Banyak hukum-hukum
syara’ yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim, dan berdosa jika
ditinggalkan. Sementara Barat memandangnya sebagai sesuatu yang ekstrim, radikal
dan perbuatan teror. Contohnya adalah pemikiran tentang jihad fi sabilillah, pemikiran tentang upaya mendirikan negara
Khilafah, pemikiran tentang amar ma’ruf nahi
munkar terhadap penguasa, menentang kekufuran dan menyebarkan dakwah,
membuang demokrasi, haramnya transaksi riba, pakaian wanita, dan banyak lagi
yang lain.
Semua itu mengharuskan
seorang muslim bersikap konsisten kepadanya. Apakah boleh bagi kita berhukum
kepada demokrasi yang berlandaskan pada pemikiran Barat yang rusak dan busuk,
yang tidak menebarkan kebaikan bagi para pengikutnya? Kita wajib menolak campur
tangan Barat terhadap agama kita.
Al-Mughâlât atau al-ghuluw
berarti az-ziyâdah dan mubâlaghah. Mubâlaghah
dalam beragama berarti tasyaddud dan tashallub, yakni melampaui batas yang dituntut
dan yang telah ditetapkan. Itu disebut juga dengan ifrâth. Lawan katanya adalah tafrîth,
yang berasal dari fi’il farratha fi
al-amr farathan atau qashsharahu bihi
wadhi’ahu wa qaddama al-‘ajza fîhi. Tafrîth
dalam agama berarti melalaikan hukum-hukumnya dan menyia-nyiakan haknya,
menampakkan kelemahan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dari sini lahir
perkataan: lâ ifrâtha walâ tafrîtha fi al-Islâm.
Adapun iqtishâd sama dengan tawassuth, i’tidâl, rusyd dan istiqâmah.
Orang yang mu’tadil (pertengahan,
normal, proporsional) dalam agama adalah orang yang istiqâmah di dalam mengerjakan perintah Allah, dan tidak
menyimpang, baik ke arah yang berlebihan atau lalai. Allah Swt. berfirman:
“Di
antara mereka ada golongan yang proporsional (orang berlaku jujur dan lurus dan
tidak menyimpang dari kebenaran), dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan
oleh kebanyakan mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 66)
Umat ini adalah umat
yang mu’tadilah terhadap perintah
Rabbnya, artinya konsisten dengan batas-batas yang diperintahkan Allah
kepadanya.
Orang yang
memperhatikan definisi-definisi ini memahami bahwa yang dituntut dari seorang
muslim adalah konsisten dengan batas-batas Allah, dan tidak boleh melampauinya.
Seorang muslim harus mu’tadil, yaitu
lurus terhadap perintah-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Katakanlah, aku
beriman kepada Allah, kemudian istiqamalah.” (HR. Muslim)
Konsistenlah dengan
apa yang Allah perintahkan kepadamu dan berhentilah dari apa yang dilarang-Nya.
Jadi, kata istiqamah-lah di sini berarti
bertakwalah. Dari sini datanglah firman Allah untuk menjelaskan makna tersebut:
“Dan tetaplah
segaimana diperintahkan kepadamu.” (TQS. asy-Syura [42]: 15)
Allah-lah yang
memerintah, dan seorang muslim harus mentaati perintah-Nya. Seorang muslim
tidak akan mengetahui jalan takwa dan jalan yang lurus, sendirian. Seandainya
dia mengikuti dirinya sendiri, berarti dia telah mengikuti hawa nafsu. Dan
barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, berarti dia telah menyimpang.
Oleh karena itu, istiqâmah itu tidak lain mengikuti apa yang
diperintahkan Allah semata, dan tidak melampauinya, baik dengan
melebih-lebihkan ataupun melalaikannya. Untuk memahami hal itu harus kembali
kepada asasnya.
Seorang muslim yang
beriman kepada Allah, akan beriman pula bahwa penyelesaian yang dibawa Islam
adalah sesuai dengan fithrahnya, yang telah Allah fithrahkan kepadanya. Sebab,
penyelesaian-penyelesaian itu berasal dari al-Khaliq, yang telah menciptakan fithrah
itu sendiri dan menetapkan khasiat-khasiat-nya,
serta menciptakan apa yang baik baginya.
Pada waktu yang sama,
seorang muslim juga beriman bahwa solusi yang disodorkan agama-agama dan
ideologi-ideologi lain adalah dangkal, salah, menyimpang, menyengsarakan dan
tidak membuat manusia bahagia. Karena solusi-solusi tersebut adalah buatan
manusia yang bersifat lemah, yang membutuhkan kepada yang lain, dan penuh
dengan keterbatasan. Akal manusia tidak mampu mencakup seluruh fakta tentang
dirinya sebagai manusia. Implikasinya, tidak mampu melahirkan solusi.
Islam memiliki
kelebihan dibandingkan dengan ideologi-ideologi dan agama-agama lain. Islam
adalah jalan hidup dari Allah, mencakup seluruh perbuatan manusia dan
memberikan kepada manusia solusi yang menjamin kebahagiaannya di dunia dan di
akhirat. Allah Swt. berfirman:
“Lalu,
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan celaka. Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat pada
keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku
dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah
berfirman: ‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamupun dilupakan’. Adapun orang
yang berjalan di muka bumi ini bukan dengan petunjuk Allah maka dia adalah
buta, menyimpang dari kebenaran, menyimpang dari yang haq.” (TQS. Thahaa [20]:
123-126)
Allah telah memelihara
untuk kita agama ini dari kemusnahan. Allah mencegah tangan-tangan yang akan
mengotori untuk merubah dan memalingkan nash-nash-Nya hingga musnah. Allah Swt
berfirman:
“Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (TQS. al-Hijir [15]: 9)
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar