Syariat dengan
akidahnya ditegakkan di atas landasan iman kepada Allah yang Esa, dan wajib
meng-Esakannya di dalam ibadah. Ucapan (lâ
ilâha) berarti menafikan ketuhanan, ibadah dan tasyri’ kepada selain
Allah. Dan ucapan (illa Allah) berarti itsbat (penetapan) semua itu hanya untuk
Allah. Dialah Tuhan yang layak untuk diibadahi dan layak untuk membuat hukum.
Ini mengharuskan juga beribadah dan tunduk kepada-Nya, serta mengetahui
syari’at-Nya melalui Rasulullah Saw. Inilah yang dikandung oleh bagian kedua
dari ucapan syahadat, yaitu perkataan (Muhammad Rasulullah). Artinya, wajib
menjadikan Rasulullah Saw. sebagai satu-satunya figur yang diikuti dan
diteladani dalam perkara tasyri’.
Ushul fiqih telah
membatasi sumber wahyu agar tasyri’ tidak diambil selain dari wahyu. Ushul
fiqih juga membatasi kaidah-kaidah istinbath
(penyimpulan hukum dari nash-nash) agar tidak ada unsur yang masuk ke dalam
syara’, berupa sesuatu yang bukan syara’. Oleh karena itu pembahasan pertama di
dalam ushul fiqih adalah bahwa Hâkim (pembuat
hukum) adalah Allah Swt., dan bahwa hukum itu hanya hak Allah saja. Tidak ada
hukum kecuali syara’ telah menjelaskannya.
Kemudian datang fiqih
yang merupakan terjemahan praktis untuk beribadah kepada Allah semata dan
tunduk kepada-Nya. Tidak menerima tasyri’ selain-Nya, dan hanya berhukum kepada
syari’at-Nya semata.
Dan bergabung
menjalankan sistem pemerintahan yang kufur berarti mengajak untuk ridho
mendiamkan kebathilan: undang-undang buatan manusia; musyarri’ selain Allah, sejajar dengan Allah; menerima
berbilangnya sumber tasyri’... Lalu, di mana ke-Esaan Yang Disembah, yang
menuntut ke-Esaan dalam peribadatan, baik dzahir maupun batin?
Tidak dibolehkannya
mensyarikatkan Allah mengharuskan pula tidak boleh turut serta di dalam
penetapan hukum-hukum menyalahi-Nya.
Sirah perjalanan
dakwah Rasulullah Saw. menunjukkan tidak disisakannya satu keraguanpun terhadap
fundamentalnya pemikiran dan menjauhkannya dari realitas yang mungkin bisa
mempengaruhinya. Bahkan, berusaha untuk mempengaruhi realitas dan memunculkan
perubahan. Dakwah Rasulullah Saw. tidak terpengaruh fakta-fakta syirik yang ada
di tengah-tengah orang kafir Makkah, tidak memperhatikan lagi adat kebiasaan
mereka, tidak memperhitungkan apakah manusia akan menerima atau menolak
dakwahnya, dan tidak bermanis muka kepada penguasa.
Padahal kondisi
Rasulullah Saw. dan kondisi dakwah di kota Makkah ketika itu sangat keras.
Rasulullah Saw. menyerukan (lâ ilaâha illa
Allah) yang merupakan inti Islam secara keseluruhan, dan penolakan
secara total terhadap selain Islam, baik akidah maupun syari’at. Berdasar asas
ini pula Abu Jahal bersama tokoh-tokoh Makkah lainnya melakukan penolakan.
Dengan bertumpu kepada
asas ini Rasulullah Saw. menjalankan dakwah kepada umat manusia seluruhnya,
baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, hamba sahaya ataupun orang
merdeka, kaya maupun miskin, orang Arab atau selain Arab, penyembah berhala
ataupun ahli kitab.
Rasulullah Saw.
menghadapi mereka dan berjuang untuk menyampaikannya. Beliau memulai dengan
menyebut tuhan-tuhan mereka. Mereka membalasnya dengan pemusuhan. Kemudian
mereka menawarkan kompromi, dan meminta beliau agar tidak mengganggu mereka.
Jika hal ini diterima, maka mereka juga tidak akan mengganggu beliau. Mereka
menginginkan andai saja Rasulullah Saw. bermanis muka kepada mereka, maka
mereka akan melakukan hal yang sama.
Kenyataannya,
Rasulullah Saw. tidak menuruti keinginan mereka dan memilih bersikap sabar
terhadap penolakan mereka terhadap dakwahnya, dan gangguan mereka terhadap
sahabat-sahabatnya maupun orang-orang mukmin lain yang beriman terhadapnya.
Kesabaran merupakan
bukti kebenaran dakwah dan ucapannya. Beliau Saw. juga menolak (dengan tegas)
syarat yang diajukan bani Sha’sha’ah tatkala beliau mendatangi mereka supaya
mereka menerima Islam kaaffah dan mau memberikan pertolongan mereka terhadap Islam
di saat-saat dakwah beliau dalam kondisi kritis. Tidak seorangpun yang
menolong.
Mereka bersedia untuk
menolong beliau akan tetapi dengan mengajukan persyaratan, (yaitu) jika beliau
wafat, maka kekuasaan Islam harus diserahkan kepada mereka. Saat itu beliau
tidak mengatakan adanya celah (peluang) terbuka yang dapat dimanfaatkan, setelah
setiap jalan yang ada di hadapan beliau tertutup rapat. Beliau malah mengatakan
kepada mereka -dan kepada kita juga untuk mengajarkan, memberi petunjuk dan
mengajak-:
“Perkara (kekuasaan)
itu adalah urusan Allah. Dialah yang memberikannya kepada siapa saja yang Dia
kehendaki.”
Dakwah Rasulullah Saw.
berjalan hanya bersandar kepada pemikiran dan taufiq Allah Swt. bahkan dakwah
beliau juga sampai pada tercapainya tujuan dengan berdirinya Darul Islam yang
baru seluas Madinah setelah Allah Swt. membuka hati dan akal orang-orang yang
menolong dan mendukung beliau. Ini merupakan taufiq dari Allah Swt. yang akan
diperoleh juga oleh orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, meminta
pertolongan-Nya, memelihara kejernihan pemikiran dan kecemerlangan pemahaman, istiqamah dalam perjalanan (dakwahnya) dan
menjaga kebenaran tingkah lakunya.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang ada
penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi
dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan
Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan
dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang
mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 51-52)
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar