Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 11 September 2017

Mustahadhah Mandi Wajib Karena Haid Saja Tidak Karena Istihadhah



Mustahadhah dan Hukumnya

Mustahadhah adalah wanita yang mengeluarkan darah dari farjinya bukan pada masa haidnya, yakni wanita yang melihat darah yang bukan darah haid dan darah nifas.
Hukum wanita mustahadhah adalah hukum wanita yang suci dalam hal kewajiban menjalankan ibadah, seperti shalat, puasa dan thawaf. Karena istihadhah itu adalah najis yang tidak biasa. Istihadhah semisal dengan air kencing yang terus-menerus keluar tanpa bisa dikendalikan (enuresis).
Dalam pembahasan darah haid dan masa haid telah disebutkan semua jenis istihadhah, sehingga kami tidak perlu mengulasnya kembali. Beberapa hukum berikut berlaku untuk wanita mustahadhah:

1. Mandi

Para ulama dan para imam berbeda pendapat dalam masalah mandinya wanita mustahadhah. Mereka terbagi menjadi dua pendapat besar, sedangkan pendapat yang ketiga tergolong kecil.
Ibnu Mas’ud, Ali dan Ibnu Abbas dalam satu riwayat darinya, Aisyah dalam satu riwayat, Urwah bin Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, dan Imam yang empat berpendapat seorang wanita mustahadhah itu wajib mandi satu kali saja ketika haidnya berhenti.
Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Atha bin Abi Rabbah, Ali dan Ibnu Abbas dalam riwayat lain berpendapat wanita mustahadhah wajib mandi setiap kali hendak shalat.
Said bin Musayyab dan Hasan secara menyendiri menyatakan bahwa wanita mustahadhah itu mandi dari shalat dhuhur hingga shalat dhuhur di hari berikutnya, yakni mandi satu kali untuk setiap satu hari satu malam.
Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah bahwasanya dia berkata:

“Wanita tersebut mandi setiap hari satu kali.”

Agar kebenaran pendapat yang pertama jelas bagi kita semua, maka kita harus mengkaji lebih jauh hadits-hadits yang terkait persoalan ini:

a. Dari Aisyah ra.:

“Bahwasanya Fathimah binti Abu Hubaisy mengeluarkan darah istihadhah, lalu dia bertanya pada Nabi Saw. Maka beliau Saw. bersabda: “Itu adalah pembuluh darah yang pecah, bukan darah haid. Jika datang waktu haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika selesai waktu haid maka mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

b. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Sesungguhnya Ummu Habibah binti Jahsy yang diperisteri Abdurrahman bin Auf mengadukan darahnya (yang keluar) pada Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw. berkata padanya: “Tunggulah (jalanilah) selama masa haid biasa menahanmu, kemudian mandilah.” Maka Ummu Habibah mandi setiap kali hendak shalat.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

c. Dari Ummu Salamah ra.:

“Sesungguhnya ada seorang wanita yang darahnya terus-menerus keluar, lalu Ummu Salamah isteri Nabi Saw. menanyakan hal itu kepada beliau Saw. Nabi Saw. berkata: “Hendaknya dia menunggu dalam beberapa hari dan malam dari masa yang biasa dilaluinya dari bulan tersebut, sebelum ia mengalami apa yang telah dialaminya ini. Dan hendaknya dia meninggalkan shalat selama masa haid yang biasa dilaluinya dari bulan tersebut. Jika sudah mencapai jumlah hari yang biasa dilaluinya, maka hendaklah dia mandi, kemudian balutlah dengan kain, lalu shalatlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

d. Dari Hamnah binti Jahsy, dia berkata:

“Aku mengeluarkan darah banyak sekali, maka aku datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta fatwa dan menceritakan hal itu kepadanya. Lalu aku pun menemui beliau yang saat itu sedang berada di rumah saudariku, Zainab binti Jahsy. Hamnah berkata: Wahai Rasulullah, aku ada keperluan denganmu. Beliau Saw. bertanya: “Keperluan apakah itu?” Aku lantas bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengeluarkan darah yang banyak sekali, apa pendapatmu tentang hal itu, padahal darah tersebut telah menghalangiku dari melaksanakan shalat dan puasa? Beliau Saw. berkata: “Aku sarankan engkau memakai kapas, karena ia bisa menghilangkan darah.” Dia berkata: Tetapi darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Saw. berkata: “Maka balutlah tempat keluarnya darah.” Dia berkata: Tetapi darahnya keluar dengan banyak. Beliau Saw. berkata padanya: “Aku perintahkan kepadamu dua perkara. Salah satu perkara yang manapun yang engkau lakukan, itu sungguh sudah cukup bagimu (untuk tidak melakukan) yang lain. Jika engkau mampu melakukan keduanya maka engkau lebih tahu akan hal itu.” Beliau Saw. berkata padanya: “Darah seperti ini hanyalah salah satu hentakan dari setan, maka tetapkanlah masa haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian hendaknya engkau mandi, hingga jika engkau melihat bahwa engkau telah suci dan yakin untuk membersihkan diri, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga malam dan siang, dan berpuasalah, karena hal itu sah bagimu. Seperti itulah yang harus engkau lakukan di setiap bulan, seperti halnya kaum wanita mengalami haid dan mengalami masa suci dengan waktu-waktu haid dan suci mereka. Jika engkau mampu untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar maka hendaknya engkau mandi, kemudian laksanakanlah shalat dhuhur dan ashar secara digabungkan, kemudian hendaknya kamu akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya, lalu mandilah dan gabungkanlah dua shalat tersebut dan kerjakanlah. Dan hendaknya engkau mandi untuk shalat subuh dan shalatlah. Seperti itulah yang harus engkau lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah jika engkau mampu untuk itu.” Dan dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah dua perkara yang paling mengagumkan bagiku.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Hadits ini dihasankan oleh Bukhari dan ad-Dzahabiy. Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih, dan seperti ini pula komentar yang dilontarkan Ahmad bin Hanbal.

Hadits pertama dari Aisyah menyebutkan:

“Dan jika selesai waktu haid maka mandilah dan shalatlah.”

Dan hadits kedua dari Aisyah menyebutkan:

“Tunggulah selama masa haid biasa menahanmu, kemudian mandilah”

Dan hadits Ummu Salamah menyebutkan:

“Jika sudah mencapai jumlah hari yang biasa dilaluinya maka hendaklah dia mandi, kemudian ikatlah dengan kain, lalu shalatlah.”

Status dua hadits Aisyah di atas adalah shahih, sedangkan hadits Ummu Salamah telah dikomentari an-Nawawi: sanadnya memenuhi syarat Bukhari dan Muslim, tetapi hadits ini didhaifkan oleh al-Baihaqi. Dia berkata: Sesungguhnya Sulaiman bin Yasar tidak mendengar hadits ini dari Ummu Salamah. Diperkuat lagi oleh al-Mundziri yang mengatakan: Sulaiman tidak mendengar hadits ini.
Ad-Daruquthni menyampaikan hadits tersebut dengan sanad seperti ini: Dari Shakhr bin Juwairiyah, dari Nafi, dari Sulaiman bin Yasar, bahwasanya seorang laki-laki telah menceritakan kepadanya sebuah hadits dari Ummu Salamah, sehingga mereka menetapkan hadits ini sebagai hadits dhaif karena di dalam sanadnya ada perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya). Tetapi Musa bin Aqabah mengatakan: Dari Nafi dari Sulaiman bin Yasar dari Marjanah dari Ummu Salamah. Musa menempatkan seorang perempuan bernama Marjanah, pengganti lelaki yang majhul itu. Ini tentu menyalahi sanad ad-Daruquthni dan selainnya, sehingga bagaimanapun juga hadits ini tetap dhaif, yang karenanya harus kita buang. Kita cukup menggunakan dua hadits dari Aisyah saja, dan meninggalkan hadits Hamnah untuk pembahasan berikutnya.

Dua hadits Aisyah ini menunjukkan bahwa seorang wanita mustahadhah itu mandi satu kali setelah selesai masa haidnya. Seandainya dia harus mandi setiap kali hendak shalat, niscaya hadits-hadits tersebut akan menyebutkannya sebagaimana menyebutkan harus berwudhu untuk setiap kali hendak shalat. Misalnya disebutkan dalam hadits dari Aisyah, dia berkata:

“Fathimah bin Hubaisy datang menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengeluarkan darah yang sangat banyak sehingga aku tidak bisa suci, apakah aku harus meninggalkan shalat. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Tidak, sesungguhnya itu hanyalah pembuluh darah yang pecah, bukan darah haid. Jika datang masa haidmu maka tinggalkanlah shalat, dan jika pergi masa haidmu maka bersihkanlah darah darimu dan kemudian shalatlah.” Abu Muawiyah berkata dalam haditsnya: Dan Nabi Saw. berkata: “Berwudhulah engkau untuk setiap shalat, hingga datang waktu itu.” (HR. at-Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih.

Tambahan ini disokong al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani.

Perintah berwudhu untuk setiap shalat juga diriwayatkan oleh Ahmad dan ad-Darimi. Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk berwudhu setiap kali hendak shalat, sedangkan dua hadits dari Aisyah menyebutkan mandi saja dan tidak menyebutkan wudhu. Kedua hadits tersebut menyebutkan mandi tanpa dibatasi atau ditaqyid dengan kalimat ”setiap kali shalat.”

Sedangkan ketika menyebutkan wudhu, hadits ini mentaqyidnya dengan kalimat “untuk setiap shalat”, sehingga ini menunjukkan adanya perbedaan antara perintah untuk mandi dengan perintah untuk berwudhu. Mandi itu harus dilakukan satu kali saja, sedangkan wudhu itu harus dilakukan setiap kali hendak shalat.

Bisa jadi dikatakan bahwa hadits Adi bin Tsabit, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw., berkata:

“Wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) itu meninggalkan shalat pada hari-hari haidnya. Kemudian dia harus mandi dan berwudhu setiap kali hendak shalat, dan harus berpuasa dan shalat.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi) Hadits dhaif.

(Bisa jadi dikatakan) bahwa hadits ini memerintahkan mandi dan berwudhu untuk setiap shalat. Maka kami katakan, hadits ini adalah hadits dhaif sehingga tidak layak diperhatikan dan tidak layak dijadikan hujjah, karena kedhaifan Abul Yaqdzan yang meriwayatkan hadits ini dari Adis Abul Yaqdzan telah dikomentari oleh Yahya bin Malin: Haditsnya tidak bernilai sama sekali. Abu Hatim berkata: Ibnu Mahdi meninggalkan haditsnya ini. Abu Hatim juga berkata: Hadits Abul Yaqdzan ini dhaif dan munkar. Abul Yaqdzan juga didhaifkan oleh al-Hakim, Yahya bin Said, an-Nasai, dan ad-Daruquthni dengan ungkapan pendhaifan yang beragam.

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa seorang wanita mustahadhah dituntut untuk mandi satu kali saja ketika selesai masa haidnya, kemudian dia shalat, dan diharuskan berwudhu setiap kali hendak shalat.

Perihal hadits yang diriwayatkan perawi lainnya dari Aisyah ra.:

“Bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy mengeluarkan darah istihadhah pada masa Rasulullah saw. Lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya mandi untuk setiap shalat.” (HR. Abu Dawud) Hadits dhaif.

Maka di dalam hadits ini ada nama Muhammad bin Ishaq yang telah meriwayatkan hadits ini secara mu'an'an, sehingga hadits ini dipandang dhaif.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasai dari Aisyah ra. secara marfu’ dengan lafadz:

“Hendaklah dia memperhatikan masa haid yang biasa dilaluinya, dan hendaknya dia meninggalkan shalat. Kemudian hendaknya dia memperhatikan sesuatu setelah (masa haid yang biasa dilaluinya) itu, lalu hendaknya dia mandi setiap kali shalat, dan kemudian shalatlah.”

(Maka hadits ini) bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya dari Aisyah:

“Bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy yang diperisteri Abdurrahman bin Auf mengadukan persoalan darah pada Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Tunggulah selama masa haidmu menahanmu, kemudian mandilah. Dan Ummu Habibah mandi pada setiap kali shalat.

Di dalam riwayat yang shahih ini tidak ada perintah untuk mandi pada setiap kali shalat. Kalimat yang ada di penghujung hadits :

“Dan Ummu Habibah mandi pada setiap kali shalat.”

Sebenarnya bukan berasal dari nash hadits tersebut, yakni bukan perintah dari Rasulullah Saw. Ungkapan kalimat seperti itu mengandung arti bahwa Ummu Habibah secara suka rela mandi pada setiap kali shalat.
Al-Laits bin Said berkata: Ibnu Syihab tidak menuturkan Rasulullah Saw. memerintahkan Ummu Habibah binti Jahsy ra. untuk mandi pada setiap kali shalat, tetapi itu merupakan inisiatif diri Ummu Habibah sendiri.
An-Nawawi berkata: Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi Saw. yang memerintahkannya mandi, melainkan yang satu kali saja, yakni ketika darah haidnya sudah berhenti, yaitu sabda beliau Saw.:

“Jika datang waktu haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika selesai waktu haid maka mandilah.” (HR. Bukhari)

Di dalam hadits ini tidak ada tuntutan untuk mengulang mandi.
An-Nawawi menambahkan: Sedangkan di dalam hadits-hadits yang terdapat pada Sunan Abu Dawud, al-Baihaqi, dan selainnya, bahwa Nabi Saw. memerintahkan mandi, tidak ada satupun yang terbukti keshahihannya.

Hadits: “Jika datang waktu haid...” yang dimaksud an-Nawawi adalah hadits Fathimah binti Abi Hubaisy, bukan hadits Ummu Habibah binti Jahsy yang sedang kita bahas. Walaupun begitu ucapan an-Nawawi masih dipandang tepat, di mana peralihannya dari satu hadits ke hadits lain tidak mempengaruhi kekuatan istidlal atau pengambilan kesimpulan yang dilakukannya.
Selain itu al-Baihaqi sendiri mendhaifkan hadits-hadits yang memerintahkan mandi untuk setiap kali shalat.
As-Syafi’i berkata: Sebenarnya Rasulullah Saw. memerintahkan Ummu Habibah untuk mandi dan shalat. Di dalam hadits tersebut tidak ada perintah mandi untuk setiap kali shalat.
As-Syafi’i menambahkan: Insya Allah tidak ragu lagi mandi yang dilakukan Ummu Habibah (yang dilakukannya setiap kali hendak shalat) adalah sunat saja hukumnya, karena berbeda dengan yang diperintahkan kepadanya (hanya satu kali setelah haidh saja-pen.), dan hal ini sah-sah saja dilakukannya.
Pendapat semisal dilontarkan juga oleh Sufyan bin Uyainah.
As-Syaukani berkata: Pendapat yang dipegang oleh jumhur yang tidak mewajibkan mandi kecuali setelah selesainya haid, itulah pendapat yang benar, karena tidak ada dalil yang shahih yang bisa dijadikan hujjah (untuk mewajibkan mandi setiap kali shalat).

Sekarang kita kaji hadits Hamnah binti Jahsy di atas:

1. Penggalan hadits yang berbunyi:

“Aku perintahkan kepadamu dua perkara, salah satu perkara yang manapun yang engkau lakukan itu sungguh sudah cukup bagimu (untuk tidak melakukan) yang lain. Jika engkau mampu melakukan keduanya maka engkau lebih tahu akan hal itu.”

2. Penggalan hadits yang berbunyi:

“Maka tetapkanlah masa haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian hendaknya engkau mandi, hingga jika kamu melihat bahwa engkau telah suci dan yakin untuk membersihkan diri, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga malam dan siang, dan berpuasalah, karena sesungguhnya hal itu sudah cukup dan sah bagimu.”

3. Penggalan hadits yang berbunyi:

“Jika engkau mampu untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar maka hendaknya engkau mandi, kemudian laksanakan shalat dhuhur dan ashar secara digabungkan. Kemudian hendaknya engkau akhirkan shalat maghrib dan segerakan shalat isya, lalu mandilah, dan gabungkanlah dua shalat tersebut dan kerjakanlah. Dan hendaknya engkau mandi untuk shalat subuh dan shalatlah. Seperti itulah yang harus engkau lakukan, dan shalatlah serta berpuasalah jika engkau mampu untuk itu.” Dan dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Ini adalah dua perkara yang paling mengagumkan bagiku.”

Dalam penggalan hadits yang pertama, Rasulullah Saw. memberi pilihan kepada Hamnah untuk melakukan salah satu di antara dua perbuatan, di mana beliau Saw. menjelaskan bahwa jika dia melakukan salah satunya maka gugurlah darinya kewajiban yang lain. Ini merupakan ungkapan yang sangat jelas.
Kita melihat pilihan yang pertama terdapat dalam penggalan yang kedua. Di dalamnya beliau Saw. memerintahkan Hamnah untuk mandi setelah selesai haid, kemudian shalat. Di dalam penggalan tersebut tidak ada perintah apapun untuk mengulang mandi, terlebih lagi ketika beliau Saw. menegaskan: “karena sesungguhnya hal itu sudah cukup dan sah bagimu.”
Sedangkan di dalam penggalan ketiga kita melihat pilihan kedua. Di dalamnya beliau Saw. memerintahkan Hamnah untuk mandi pada setiap dua shalat (dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya) dan mandi untuk shalat fajar pada setiap harinya. Beliau Saw. sangat menganjurkan pilihan ini kepadanya dengan mengatakan: Ini adalah dua perkara yang paling mengagumkan bagiku.
Dengan demikian, pilihan pertama adalah seperti yang kami katakan sebelumnya: yakni mandi satu kali saja, dan ini sudah cukup.
Sedangkan pilihan kedua adalah mandi tiga kali setiap harinya, dan ini lebih afdhal (lebih utama) tetapi tidak wajib hukumnya.

Inilah ringkasan hadits Hamnah, di dalamnya tidak ada kewajiban untuk mengulang mandi, yang ada disunahkan saja, dan ini menjadi dalil bagi kita juga bahwa kewajiban itu sudah gugur dengan satu kali mandi saja.
Dengan demikian hadits Hamnah ini menunjukkan bahwa mandi satu kali saja sudah cukup, dan mandi untuk setiap dua shalat yang dijama' itu lebih utama, karena itu, mandi untuk setiap dua shalat itu sunah hukumnya.

Sedangkan pendapat Ibnu al-Musayyab dan al-Hasan, serta Aisyah dalam satu riwayat darinya, yakni mewajibkan mandi setiap hari atau setiap hari dan setiap malam, maka saya tidak menemukan adanya nash yang shahih dan hasan yang menunjukkannya, sehingga pendapat tersebut harus ditinggalkan.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam