Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 31 Oktober 2017

Dilarang Puasa Ramadhan Sebelum Ramadhan (Haram Puasa Hari Syak)



PUASA YANG DIHARAMKAN

Puasa Hari Syak

Yang dimaksud hari syak adalah hari yang masih diragukan: apakah hari tersebut hari terakhir bulan Sya’ban ataukah sudah menjadi hari pertama bulan Ramadhan?
Maka kami katakan sebagai berikut: jika saat menjelang malam pada siang hari dua puluh sembilan dari bulan Sya'ban langit tertutup awan, berkabut, atau berdebu, yang berakibat pandangan untuk melihat hilal menjadi terhalang, maka wajib bagi kaum Muslim pada saat itu untuk menyempurnakan bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Mereka tidak boleh berpuasa pada hari syak itu dengan alasan kehati-hatian, kalau-kalau sudah masuk Ramadhan.
Mereka tidak berpuasa Ramadhan kecuali setelah melihat terbitnya hilal (bulan sabit) Ramadhan.
Mengenai orang yang berpuasa sebelum hari syak, dan ingin melanjutkan puasanya lalu dia berpuasa, dengan pandangan bahwa hari itu sebagai bagian dari Sya'ban, maka tidak menjadi masalah.
Tirmidzi berkata: “Yang diamalkan oleh ahli ilmu adalah, mereka memakruhkan seseorang yang terburu-buru puasa sebelum bulan Ramadhan benar-benar masuk…”

Nash-nash syariat berikut telah memberikan solusi yang jelas dan tegas terkait masalah tersebut:

1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi Saw. (Abul Qasim Saw.) bersabda:

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika hilal terhalang dari (pandangan) kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari [1909], Muslim, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hiban dan ad-Darimi)

Dalam riwayat Muslim [2516] disebutkan dengan redaksi:

“Jika hilal terhalang dari kalian oleh awan, maka kira-kirakanlah menjadi tiga puluh hari.”

Dalam riwayat Bukhari yang lain [1906] disebutkan dengan redaksi:

“Jika hilal terhalang dari kalian oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya'ban) tiga puluh hari.”

Redaksi terakhir ini berasal dari jalur Ibnu Umar ra.

Kalimat yang disebutkan dalam hadits tersebut: ghubbiya 'alaikum, bisa juga dibaca ghabiya 'alaikum, artinya adalah khafiya 'alaikum (tidak nampak bagi kalian), diambil dari kata al-ghaba yakni sesuatu mirip debu di langit, sebagaimana diterangkan oleh penulis kamus Lisan al-Arab.

2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan itu dengan puasa satu dan dua hari, kecuali jika puasanya itu menjadi kebiasaan salah seorang dari kalian. Dan janganlah berpuasa hingga melihatnya, kemudian berpuasalah hingga kalian melihatnya. Jika awan menghalangi kalian, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari, kemudian berbukalah kalian. Dan satu bulan itu adalah dua puluh sembilan (hari).” (HR. Abu Dawud [2327] dan al-Baihaqi)

An-Nasai [2129] dan Ahmad meriwayatkan hadits dengan redaksi:

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika antara kalian dengan hilal itu terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangannya, dan janganlah sekali-kali kalian mendahului bulan tersebut.”

Abu Dawud at-Thayalisi [2671] meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika antara kalian dengan hilal itu terhalang awan atau kabut, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, dan janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu hari (yang masih terhitung) bulan Sya'ban.”

3. Dari Muhammad bin Kaab al-Quradhi ra., ia berkata:

“Aku menemui Anas bin Malik di waktu ashar pada hari yang diragukan sebagai Ramadhan, dan aku ingin mengucapkan salam kepadanya. Kemudian dia meminta makanan dan memakannya, lalu aku bertanya: Apakah yang engkau lakukan ini adalah sunnah? Dia menjawab: Ya.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath [9039])

Al-Haitsami berkata: para perawi hadits ini adalah orang-orang shahih.

4. Dari Abu Huraira ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu dan dua hari, kecuali seseorang yang biasa melakukannya maka dipersilakan baginya untuk berpuasa.” (HR. Muslim [2518], Bukhari, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

5. Dari Shilah bin Zufar, ia berkata:

“Kami berada di samping Ammar bin Yasir ra., lalu dia meminta daging kambing yang dipanggang. Setelah itu dia berkata: Makanlah oleh kalian. Kemudian sebagian orang enggan dan berkata: Sesungguhnya aku (sedang) berpuasa. Maka Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak, maka sungguh dia telah durhaka kepada Abul Qasim Saw.” (HR. al-Hakim [1/424], dan dishahihkan serta diakui oleh ad-Dzahabi)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: status hadits ini hasan shahih.
An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini pula.
Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini dan berkata: sanad hadits ini hasan shahih.
Ibnu Abdil Barr berkata: hadits ini menurut ahli hadits adalah hadits musnad yang marfu' yang tidak diperselisihkan lagi oleh mereka, maksud kalimat ini adalah bahwa hadits ini berstatus marfu, kepada Rasulullah Saw. dengan sebab perkataan Ammar: maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Saw. Hadits ini bukan pemahaman atau sekedar ijtihad seorang Ammar.

Hadits yang pertama memiliki dilalah yang jelas.
Hadits yang kedua dan keempat menunjukkan, selain memiliki dilalah yang ditunjukkan oleh hadits pertama, bahwa jika seseorang biasa berpuasa beberapa hari di bulan Sya’ban, dan puasanya dilakukan secara terus-menerus hingga hari terakhir bulan Syaban, maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena puasa seperti itu dipandang sebagai puasa beberapa hari dari bulan Sya'ban. Puasanya itu tidak menyalahi makna dan pengertian yang dituntut oleh teks hadits tersebut, di mana hadits-hadits tersebut melarang dari puasa di akhir Sya'ban sebagai mendahului bulan Ramadhan, dalam arti bahwa hadits tersebut melarang memasukkan hari terakhir bulan Sya'ban itu ke dalam bulan Ramadhan, dan menghitungnya sebagai bagian dari Ramadhan.
Adapun puasa di hari-hari bulan Sya'ban sebagai bagian dari bulan Sya'ban, maka tidak menjadi masalah.
Mengenai hadits kelima menyebutkan bahwa puasa hari syak itu -akhir Sya’ban ketika ada sesuatu yang menghalangi pandangan mata melihat hilal- hukumnya tidak boleh alias haram.
Dengan pernyataan ini, maka pendapat yang memakruhkan puasa hari syak itu ternafikan, dan berpuasa di akhir Sya'ban lalu memasukkan hari itu sebagai bagian dari Ramadhan dalam rangka kehati-hatian maka itu adalah haram, bukan makruh saja.
Hadits ketiga menetapkan bahwa berbuka pada hari syak, itu adalah sunnah yang disyariatkan dalam Islam, sunnah dalam arti metode dan jalan yang harus diikuti.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Musa -dikatakan juga dari Abdullah bin Abi Qais menurut riwayat yang lebih shahih- dia berkata:

“Dan aku bertanya kepadanya, yakni kepada Aisyah ra., tentang hari yang diperselisihkan sebagai Ramadhan, maka Aisyah berkata: Sungguh puasa sehari bulan Sya'ban itu lebih aku sukai daripada berbuka satu hari dari bulan Ramadhan. Dia (Abdullah bin Qais) berkata: Kemudian aku keluar, lalu bertanya kepada Ibnu Umar dan Abu Hurairah. Maka setiap orang dari keduanya berkata: Isteri-isteri Nabi Saw. lebih tahu tentang hal itu daripada kami.” (HR. Ahmad [25458], Said bin Mansur dan alBaihaqi)

Ini adalah ijtihad Aisyah ra., yang jelas bertentangan dengan nash-nash di atas, sehingga tidak boleh diambil.
Ijtihad ini tidak memiliki kekuatan apapun di hadapan hadits-hadits kami tersebut, yang jelas-jelas melarang puasa akhir Sya’ban dan memasukkannya ke dalam bulan Ramadhan.

Abu Hanifah dan Malik mengharamkan puasa pada hari syak sebagai bagian dari Ramadhan, dan membolehkannya bila tidak memasukkannya ke dalam Ramadhan.
Ini adalah pendapat yang shahih, sesuai dengan pengertian yang ditunjukkan oleh nash.
Jumhur ulama dan Syafi'i melarang puasa pada hari syak.
Ibnu Abdil Barr berkata: orang yang diriwayatkan memakruhkan (kariha) puasa pada hari syak adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik.

Kami telah mengetahui bahwa Ammar bin Yasir telah menyebutkan hadits kelima, yang menunjukkan pengharaman puasa pada hari syak, bukan sekedar makruh saja.
Saya katakan di sini bahwa ungkapan: “kariha fulan”, jika disebutkan oleh lisan sebagian ahli fikih, maka yang mereka maksud adalah mengharamkan (at-tahrim), bukan sekedar kemakruhan (al-karahah) menurut pengertian istilahnya, sehingga hendaknya hal ini diperhatikan benar oleh para pembaca.
Contoh lain misalnya Tirmidzi, setelah meriwayatkan hadits Ammar yang berbunyi:

“Maka sungguh dia telah durhaka kepada Abul Qasim Saw.”

Ia berkata: “untuk mengamalkan hadits ini menurut mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi'in, dan juga yang dikatakan oleh Sufyan at-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq; mereka semua telah memakruhkan seseorang berpuasa pada hari syak tersebut. Tirmidzi menggunakan kata “mereka memakruhkan,” yang maksudnya adalah makruh untuk mengharamkan (karahah tahrim).

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam