Hukum Spionase Hukum Memata-matai Menurut Syariat Islam
HUKUM TAJASSUS (memata-matai)
    Hukum
 tajassus (memata-matai) bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari 
siapa yang dimata-matai [Ibid, hal.212]. Al-Quran melarang dengan tegas 
aktivitas tajassus (memata-matai) yang ditujukan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, artinya;
    ”Hai
 orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, 
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu 
mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12].
    Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan  al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu” [dengan ha’ bukan dengan jim]. Al-Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya [tajassasuu dan tahassasuu] tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka [membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu]. Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia.Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu. Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri. [lihat Tafsir Qurthubiy, surat 49:12.]
Imam Qurthubiy, mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah
 hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, 
yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, 
sehingga ia mengetahui aurat (saudara)nya, setelah Allah swt menutupnya 
[auratnya].”
    Dalam sunnah, Nabi saw bersabda, “..Janganlah
 kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, 
janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling 
berbuat kerusakan….”[Hr. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat 49:12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].
    Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dirahmatilah
 kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, 
sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas]
Islam
 juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain 
yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia.  Rasulullah saw bersabda, 
artinya,“Diantara
 hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan 
masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidziy dalam shahih al-Tirmidziy].
    Rasulullah saw juga bersabda, “Jika
 seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu 
kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan 
atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].
    Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, artinya, “Orang
 yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka 
tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan 
dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy 
dalam Mu’jam al-Kabir].
    Rasulullah saw bersabda, artinya,“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Bukhariy dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]
    Hadits-hadits
 di atas merupakan larangan yang tegas terhadap aktivitas-aktivitas 
mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-ngorek berita, 
menguping pembicaraan orang lain. Padahal, aktivitas-aktivitas ini 
merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas 
keharamannya. Oleh karena itu tidak ragu lagi, bahwa aktivitas 
memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.
   
 Islam juga menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak 
seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir barat biasa menggunakan 
detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan 
menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang [electronic surveillance].
Dalam
 tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh
 dijadikan bukti di sidang pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.” [HR.
 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; lihat pula, Abu Ameenah Bilal Philips, 
Tafseer Soorah Al Hujurat; Menolak Tafsir Bid’ah [Elyasa’ Bahalwan 
(pentj)], 1990, Andalus Press, Surabaya; hal.150-151.]
Adapun terhadap kafir dzimmiy yang
 menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka kedudukan mereka setara 
dengan kaum muslimin, sehingga seorang muslim dilarang [diharamkan] 
memata-matai mereka. [Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 212.] Adapun memata-matai kafir harbiy [kafir yang harus diperangi], baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman,
 hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang muslim, atau sekelompok kaum 
muslimin, namun wajib bagi negara [Daulah Khilafah], baik kafir harbiy 
yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang berada di 
negaranya sendiri.
Dalilnya adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam,
 bahwa Nabi saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang 
dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat
 kepada  ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak 
melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 
hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh 
perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, 
dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika
 engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun
 korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan 
khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”
Dalam
 surat itu, Rasulullah saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk 
memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada
 Rasul. Akan tetapi, beliau saw memberikan pilihan kepada para shahabat 
lainnya untuk mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Akan tetapi, 
Rasulullah saw mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan 
hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan memata-matai 
orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah saw, telah 
meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase, yakni wajib bagi 
‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut 
bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy
 [dinisbahkan kepada negara] adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, 
sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya 
jaiz (boleh). Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum 
memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum 
muslimin adalah jaiz.
    Ada
 sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh 
badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang 
dilakukan oleh negara akan membawa kemashlahatan bagi negara. Pendapat 
semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu
 kepada mashlahat untuk membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk 
memonitoring aktivitas rakyat yang berpotensi melakukan makar terhadap 
negara, menggali keadaan rakyatnya lebih dalam lagi, dan lain-lain. 
Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak ada artinya sama sekali untuk
 membangun hukum syara’.
Seorang
 muslim diwajibkan untuk hanya bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang 
diturunkan oleh Allah swt, bukan bertahkim dengan mashlahat yang 
bersifat temporal dan berubah-ubah. Allah swt berfirman, artinya,
“Dan
 hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang 
diturunkan Allah, dan janganlah kamu  mengikuti hawa 
nafsu…”[al-Maidah”48]
“Barangsiapa
 tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
 itu adalah orang yang dzalim.” [al-Maidah:45]
Ayat
 ini dengan tegas menyatakan bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ 
adalah al-Quran dan Sunnah, bukan mashlahat. Bahkan, mashlahat hakiki 
baru akan tercapai bila kaum muslimin menerapkan hukum syara’. Allah swt
 berfirman, artinya,
“Dan tiadalah kamu [Mohammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” [al-Anbiyaa’:107].
“Dan Kami telah menurunkan kepada kamu [Mohammad] al-Kitab, untuk menjelaskan segala sesuatu”.[al-Nahl:89].
Kedua
 ayat ini, bila dipahami akan menunjukkan dengan sharih (jelas), bahwa 
 Rasulullah saw diutus -dengan membawa al-Quran— untuk menjadi rahmat 
[membawa kemashlahatan] bagi seluruh manusia. Sehingga mashlahat hakiki 
hanya akan tercapai bila diterapkan aturan-aturan yang dibawa oleh 
Rasulullah saw di muka bumi ini.
Selain
 itu, surat al-Hujurat:12, dengan jelas dan tegas menunjukkan keharaman 
melakukan aktivitas tajassus (spionase). Sebab dalam ayat tersebut 
disebutkan, “wa laa tajassasuu” [dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..”].
 Ayat ini berlaku umum untuk semua tajassus (memata-matai), kecuali ada 
dalil syara’ yang mengkhususkan. Sedangkan mashlahat tidak bernilai sama
 sekali untuk mentakhshish (mengkhususkan) atau apapun namanya terhadap 
keumuman ayat ini. Walhasil, pendapat yang menyatakan bahwa aktivitas 
spionase yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dibolehkan dengan
 alasan mashlahat, merupakan pendapat yang bathil dan telah terbukti 
kelemahannya. Oleh karena itu, aktivitas spionase yang dilakukan oleh 
negara kepada rakyatnya, adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara 
secara mutlak.
Sedangkan
 bolehnya seorang muslim, atau kafir dzimmiy, memata-matai kafir harbiy 
hakiki, maupun kafir harbiy hukman, merupakan pengkhususan dari keumuman
 pengertian surat Hujurat ayat 12 tersebut. Sebab ada dalil yang 
menunjukkannya, yakni sunnah Rasul.
Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam



 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar