telah meninggal, Islam pun mengatur 
hukum-hukum khusus untuk menjaga kehormatan si mayat.
Islam
 telah melarang dengan larangan yang sangat keras, bagi siapapun yang 
memecah tulang mayat, mencincang, atau menelantarkan mayat. Bahkan tidak
 cukup itu saja, Islam telah memberikan ketentuan yang sangat jelas, 
bagaimana tata cara menyelenggarakan mayat; mulai perlakuan terhadap 
orang yang baru meninggal, memandikannya, mengkafaninya, hingga 
menguburkannya. Selain itu, Islam juga menetapkan hukum-hukum tertentu 
baik yang berkaitan dengan keyakinan seputar mayat, maupun hukum-hukum 
praktis mengenai penyelenggaraan mayat. Dengan hukum-hukum itu, maka 
kehormatan dan kemuliaan mayat bisa terjaga.
Kematian
   
 Al-Quran telah menggambarkan kematian dengan berbagai macam bentuknya 
di dalam 164 ayat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah; [QS 
Ali-Imron;[3]:185]; [21:35]; [29:57]; [39:30];[50:19]; [56:83-85]; 
[62:8];[75:26-30]; [102:2]. 
Kematian juga banyak disebut di dalam sunnah. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, artinya,
“Perbanyaklah mengingat ‘pemutus segala kelezatan‘” [HR. Tirmidzi].
Pemutus segala kelezatan adalah kematian. Sabda Rasulullah saw, ”Perbanyaklah mengingat ‘pemutus segala kelezatan
 ‘ merupakan untaian tutur kata yang sangat padat, ringkas, dan penuh 
dengan pelajaran yang sangat berharga. Sebab, setiap orang yang banyak 
mengingat kematian, pasti tidak akan mencintai keindahan dan kelezatan 
dunia secara membabi buta. Ia juga akan berhenti berkhayal dan 
berangan-angan tentang keindahan dan kelezatan dunia fana. Dalam riwayat
 lain disebutkan; dari Abu Hurairah ra, ia berkata,
“Pada
 suatu saat Rasulullah saw menziarahi makam ibunya. Ketika itu beliau 
menangis. Para shahabatpun ikut menangis, kemudian beliau bersabda, 
“Saya memohon ijin kepada Rabbku, agar Ia mengampuni ibuku, akan tetapi 
Ia tidak memberikan ijin kepadaku. Lalu, aku memohon ijin agar aku bisa 
menziarahi kuburnya, kemudian Ia memberikan ijin kepadaku. Maka 
berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur itu bisa mengingatkan 
kepada kematian.” [HR. Muslim]
Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
“Saya
 telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka berziarahlah kalian, 
sesungguhnya ziarah kubur itu bisa menciptakan zuhud di dunia, dan 
mengingatkan kepada kematian.” [HR. Muslim, Juz III/hal/165; dan 
VI/hal.82; Abu Dawud Juz II/hal/172, dan al-Nasaaiy serta al-Baihaqiy].
    Dalam riwayat lain , Rasulullah saw bersabda,
”Seorang
 yang bijaksana [al-kais] ialah orang yang mengoreksi dirinya [daana] 
dan segera beramal untuk bekal akherat. Dan orang yang hina adalah orang
 yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, di samping itu ia 
mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah swt.” [HR. Tirmidzi dalam
 Kitab al-Qiyamah]
Kata daana;mengoreksi; ada juga yang mengartikan merendahkan diri. Abu Ubaid berkata, daana nafsahu artinya
 adalah merendahkan dan menundukkan dirinya – seperti dalam kalimat 
dintuhu-adiinuhu; apabila merendahkannya yaitu menundukkan dirinya untuk
 beribadah kepada Allah dan segera beramal sebagai bekal menuju akherat,
 dan sebagai bekal bertemu Allah swt; demikian juga mengoreksi diri atas
 kekurangan-kekurangan selama hayatnya, serta bersiap sedia menerima 
segala keputusan dengan beramal shaleh, dan segera bertaubat atas 
dosa-dosa masa lalu.
Kata
 “al-kais” bermakna, orang-orang yang berakal lagi bijaksana. Sedangkan 
kata al-‘ajz adalah lawan dari bijaksana; yaitu orang yang 
menyia-nyiakan urusannya dan melalaikan berbuat taat kepada Allah swt, 
serta memperturutkan hawa nafsunya. Di samping itu, ia masih saja suka 
berkhayal mendapatkan ampunan dari Allah swt. Dirinya telah lupa bahwa 
Allah telah menurunkan perintah dan larangan kepadanya. Imam Hasan 
al-Bashri pernah berkata, “Sebagian orang ada yang dilalaikan dengan 
angan-angan hingga ia meninggalkan dunia tanpa membawa kebaikan 
sedikitpun.” ….. 
Definisi Kematian
    Secara bahasa kematian [al-maut] adalah dlidd al-hayaah [lawan dari kehidupan]. [Lihat Syaikh Imam Mohammad bin ‘Abi Bakr al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, huruf mim; lihat pula Imam Ibnu Mandzur; Lisaan al-‘Arab, huruf mim]
Menurut
 para ‘ulama,kematian adalah terputus, terpisah,  bercerai, berubah 
kondisi, serta berpindah dari suatu alam ke alam lain [dunia ke 
akherat]. [lihat, ‘Abdurrahman bin ‘Abd al-Ghaits; al-Wijaazah fii Tajhiiz al-Janazah].
 ‘Ali al-Shabuniy dalam Tafsir Shafwaat al-Tafaasiir, juz III, hal.415, menyatakan; al-maut
 (kematian) adalah terputusnya ikatan ruh dengan badan (jasad) dan 
terpisahnya ruh dari jasad [inqithaa’ ta’alluq al-ruuh bi al-badan, wa 
mufaariqatihaa]. Sebagian ‘ulama menyatakan, “Kematian
 bukanlah kebinasaan dan terputusnya dengan kehidupan secara menyeluruh;
 akan tetapi kematian hanyalah perpindahan dari satu tempat ke tempat 
lain. Oleh karena itu, orang yang mati bisa melihat dan mendengar (merasakan) sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits shahih,
“Jika
 di antara kalian berdiam di dalam kubur, kemudian saudara-saudaranya 
telah meninggalkan kubur, maka sungguh ia bisa mendengar suara sandal 
mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Ada
 beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan mengalami 
kematian ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang 
oleh Allah swt. Allah swt berfirman, artinya,
“Allah
 memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang 
belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa orang yang telah Dia 
tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang 
telah ditetapkan.” [QS al-Zumar:42]
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, artinya,
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…” 
Namun
 demikian, tak seorangpun mengetahui hakekat jiwa dan ruh, kecuali Allah
 swt. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh
 dan jiwa kepada Allah swt. Semua ini termasuk hal-hal ghaib yang berada
 di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang bisa diamati hanyalah 
pengaruh dari fenomena tersebut di dalam tubuh manusia, yaitu berupa 
tanda-tanda fisik yang menunjukkan terjadinya kematian.
 Meskipun ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa berhentinya kehidupan 
(kematian) adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan tetapi,
 ayat dan hadits tersebut tidak menerangkan titik waktu kapan terjadinya
 kematian; pencabutan, penahanan jiwa dan berhentinya kehidupan. 
Keterangan dari hadits hanya menunjukkan bahwa jika ruh dicabut, akan 
diikuti dengan pandangan mata, sebagaimana hadits di atas. Dalam hadits 
lain juga disebutkan, artinya,
“Jika
 kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian,
 sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” [HR. Ahmad
 dari Syadad bin Aus ra]
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan, memerlukan penelaahan terhadap manath (fakta yang menjadi penerapan hukum)
 pada seseorang yang hendak ditetapkan, apakah ia telah mati, atau telah
 terhenti kehidupannya. Penelaahan semacam ini membutuhkan keahlian dan 
pengetahuan. Masalah ini sangat penting, mengingat penetapan kematian 
seseorang akan berimplikasi secara signifikan terhadap hukum-hukum Islam
 yang lain; semisal waris, wasiat, qishash, dan lain-lain.
Dahulu,
 orang menyangka bahwa kematian seseorang akan terdeteksi dengan 
berhentinya jantung. Namun pendapat itu telah dibantah dengan kenyataan 
empiris serta uji medis. Ternyata, terhentinya jantung bukanlah indikasi
 kematian bagi seseorang. Bahkan, betapa banyak orang yang jantungnya 
sudah berhenti, akan tetapi ia belum mengalami kematian.
Kalangan
 scientis, terutama praktisi-praktisi medis, kini menyatakan bahwa 
kematian ‘batang otak’ merupakan indikator untuk menetapkan kematian 
seseorang. Batang otak adalah, semacam tangkai pada orang yang berbentuk
 penyangga atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir 
dari otak sebelah bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di 
leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf yang jalin-menjalin. Batang 
otak merupakan sirkuit yang menghubungkan otak dengan seluruh anggota 
tubuh dan dunia luar, yang berfungsi membawa stimulus penginderaan 
kepada otak dan membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak 
untuk melaksanakan pesan-pesan otak. [lihat, ‘Abdul Qadim Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam, Penerbit al-‘Izzah, Pasuruan, hal. 74]
Batang
 otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir. Sebab,
 matinya otak dan kulit/ tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak.
 Jika batang otak mati, maka matilah manusia, dan berakhirlah kehidupan 
manusia secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua 
paru-parunya masih bisa bernafas seperti biasa, dan organ-organ lainnya 
masih berfungsi. Kadang-kadang kematian batang otak terjadi sebelum 
berhentinya jantung, semisal bila ada pukulan secara langsung pada otak,
 atau gegar otak, ataupun terjadi pemotongan batang otak. Dalam keadaan 
sakit, berhenti, dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti 
dan matinya otak.
Namun
 ada kejadian medis yang membantah asumsi di atas. Telah diberitakan, 
ada seorang wanita Finlandia yang dapat melahirkan seorang bayi, padahal
 dia telah mengalami koma total selama dua setengah bulan. Wanita 
tersebut koma, karena benturan yang mengakibatkan gegar otak. Anehnya, 
ia baru mengalami kematian setelah dua hari ia melahirkan anaknya. Pada 
saat koma, ia bernafas dengan alat pernafasan bantuan, diberi nutrisi 
lewat tabung, dan darahnya diganti setiap minggu selama 10 minggu. Bayi 
yang ia lahirkan dalam keadaan sehat dan normal. [lihat, ibid, hal. 74]
Para
 fuqaha tidak menetapkan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya 
keyakinan akan datangnya kematian pada diri seseorang. Mereka telah 
menyebut tanda-tanda yang yang bisa dijadikan bukti adanya kematian, di 
antaranya; nafas terhenti, mulut terbuka, mata terbelalak dan 
pandangannya hampa, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan
 merenggang, dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk 
ke atas; rahang bawahnya melamah seiring dengan melemahnya seluruh 
anggota tubuh, denyut jantungnya berhenti, jasadnya dingin dan kaku, 
betis dan kanan dan kirinya bertautan. [untuk tanda ini, didasarkan pada
 firman Allah swt, artinya, “Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan)” [QS al-Qiyamah:29]
Lalu,
 mana yang harus kita jadikan pegangan untuk menetapkan kematian 
seseorang? Pendapat ahli medis, ataukah pendapat para fuqaha? Kami 
berpendapat, sesuatu yang memerlukan kepastian tidak bisa ditetapkan 
dengan jalan keraguan. Oleh karena itu, pendapat para fuqaha adalah 
pendapat yang mesti kita jadikan sebagai pegangan untuk menetapkan titik
 kematian seseorang.
Apa Arti Kematian Secara Bahasa Definisi Mati - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar