Berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah adalah fardhu.
Wajib mengesakan Allah dan hal ini terdapat dalam syahadat
mereka. Meskipun demikian mereka (zholim) telah menelaah –berdasarkan metode
berpikirnya tadi- bahwa boleh bagi seorang muslim untuk bergabung dalam sistem
pemerintahan thaghut. Mereka telah
menyimpang jauh dari kebenaran.
Menurut logika dan
metode berpikir yang keliru itu berbagai asumsi kemaslahatan membolehkan
pelanggaran terhadap syara’ dan akan menolong musuh-musuh Allah. Pemikiran
mereka telah melahirkan perkara yang melampaui batas (yaitu) mereka menempati
posisi sebagai pembuat syara’ (hukum). Mereka mengeluarkan produk-produk yang
tidak berguna untuk dakwah ideologi Islam, tidak mendekatkan kaum Muslim pada
kebenaran ataupun kemenangan, dan tidak pula bisa merubah realitas yang ada.
Justru dampak negatif yang muncul, dan hal ini telah dibuktikan berdasarkan
realitas.
Tidak diragukan lagi
bahwa bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah menimbulkan kerusakan yang
besar. Para penguasa itu menerapkan sistem thaghut,
menyimpang dari perintah Allah dan menentang hukum-hukum-Nya. Sungguh hal ini
adalah dosa yang amat besar.
Apakah layak untuk
mendapatkan berbagai maslahat yang diasumsikan itu dengan menjadikan seorang
muslim berhak melanggar perintah Rabbnya? Apakah tidak ada jalan lain, jalan
yang tidak mengundang kemurkaan Allah?
Sesungguhnya
gerakan-gerakan Islam ketika terjun di bidang politik harus berjalan sesuai
dengan hukum syara’ dan terikat dengan metode Rasulullah Saw.
Apakah tidak ada jalan
yang benar bagi seorang da’i untuk menyeru peminum khamr meninggalkan
kebiasaannya itu selain jalan yang salah yaitu dengan masuk ke bar, kemudian
turut minum khamr bersamanya. Kemudian meninggalkan perbuatan itu untuk
meyakinkan peminum khamr bahwa dia mampu meninggalkannya. Demi Allah, betapa
lemahnya akal yang melahirkan pemikiran seperti ini! Bagaimana mungkin dia
mengizinkan dirinya mengganti syari’at Allah!
Sistem bathil yang
dimasuki oleh mereka itu tidak akan berubah dengan kehadiran mereka, bahkan
justru memperburuk citra mereka di hadapan masyarakat, karena masyarakat akan
menempatkan sikap yang sama terhadap sistem maupun orang-orang yang bergabung
di dalamnya.
Justru mereka akan
memberikan contoh yang buruk dan teladan yang tidak layak untuk ditiru. Hal itu
telah dibuktikan berdasarkan kenyataan.
Jika tidak ada gerakan
Islam yang ikhlas dan sadar yang tampil menghadapi seruan-seruan ini, dan ulama
kaum Muslim yang pemberani maka Islam pasti akan hilang dari jiwa-jiwa manusia
seperti mereka akibat keterangan-keterangan yang telah diberikan dan sikap-sikap
kompromistis terhadap kebathilan oleh para pencetus ide-ide ini yang tekun
memperkuat dan membelanya.
Demi Allah, betapa
jauhnya perbedaan antara gerakan-gerakan atau “ulama” yang berada dalam
kubangan sistem jahiliah itu yang menyesaki dadanya dengan sistem yang rusak,
dengan gerakan-gerakan Islam dan ulama yang mengatakan yang hak dan
menegakkannya, yang tidak takut celaan orang-orang yang mencela, meskipun
dijebloskan ke dalam penjara para penguasa muslim. Ingatlah dengan firman Allah
Swt.:
“Maka bersabarlah kamu
seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah
bersabar.” (TQS. al-Ahqaf [46]: 35)
“Maka bersabarlah
kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar.” (TQS. ar-Ruum [30]: 60)
Gerakan ideologi Islam
mesti melalui jalan yang benar untuk meraih cita-cita tanpa terjerumus pada
perkara bathil. Pada hakikatnya tidak ada maslahat yang akan tercapai apabila
melakukan maksiat kepada Allah dan turut serta kekuasaan sistem pemerintahan yang
jahiliah. Sebaliknya, justru akan berakibat negatif baginya, dakwah dan Islam.
Dengan metode yang
bathil maka para tokoh dan anggotanya belajar untuk bersikap
membengkok-bengkokkan kebenaran. Apabila mereka berkumpul dengan penguasa
tempat mereka bergabung di dalam sistem pemerintahan bathil, maka mereka akan
mengatakan apa yang disukai manusia. Pernyataan-pernyataan mereka menjadi
berubah-rubah. Dan mereka
di sebagian besar waktunya berdiam diri terhadap tuntunan-tuntunan Islam yang
dianggap tidak sesuai dengan kepentingannya.
Dakwah yang mereka
lakukan akhirnya hanya terbatas pada hal-hal yang tidak membahayakan sistem
bathil yang ada. Mereka enggan mendakwahkan hukum-hukum yang membuat sistem
bathil gelisah dan selanjutnya tidak pernah berpikir untuk keluar dari situasi
itu.
Mereka menjadikan
maslahat sebagai standar (tolok ukur) usaha-usaha politiknya, bukan keterikatan
dengan hukum syara’. Apa yang bisa mendatangkan maslahat, mereka kerjakan,
meskipun melanggar syara’. Di dalam metode berpikir mereka terdapat kelancangan
terhadap agama dan berbelok
dari nash-nash yang shahih dan qath’i.
Mereka yang
menggunakan metode berpikir akal-akalan ini telah membuka peluang bagi diri
mereka sendiri untuk membuat hukum, dan membolehkan hawa nafsu mereka untuk
menilai mana yang manfaat dan mana yang mudharat yang terkait dengan setiap
perbuatan yang ingin mereka jalankan.
Apabila menurut akal
mereka manfaat suatu perbuatan jauh lebih besar dari mudharat-nya, maka
perbuatan itu harus dikerjakan. Dan jika mudharat-nya lebih besar dari pada
manfaatnya -menurut akalnya- maka perbuatan itu ditinggalkan. Dengan metode
berpikir akal-akalan itu seorang muslim memposisikan dirinya sebagai musyarri’ (pembuat syari’at) karena dia
mengukur maslahat dengan akal dan hawa nafsunya.
Adapun apa yang mereka
contohkan dengan mengutip pendapat sebagian ulama untuk memperkuat pemikiran
mereka, maka pendapat manusia bukanlah hujjah yang bernilai di hadapan syara’,
tidak termasuk sebagai dalil dan tidak layak digunakan sebagai hujjah. Apabila
mereka mengatakan: bahwa si fulan berpendapat demikian, demikian, maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya telah berkata dengan perkataan-perkataan
yang benar, qath’i dan kuat.
Apakah dibenarkan kita
menghapus perkataan Allah dan Rasul-Nya dengan perkataan manusia, siapapun
dia?! Pemikiran maslahat telah menguasai para pencetus ide ini sehingga mereka
layak disebut sebagai oportunis. ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar