Kezhaliman
Republik
Jargon republik dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah menipu masyarakat. Republik
menuturkan ‘kedaulatan ada di tangan rakyat’. Melalui pemilu, rakyat berdaulat
di balik bilik suara. Dengan dalih adanya kebebasan memilih. Tapi bila kita
cermati, berdaulat seperti apa? Dalam republik, suara seorang kiai atau
profesor dihitung sama dengan suara seorang preman bahkan orang gila.
Hal yang serupa juga
terkait kesejahteraan. Republik selalu menjanjikan kesejahteraan namun itu
hanya mitos. Berbagai kebijakan justru menyebabkan rakyat semakin menderita.
Kenaikan harga bahan
pokok, pajak yang memalak, maupun liberalisasi kesehatan lewat BPJS. Korupsi
semakin menggurita. Belum lagi masalah impor. Berbagai undang-undang yang lahir
dari republik, sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan itu hanya
untuk segelintir orang yakni pemegang kekuasaan dan para pemilik modal besar
dalam dan luar negeri. Republik dengan biaya mahal, tentu tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan para pemilik modal. Bagi mereka no
free lunch. Kolaborasi penguasa dan pengusaha akhirnya menjadi pilar
penting dalam sistem republik.
Republik
Terbukti Gagal
Fenomena di atas telah
memberikan bukti kepada kita, republik telah gagal. Kegagalan bermula sedari
konsep. Republik hakekatnya menjadikan rakyat (manusia) sebagai sumber hukum
dan sungguh ini bertentangan dengan fitrah manusia. Gagal dalam proses penerapannya
dan gagal dalam mencapai tujuannya yang utopis.
Sebagai seorang
muslim, kita harus menjadikan hukum Allah dalam pemecahan berbagai persoalan
dan mencampakkan republik. Penerapan hukum itu terwujud dalam sistem Islam
(khilafah) dengan hadirnya seorang khalifah. Khilafah adalah sistem yang
diwariskan oleh baginda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam.
Bacaan: Trisnawaty Amatullah
Pemilu dalam sistem
Republik tidak dapat diharapkan. Bukan hanya dipenuhi dengan kecurangan, pemilu
dalam sistem republik pun sarat akan uang. Kementerian Keuangan menyatakan
telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp25,29 Triliun untuk pelaksanaan pemilu 2019
ini. Anggaran ini naik 61%, dibandingkan pemilu 2014 lalu sebesar Rp15,62
Triliun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk penyelenggaraan, pengawasan dan
kegiatan pendukung seperti keamanan. (cnnIndonesia.com 27/03/2019)
Republik: Rusak
dan Merusak
Republik diartikan
pemerintahan atau kekuasaan rakyat. Rakyat melalui perwakilannya (wakil rakyat)
mengatur pemerintahan. Republik di negeri ini menerapkan konsep trias politica (tri= tiga; as=poros/ pusat;
politika=kekuasaan), buah pemikiran dari
Montesquieu. Kekuasaan pada rakyat (wakil rakyat) tidak boleh bertumpu pada
satu struktur kekuasaan saja, artinya kekuasaan harus terbagi dalam 3
pembagian, yaitu kekuasaan eksekutif (melaksanakan UU), legislatif (membuat UU)
dan yudikatif (mengawal dan mengadili).
Aristoteles (348-322
SM) mengatakan bahwa demokrasi/ republik sebagai mobocracy
(mobokrasi adalah pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat
jelata yang tidak tahu seluk beluk pemerintahan. KBBI) atau pemerintahan
segerombolan orang, sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan
oleh massa, republik rentan akan anarkisme. Bahkan Aristoteles menyebutkan
Republik sebagai bentuk negara yang buruk (bad
state). Plato (472-347 SM) mengatakan liberalisasi adalah akar republik
sekaligus biang petaka mengapa negara republik akan gagal selamanya. Tanggapan
para filsuf yang melahirkan republik itu sendiri secara jelas mengatakan bahwa
republik sistem rusak dan akan merusak.
Republik membawa
kebebasan bagi rakyat (wakil rakyat) untuk mengatur kehidupannya. Presiden
Amerika Roosevelt mengatakan mengenai empat pilar kebebasan manusia yaitu
kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan
beragama (freedom of religion), kebebasan
berkepemilikan atau berekonomi (freedom of
possession), dan kebebasan bertingkah laku (freedom of action). Empat Pilar kebebasan tersebut, akan
meniadakan peran Syariat Allah dalam pengaturan kehidupan manusia.
Kebebasan dalam
mengatur kehidupan manusia membawa manusia pada kehidupan yang menyengsarakan.
Inilah sistem buatan manusia yang jauh dari kesempurnaan, bahkan membahayakan
umat manusia. Telah nyata kecacatan republik.
Amerika Serikat
sebagai role model negara Republik kian
hari menuju kehancurannya. Ditandai dengan melemahnya ekonomi, rendahnya
moralitas penduduknya yang diakibatkan oleh liberalisasi atau kebebasan sebagai
ide turunan dari republik maupun rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat.
Alih-alih membangun
kesejahteraan rakyatnya, stabilitas keamanaan pun menjadi barang mewah hingga
saat ini. Revolusi melalui republik yang mereka cita-citakan hanya menjadi
angan-angan belaka.
Republik
Halalkan Kecurangan
Asas kebebasan dalam
republik telah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Bahkan setelah
berkuasa, mereka lebih apik dalam mencurangi rakyat. Pencabutan subsidi yang
menyengsarakan rakyat; kebijakan-kebijakan politik yang tidak pro-rakyat; pembiaran
orang-orang asing untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini serta tindakan dzalim
lainnya.
Republik dengan
kebebasannya menumbuhsuburkan para koruptor di negeri ini maupun di
negeri-negeri pengusung republik lainnya. Tidak heran, karena menjadi penguasa
membutuhkan modal besar, sehingga masa kerja mereka dihabiskan untuk memperkaya
diri. Dengan harapan dapat mengulang kembali pemilihan berikutnya.
Kecurangan pemilu
dalam sistem republik bukan hal baru. Menebar janji-janji manis pada masa
kampanye sudah hal biasa. Mengambil hati rakyat sebelum terpilih adalah
startegi nomor satu untuk memenangkan suara. Namun setelah terpilih, mereka
lupa akan janjinya pada rakyat. Bahkan ‘memakan’ hati rakyat untuk memuaskan
nafsu mereka.
Serangan fajar pada
masa tenang pemilu sudah menjadi rahasia umum. Pemberian sembako, amplop,
bahkan infak untuk pembangunan Masjid disertai dengan harapan agar mereka
terpilih. Lebih parah lagi ketika tidak terpilih, putus urat malu mereka. Tidak
jarang mereka meminta barang atau uangnya untuk dikembalikan.
Ratusan ribu laporan
akan kecurangan lawannya kepada Bawaslu menjelaskan bahwa pemilu dalam republik
sarat akan kecurangan. Kertas suara yang sudah terisi sebelumnya hingga sisa
kertas suara yang diisi oleh petugas KPPS. Kesalahan (dengan sengaja) pada input
data yang berefek pada hasil perhitungan akhir.
Kecurangan-kecurangan
ini akan menjadi cikal-bakal kecurangan lainnya di tubuh pemerintahan yang
berasaskan republik. Kecurangan pemilu dalam republik menjadi keniscayaan.
Dorongan para penguasa pengusung republik untuk berkuasa bukan untuk
kemaslahatan rakyat, tapi untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.
Kamuflase
Pemimpin Muslim di Sistem Republik
Republik yang
menghalalkan aturan buatan manusia, ditambah kapitalisme yang hanya akan
menguntungkan pihak bermodal saja, cukup menjawab mengapa negeri ini tidak
lantas sejahtera bahkan setelah 70 tahun lebih lepas dari penjajahan gaya lama
(fisik).
Tidak ada kriteria
dengan standar jelas memilih pemimpin dalam republik, kalau tidak mau
menjadikan modal atau uang sebagai kriterianya. Pemimpin berdikari namun tidak
memiliki pegangan akan ideologi yang shahih ataupun para pemimpin yang di-backing oleh kepentingan elit tertentu pernah memimpin negeri ini. Gaya
kepemimpinan komunisme, liberalisme, intelektual, tokoh agama, hingga nyata
sebagai antek penjajah pernah menduduki kursi tertinggi negeri ini. Perubahan
nyata hanya terjadi pada penyengsaraan rakyat secara konsisten.
Pemimpin shalih yang
memikirkan rakyatnya ibarat fatamorgana, ilusi belaka. Kendatipun diperkenalkan
dengan sosok yang kelihatannya sholih, keberadaannya tidak akan mampu mengubah
negeri ini dengan republiknya. Bahkan yang terjadi para pemimpin tersebut masuk
pada pusaran arus deras kesengsaraan. Sungguh pemimpin shalih dalam sistem
republik hanya kamuflase. Nyatalah Republik sistem rusak dan akan merusak
individu shalih yang tergabung di dalamnya.
Bacaan: Fathimah Bilqis,
S.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar