Mustahadhah dan Hukumnya
Mustahadhah adalah wanita yang mengeluarkan
darah dari farjinya bukan pada masa
haidnya, yakni wanita yang melihat darah yang bukan darah haid dan darah nifas.
Hukum wanita mustahadhah adalah hukum wanita yang suci
dalam hal kewajiban menjalankan ibadah, seperti shalat, puasa dan thawaf.
Karena istihadhah itu adalah najis yang
tidak biasa. Istihadhah semisal dengan
air kencing yang terus-menerus keluar tanpa bisa dikendalikan (enuresis).
Dalam pembahasan darah
haid
dan masa haid telah disebutkan semua jenis istihadhah,
sehingga kami tidak perlu mengulasnya kembali. Beberapa hukum berikut berlaku
untuk wanita mustahadhah:
1. Mandi
Para ulama dan para
imam berbeda pendapat dalam masalah mandinya wanita mustahadhah. Mereka terbagi menjadi dua pendapat besar,
sedangkan pendapat yang ketiga tergolong kecil.
Ibnu Mas’ud, Ali dan
Ibnu Abbas dalam satu riwayat darinya, Aisyah dalam satu riwayat, Urwah bin
Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, dan Imam yang empat berpendapat seorang
wanita mustahadhah itu wajib mandi satu
kali saja ketika haidnya berhenti.
Ibnu Umar, Ibnu
Zubair, Atha bin Abi Rabbah, Ali dan Ibnu Abbas dalam riwayat lain berpendapat
wanita mustahadhah wajib mandi setiap
kali hendak shalat.
Said bin Musayyab dan
Hasan secara menyendiri menyatakan bahwa wanita mustahadhah
itu mandi dari shalat dhuhur hingga shalat dhuhur di hari berikutnya, yakni
mandi satu kali untuk setiap satu hari satu malam.
Abu Dawud meriwayatkan
dari Aisyah bahwasanya dia berkata:
“Wanita tersebut mandi
setiap hari satu kali.”
Agar kebenaran
pendapat yang pertama jelas bagi kita semua, maka kita harus mengkaji lebih
jauh hadits-hadits yang terkait persoalan ini:
a. Dari Aisyah ra.:
“Bahwasanya Fathimah
binti Abu Hubaisy mengeluarkan darah istihadhah,
lalu dia bertanya pada Nabi Saw. Maka beliau Saw. bersabda: “Itu adalah
pembuluh darah yang pecah, bukan darah haid. Jika datang waktu haid maka
tinggalkanlah shalat, dan jika selesai waktu haid maka mandilah dan shalatlah.”
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
b. Dari Aisyah ra.,
dia berkata:
“Sesungguhnya Ummu
Habibah binti Jahsy yang diperisteri Abdurrahman bin Auf mengadukan darahnya
(yang keluar) pada Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw. berkata padanya:
“Tunggulah (jalanilah) selama masa haid biasa menahanmu, kemudian mandilah.”
Maka Ummu Habibah mandi setiap kali hendak shalat.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu
Dawud)
c. Dari Ummu Salamah
ra.:
“Sesungguhnya ada
seorang wanita yang darahnya terus-menerus keluar, lalu Ummu Salamah isteri
Nabi Saw. menanyakan hal itu kepada beliau Saw. Nabi Saw. berkata: “Hendaknya
dia menunggu dalam beberapa hari dan malam dari masa yang biasa dilaluinya dari
bulan tersebut, sebelum ia mengalami apa yang telah dialaminya ini. Dan
hendaknya dia meninggalkan shalat selama masa haid yang biasa dilaluinya dari
bulan tersebut. Jika sudah mencapai jumlah hari yang biasa dilaluinya, maka
hendaklah dia mandi, kemudian balutlah dengan kain, lalu shalatlah.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
d. Dari Hamnah binti
Jahsy, dia berkata:
“Aku mengeluarkan
darah banyak sekali, maka aku datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta
fatwa dan menceritakan hal itu kepadanya. Lalu aku pun menemui beliau yang saat
itu sedang berada di rumah saudariku, Zainab binti Jahsy. Hamnah berkata: Wahai
Rasulullah, aku ada keperluan denganmu. Beliau Saw. bertanya: “Keperluan apakah
itu?” Aku lantas bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengeluarkan
darah yang banyak sekali, apa pendapatmu tentang hal itu, padahal darah
tersebut telah menghalangiku dari melaksanakan shalat dan puasa? Beliau Saw.
berkata: “Aku sarankan engkau memakai kapas, karena ia bisa menghilangkan
darah.” Dia berkata: Tetapi darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Saw.
berkata: “Maka balutlah tempat keluarnya darah.” Dia berkata: Tetapi darahnya
keluar dengan banyak. Beliau Saw. berkata padanya: “Aku perintahkan kepadamu
dua perkara. Salah satu perkara yang manapun yang engkau lakukan, itu sungguh
sudah cukup bagimu (untuk tidak melakukan) yang lain. Jika engkau mampu melakukan
keduanya maka engkau lebih tahu akan hal itu.” Beliau Saw. berkata padanya:
“Darah seperti ini hanyalah salah satu hentakan dari setan, maka tetapkanlah
masa haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian hendaknya engkau
mandi, hingga jika engkau melihat bahwa engkau telah suci dan yakin untuk
membersihkan diri, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga malam dan
siang, dan berpuasalah, karena hal itu sah bagimu. Seperti itulah yang harus
engkau lakukan di setiap bulan, seperti halnya kaum wanita mengalami haid dan
mengalami masa suci dengan waktu-waktu haid dan suci mereka. Jika engkau mampu
untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar maka hendaknya engkau mandi,
kemudian laksanakanlah shalat dhuhur dan ashar secara digabungkan, kemudian
hendaknya kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya, lalu mandilah
dan gabungkanlah dua shalat tersebut dan kerjakanlah. Dan hendaknya engkau
mandi untuk shalat subuh dan shalatlah. Seperti itulah yang harus engkau
lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah jika engkau mampu untuk itu.” Dan dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah dua perkara yang paling
mengagumkan bagiku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits ini dihasankan oleh Bukhari dan ad-Dzahabiy.
Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih,
dan seperti ini pula komentar yang dilontarkan Ahmad bin Hanbal.
Hadits pertama dari
Aisyah menyebutkan:
“Dan jika selesai
waktu haid maka mandilah dan shalatlah.”
Dan hadits kedua dari
Aisyah menyebutkan:
“Tunggulah selama masa
haid biasa menahanmu, kemudian mandilah”
Dan hadits Ummu
Salamah menyebutkan:
“Jika sudah mencapai
jumlah hari yang biasa dilaluinya maka hendaklah dia mandi, kemudian ikatlah
dengan kain, lalu shalatlah.”
Status dua hadits
Aisyah di atas adalah shahih, sedangkan
hadits Ummu Salamah telah dikomentari an-Nawawi: sanadnya
memenuhi syarat Bukhari dan Muslim, tetapi hadits ini didhaifkan oleh al-Baihaqi. Dia berkata: Sesungguhnya Sulaiman bin
Yasar tidak mendengar hadits ini dari Ummu Salamah. Diperkuat lagi oleh
al-Mundziri yang mengatakan: Sulaiman tidak mendengar hadits ini.
Ad-Daruquthni
menyampaikan hadits tersebut dengan sanad seperti ini: Dari Shakhr bin
Juwairiyah, dari Nafi, dari Sulaiman bin Yasar, bahwasanya seorang laki-laki
telah menceritakan kepadanya sebuah hadits dari Ummu Salamah, sehingga mereka
menetapkan hadits ini sebagai hadits dhaif
karena di dalam sanadnya ada perawi yang
majhul (tidak dikenal identitasnya).
Tetapi Musa bin Aqabah mengatakan: Dari Nafi dari Sulaiman bin Yasar dari
Marjanah dari Ummu Salamah. Musa menempatkan seorang perempuan bernama
Marjanah, pengganti lelaki yang majhul
itu. Ini tentu menyalahi sanad ad-Daruquthni dan selainnya, sehingga
bagaimanapun juga hadits ini tetap dhaif,
yang karenanya harus kita buang. Kita cukup menggunakan dua hadits dari Aisyah
saja, dan meninggalkan hadits Hamnah untuk pembahasan berikutnya.
Dua hadits Aisyah ini
menunjukkan bahwa seorang wanita mustahadhah
itu mandi satu kali setelah selesai masa haidnya. Seandainya dia harus mandi
setiap kali hendak shalat, niscaya hadits-hadits tersebut akan menyebutkannya
sebagaimana menyebutkan harus berwudhu untuk setiap kali hendak shalat.
Misalnya disebutkan dalam hadits dari Aisyah, dia berkata:
“Fathimah bin Hubaisy
datang menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
mengeluarkan darah yang sangat banyak sehingga aku tidak bisa suci, apakah aku
harus meninggalkan shalat. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Tidak, sesungguhnya
itu hanyalah pembuluh darah yang pecah, bukan darah haid. Jika datang masa
haidmu maka tinggalkanlah shalat, dan jika pergi masa haidmu maka bersihkanlah
darah darimu dan kemudian shalatlah.” Abu Muawiyah berkata dalam haditsnya: Dan
Nabi Saw. berkata: “Berwudhulah engkau untuk setiap shalat, hingga datang waktu
itu.” (HR. at-Tirmidzi)
Tirmidzi berkata:
hadits ini hasan shahih.
Tambahan ini disokong
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani.
Perintah berwudhu
untuk setiap shalat juga diriwayatkan oleh Ahmad dan ad-Darimi. Di dalam hadits
ini terdapat perintah untuk berwudhu setiap kali hendak shalat, sedangkan dua
hadits dari Aisyah menyebutkan mandi saja dan tidak menyebutkan wudhu. Kedua hadits
tersebut menyebutkan mandi tanpa dibatasi atau ditaqyid
dengan kalimat ”setiap kali shalat.”
Sedangkan ketika
menyebutkan wudhu, hadits ini mentaqyidnya
dengan kalimat “untuk setiap shalat”, sehingga ini menunjukkan adanya perbedaan
antara perintah untuk mandi dengan perintah untuk berwudhu. Mandi itu harus
dilakukan satu kali saja, sedangkan wudhu itu harus dilakukan setiap kali
hendak shalat.
Bisa jadi dikatakan
bahwa hadits Adi bin Tsabit, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw.,
berkata:
“Wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) itu meninggalkan shalat pada
hari-hari haidnya. Kemudian dia harus mandi dan berwudhu setiap kali hendak
shalat, dan harus berpuasa dan shalat.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, dan
at-Tirmidzi) Hadits dhaif.
(Bisa jadi dikatakan)
bahwa hadits ini memerintahkan mandi dan berwudhu untuk setiap shalat. Maka
kami katakan, hadits ini adalah hadits dhaif
sehingga tidak layak diperhatikan dan tidak layak dijadikan hujjah, karena kedhaifan
Abul Yaqdzan yang meriwayatkan hadits ini dari Adis Abul Yaqdzan telah
dikomentari oleh Yahya bin Malin: Haditsnya tidak bernilai sama sekali. Abu
Hatim berkata: Ibnu Mahdi meninggalkan haditsnya ini. Abu Hatim juga berkata:
Hadits Abul Yaqdzan ini dhaif dan munkar. Abul Yaqdzan juga didhaifkan oleh al-Hakim, Yahya bin Said,
an-Nasai, dan ad-Daruquthni dengan ungkapan pendhaifan
yang beragam.
Berdasarkan paparan di atas
jelaslah bahwa seorang wanita mustahadhah dituntut untuk mandi satu kali saja ketika selesai masa
haidnya, kemudian dia shalat, dan diharuskan berwudhu setiap kali hendak
shalat.
Perihal hadits yang
diriwayatkan perawi lainnya dari Aisyah ra.:
“Bahwasanya Ummu
Habibah binti Jahsy mengeluarkan darah istihadhah
pada masa Rasulullah saw. Lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya mandi untuk
setiap shalat.” (HR. Abu Dawud) Hadits dhaif.
Maka di dalam hadits
ini ada nama Muhammad bin Ishaq yang telah meriwayatkan hadits ini secara mu'an'an, sehingga hadits ini dipandang dhaif.
Sedangkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasai dari Aisyah ra. secara marfu’ dengan
lafadz:
“Hendaklah dia
memperhatikan masa haid yang biasa dilaluinya, dan hendaknya dia meninggalkan
shalat. Kemudian hendaknya dia memperhatikan sesuatu setelah (masa haid yang
biasa dilaluinya) itu, lalu hendaknya dia mandi setiap kali shalat, dan
kemudian shalatlah.”
(Maka hadits ini)
bertentangan dengan hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya dari Aisyah:
“Bahwasanya Ummu
Habibah binti Jahsy yang diperisteri Abdurrahman bin Auf mengadukan persoalan
darah pada Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Tunggulah
selama masa haidmu menahanmu, kemudian mandilah. Dan Ummu Habibah mandi pada setiap
kali shalat.
Di dalam riwayat yang shahih ini tidak ada perintah untuk mandi pada
setiap kali shalat. Kalimat yang ada di penghujung hadits :
“Dan Ummu Habibah
mandi pada setiap kali shalat.”
Sebenarnya bukan
berasal dari nash hadits tersebut, yakni bukan perintah dari Rasulullah Saw.
Ungkapan kalimat seperti itu mengandung arti bahwa Ummu Habibah secara suka
rela mandi pada setiap kali shalat.
Al-Laits bin Said
berkata: Ibnu Syihab tidak menuturkan Rasulullah Saw. memerintahkan Ummu
Habibah binti Jahsy ra. untuk mandi pada setiap kali shalat, tetapi itu
merupakan inisiatif diri Ummu Habibah sendiri.
An-Nawawi berkata:
Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi
Saw. yang memerintahkannya mandi, melainkan yang satu kali saja, yakni ketika
darah haidnya sudah berhenti, yaitu sabda beliau Saw.:
“Jika datang waktu
haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika selesai waktu haid maka mandilah.”
(HR. Bukhari)
Di dalam hadits ini
tidak ada tuntutan untuk mengulang mandi.
An-Nawawi menambahkan:
Sedangkan di dalam hadits-hadits yang terdapat pada Sunan Abu Dawud,
al-Baihaqi, dan selainnya, bahwa Nabi Saw. memerintahkan mandi, tidak ada
satupun yang terbukti keshahihannya.
Hadits: “Jika datang
waktu haid...” yang dimaksud an-Nawawi adalah hadits Fathimah binti Abi
Hubaisy, bukan hadits Ummu Habibah binti Jahsy yang sedang kita bahas. Walaupun
begitu ucapan an-Nawawi masih dipandang tepat, di mana peralihannya dari satu
hadits ke hadits lain tidak mempengaruhi kekuatan istidlal
atau pengambilan kesimpulan yang dilakukannya.
Selain itu al-Baihaqi
sendiri mendhaifkan hadits-hadits yang
memerintahkan mandi untuk setiap kali shalat.
As-Syafi’i berkata:
Sebenarnya Rasulullah Saw. memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi dan shalat.
Di dalam hadits tersebut tidak ada perintah mandi untuk setiap kali shalat.
As-Syafi’i
menambahkan: Insya Allah tidak ragu lagi
mandi yang dilakukan Ummu Habibah (yang dilakukannya setiap kali hendak shalat)
adalah sunat saja hukumnya, karena berbeda dengan yang diperintahkan kepadanya
(hanya satu kali setelah haidh saja-pen.),
dan hal ini sah-sah saja dilakukannya.
Pendapat semisal
dilontarkan juga oleh Sufyan bin Uyainah.
As-Syaukani berkata:
Pendapat yang dipegang oleh jumhur yang tidak mewajibkan mandi kecuali setelah
selesainya haid, itulah pendapat yang benar, karena tidak ada dalil yang shahih yang bisa dijadikan hujjah (untuk mewajibkan mandi setiap kali
shalat).
Sekarang kita kaji
hadits Hamnah binti Jahsy di atas:
1. Penggalan hadits
yang berbunyi:
“Aku perintahkan
kepadamu dua perkara, salah satu perkara yang manapun yang engkau lakukan itu
sungguh sudah cukup bagimu (untuk tidak melakukan) yang lain. Jika engkau mampu
melakukan keduanya maka engkau lebih tahu akan hal itu.”
2. Penggalan hadits
yang berbunyi:
“Maka tetapkanlah masa
haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian hendaknya engkau
mandi, hingga jika kamu melihat bahwa engkau telah suci dan yakin untuk
membersihkan diri, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga malam dan
siang, dan berpuasalah, karena sesungguhnya hal itu sudah cukup dan sah
bagimu.”
3. Penggalan hadits
yang berbunyi:
“Jika engkau mampu
untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar maka hendaknya engkau mandi,
kemudian laksanakan shalat dhuhur dan ashar secara digabungkan. Kemudian
hendaknya engkau akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya, lalu
mandilah, dan gabungkanlah dua shalat tersebut dan kerjakanlah. Dan hendaknya
engkau mandi untuk shalat subuh dan shalatlah. Seperti itulah yang harus engkau
lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah jika engkau mampu untuk itu.” Dan dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah dua perkara yang paling
mengagumkan bagiku.”
Dalam penggalan hadits
yang pertama, Rasulullah Saw. memberi pilihan kepada Hamnah untuk melakukan
salah satu di antara dua perbuatan, di mana beliau Saw. menjelaskan bahwa jika
dia melakukan salah satunya maka gugurlah darinya kewajiban yang lain. Ini merupakan
ungkapan yang sangat jelas.
Kita melihat pilihan
yang pertama terdapat dalam penggalan yang kedua. Di dalamnya beliau Saw.
memerintahkan Hamnah untuk mandi setelah selesai haid, kemudian shalat. Di
dalam penggalan tersebut tidak ada perintah apapun untuk mengulang mandi,
terlebih lagi ketika beliau Saw. menegaskan: “karena sesungguhnya hal itu sudah
cukup dan sah bagimu.”
Sedangkan di dalam
penggalan ketiga kita melihat pilihan kedua. Di dalamnya beliau Saw.
memerintahkan Hamnah untuk mandi pada setiap dua shalat (dhuhur dengan ashar,
maghrib dengan isya) dan mandi untuk shalat fajar pada setiap harinya. Beliau
Saw. sangat menganjurkan pilihan ini kepadanya dengan mengatakan: Ini adalah
dua perkara yang paling mengagumkan bagiku.
Dengan demikian,
pilihan pertama adalah seperti yang kami katakan sebelumnya: yakni mandi satu
kali saja, dan ini sudah cukup.
Sedangkan pilihan
kedua adalah mandi tiga kali setiap harinya, dan ini lebih afdhal (lebih utama) tetapi tidak wajib
hukumnya.
Inilah ringkasan
hadits Hamnah, di dalamnya tidak ada kewajiban untuk mengulang mandi, yang ada
disunahkan saja, dan ini menjadi dalil bagi kita juga bahwa kewajiban itu sudah
gugur dengan satu kali mandi saja.
Dengan demikian hadits
Hamnah ini menunjukkan bahwa mandi satu kali saja sudah cukup, dan mandi untuk
setiap dua shalat yang dijama' itu lebih
utama, karena itu, mandi untuk setiap dua shalat itu sunah hukumnya.
Sedangkan pendapat
Ibnu al-Musayyab dan al-Hasan, serta Aisyah dalam satu riwayat darinya, yakni
mewajibkan mandi setiap hari atau setiap hari dan setiap malam, maka saya tidak
menemukan adanya nash yang shahih dan hasan yang menunjukkannya, sehingga pendapat
tersebut harus ditinggalkan.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar