Dasar Pengharaman Minuman Keras (Khamer)
APAKAH PENGHARAMAN KHAMER KARENA BENDANYA SENDIRI ATAU KARENA UNSUR MEMABUKKANNYA
Sisi lain yang perlu dibahas adalah perbedaan pendapat mengenai “apakah pengharaman khamer itu karena bendanya sendiri, atau karena memabukkannya?”
Pendapat
yang menyatakan, khamer diharamkan karena unsur mabuknya, bukan karena
substansi khamernya sendiri, didasarkan suatu anggapan, bahwa ‘illat
(atau sebab) diharamkannya khamer adalah karena mabuknya. Dengan kata
lain, khamer menurut mereka adalah jenis minuman yang membuat mabuk atau
tertutupinya akal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah swt,
artinya, “Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran meminum khamer dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sholat” [al-Maidah:91]. Mereka juga mengetangahkan riwayat-riwayat shahih dari Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw bersabda, ”Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap khamer adalah haram.” Al-Tirmidzi dan al-Nasaa’iy meriwayatkan sebuah hadits, artinya, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga diharamkan.” Berdasarkan
riwayat-riwayat ini, mereka berpendapat, khamer diharamkan bukan karena
dzatnya, akan tetapi karena unsur memabukkannya. Oleh karena itu,
mereka mengkategorikan semua minuman yang memabukkan termasuk bagian
dari khamer.
Pendapat
ini sangat lemah. Pendapat yang lebih sharih adalah, khamer itu
dilarang karena dzatnya sendiri. Artinya, khamer bukanlah benda yang
bersifat maknawi, akan tetapi ia adalah sebutan tertentu atau nama bagi
benda tertentu. Adapun bantahan atas pendapat di atas adalah sebagai
berikut;
1. Tidak ada ‘illat pada perkara makanan dan pakaian. Nash-nash yang
berhubungan tentang larangan khamer sama sekali tidak mengandung ‘illat.
Dampak-dampak buruk akibat minum khamer bukanlah ‘illat pengharaman
khamer. Sebab, bila dampak-dampak buruk ini (semisal, munculnya sikap
permusuhan, lalai sholat dll) bisa dihilangkan artinya hukum minum
khamernya juga akan lenyap. Sebab, kaedah ‘illat berbunyi, “al-‘illat taduru ma’a ma’luul wujudan wa ‘adaman” [Illat itu beredar kepada apa yang di’illati ada atau tidak adanya].
Seseorang
yang minum bir akan tetapi dia tidak mabuk, dan malah menimbulkan
perasaan ukhuwah, melenyapkan kebencian dan permusuhan, atau menambah
semangat dalam bekerja, tentu aktivitas minum bir tidak lagi haram.
Sebab, minum bir tidak lagi menimbulkan dampak-dampak buruk bagi
peminumnya. Jelas, hal ini tentu akan bertentangan dengan sabda
Rasulullah saw, “Minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya adalah haram.” [HR. Abu Daud, dan Turmudzi] Hadits
ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang mengkonsumsi minuman yang
memabukkan walaupun sedikit maka ia telah terjatuh pada tindak haram.
Dan kita tahu, seorang yang minum sedikit, tentu tidak akan mabuk. Dan
hadits itu menekankan bahwa walaupun seseorang minum sedikit (dan tidak
mabuk), akan tetapi karena benda yang diminum itu adalah khamer, maka ia
telah melakukan kemaksiyatan kepada Allah.
Oleh
karena itu, dampak-dampak buruk akibat minum khamer (memabukkan)
bukanlah ‘illat diharamkannya khamer, akan tetapi ia hanya dampak saja,
tidak lebih dari itu. Adapun mengapa khamer dilarang oleh Allah, maka
selama tidak ada keterangan dalam al-Quran dan Sunnah yang menerangkan
hal itu, kita harus menerima pengharamannya begitu saja tanpa perlu
bertanya sebab pengharamannya.
2.
Ada riwayat yang sangat jelas menyatakan bahwa pengharaman khamer bukan
karena unsur mabuknya akan tetapi karena dzatnya sendiri. Abu ‘Aun
al-Tsaqafiy meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah bin Syaddad dan Ibnu
‘Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Khamer itu diharamkan karena bendanya itu sendiri, sedangkan (diharamkan) mabuknya itu adalah karena hal lain.” Nash
ini tidak memerlukan takwil lagi bahwa khamer diharamkan karena
dzatnya bukan karena sifat memabukkannya. Walhasil, khamer diharamkan
karena benda khamer itu sendiri memang haram, bukan karena
memabukkannya.
3.
Riwayat lain yang menguatkan bahwa khamer adalah dzat itu sendiri
adalah, “Jika khamer berubah menjadi cuka, maka ia boleh dikonsumsi
(cukanya). Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusy menyatakan, bahwa
para ‘ulama sepakat bolehnya minum khamer yang berubah menjadi cuka. Ini
didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dari Anas
bin Malik yang menceritakan bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Nabi saw
tentang anak-anak yatim yang mendapatkan warisan khamer. Rasulullah saw
bersabda, artinya, “Tumpahkanlah khamer itu”. Abu Thalhah bertanya lebih lanjut, “Apakah tidak boleh aku olah menjadi cuka”. Nabi saw berkata lagi, “Jangan.”
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan al-Tirmidzi. Hadits
ini hanya menunjukkan larangan untuk mengolah khamer menjadi cuka. Akan
tetapi bila khamer sudah berubah menjadi cuka, dibolehkan untuk diminum.
Khamer
yang berubah menjadi cuka tentu bukan khamer yang bermakna “semua sifat
yang memabukkan”. Sebab, candu, ganja, opium dan lain-lain tidak bisa
berubah menjadi cuka. Ini menunjukkan bahwa khamer adalah benda
tersendiri. Dalam penelitian modern menunjukkan bahwa etanol (substansi
dari khamer) memang bisa berubah menjadi cuka (asam asetat).
Argumentasi
ini sudah cukup untuk mengokohkan pendapat yang menyatakan bahwa khamer
adalah zat yang memiliki susbtansi tersendiri. Khamer bukanlah sifat.
Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar