Darah Haid Dan Jangka Waktunya
Dalam menetapkan
batasan minimal dan maksimal haid, pendapat para ulama sangat beragam dan
bercabang-cabang. Saya hanya akan membahas pendapat para imam yang empat, tidak
akan membahas selainnya, terlebih lagi ketika sebagian besar pernyataan yang
ada tersebut tidak berdalil:
1. Abu Hanifah
berkata: batas minimal haid itu tiga hari, dan batas maksimalnya sepuluh hari.
2. Malik berkata:
tidak ada batasan waktu minimal dan maksimal haid, yang menjadi patokan adalah
kebiasaan wanita tersebut.
3. As-Syafi’i dan
Ahmad berkata: batas waktu minimalnya adalah satu hari satu malam, batas waktu
maksimalnya adalah lima belas hari.
Pendapat yang tepat
adalah: syariat tidak menetapkan patokan batas waktu minimal dan maksimal haid.
Syara hanya menetapkan hal itu merujuk
kepada kebiasaan setiap wanita. Setiap wanita memiliki kebiasaan
tertentu yang mengikat dirinya. Ketika kita mencermati nash-nash yang ada, kita
akan mendapati nash-nash tersebut menyebutkan bahwa haid pada wanita itu
biasanya enam atau tujuh hari. Dari Hamnah binti Jahsy bahwasanya Rasulullah
Saw. berkata kepadanya:
“Jalanilah haidmu
selama enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian mandilah.” (HR. Abu
Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad)
Hadits ini akan kita
bahas lebih jauh dengan ijin Allah dalam pembahasan “wanita mustahadhah.”
Tentang warna darah,
terdapat beberapa hadits berikut yang menyebutkannya:
1. Dari Fathimah binti Abu Hubaisy:
“Bahwasanya dia
mengeluarkan darah istihadhah, maka Nabi
Saw. berkata padanya: “Jika yang keluar itu darah haid, maka darahnya berwarna
hitam dan bisa diketahui. Jika darahnya seperti itu maka janganlah engkau
shalat. Jika darah yang keluar berwarna lain (tidak seperti itu), maka
berwudhulah dan shalatlah, karena darah tersebut adalah darah yang keluar
karena pecahnya pembuluh darah (darah penyakit).” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi,
dan Ibnu Hibban)
Hadits ini
diriwayatkan pula dan dishahihkan oleh
al-Hakim.
2. Dari Ummu Athiyyah -seorang wanita yang
dahulu ikut membaiat Nabi Saw.- dia berkata:
“Kami tidak memandang
cairan yang keruh dan cairan yang berwarna kekuningan (seperti nanah) yang
keluar setelah suci itu sebagai sesuatu.” (HR. Abu Dawud)
3. Dari Alqamah bin Abi ‘Alqamah dari ibunya,
pelayan Aisyah Ummul Mukminin, bahwasanya dia berkata:
“Kaum wanita mengirim
kotak berisi kapas kepada Aisyah Ummul Mukminin, pada kapas tersebut ada cairan
berwarna kekuningan dari darah haid. Mereka bertanya kepada Aisyah tentang
shalat, maka Aisyah berkata pada mereka: Janganlah kalian tergesa-gesa melakukan
shalat hingga kalian melihat kapas tersebut putih bersih. Yang dimaksud oleh
Aisyah adalah suci dari haid.” (HR. Malik)
Bukhari menyebutkan
hadits tersebut secara mu’allaq.
Ad-Durjah artinya kotak, sedangkan al-qashshah artinya adalah sepotong kapas yang
diletakkan di kemaluan untuk mengetahui bekas darah.
Hadits yang pertama
mengandung arti bahwa darah haid itu berwarna hitam. Lafadz yu'rafu artinya adalah bahwa cairan tersebut
diketahui oleh kaum wanita.
Hadits kedua walaupun
diriwayatkan secara mauquf sampai pada Ummu Athiyyah, tetapi bisa dihukumi
marfu’ sampai pada Rasulullah Saw., karena ucapan Ummu Athiyyah: “Kami tidak
menganggap” tidak mungkin berasal dari ijtihad kaum wanita tanpa sepengetahuan
Rasulullah Saw.
Manthuq hadits ini menyebutkan bahwa cairan
berwarna kekuningan seperti nanah (as-shufrah)
dan cairan yang berwarna keruh (al-kudrah)
yang keluar setelah suci (berhentinya darah) itu tidak dianggap sebagai darah
haid. Mafhumnya adalah bahwa kedua
cairan tersebut dipandang sebagai haid ketika keluar selama masa haid.
Alqamah mengisyaratkan
mafhumnya bahwa sesuatu yang keluar
sebelum berhentinya cairan yang berwarna itu merupakan haid, dan ini lebih umum
daripada sebelumnya. Karena itu cairan yang berwarna hitam, merah, kuning dan
keruh ketika keluar selama masa haid, dipandang sebagai haid.
Selama hadits-hadits
tersebut menyebutkan bahwa darah haid berwarna seperti itu, maka seorang wanita
yang memiliki kebiasaan berulang ketika terus mengeluarkan cairan darinya
dengan satu warna tertentu selama masa haid yang biasa dialaminya, maka cairan tersebut
dipandang darah haid, dan masa tersebut dipandang sebagai masa haidnya.
Ketika hilang
warnanya, dan cairan yang keluar dari kemaluan wanita itu berwarna bening tanpa
warna, maka ini mengandung arti bahwa haid tersebut sudah selesai, dan berakhir
pula masa haidnya. Dan saat itu dia wajib untuk mandi, shalat dan puasa.
Wanita yang haid pasti
berada dalam salah satu kategori berikut:
a. Pemula (al-mubtadi'ah),
yakni wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haid. Ini memiliki beberapa
kondisi:
1. Darah yang pertama
kali keluar dari seorang wanita pada usia yang biasanya seorang wanita
mengalami haid. Ketika darah tersebut berwarna hitam, maka dia harus
meninggalkan puasa dan shalat. Hendaknya dia mencermati hari-hari keluarnya
darah tersebut. Dia tetap menunggu selama darah keluar. Ketika pada bulan
berikutnya darah kembali keluar seperti yang terjadi pada bulan sebelumnya,
maka si wanita bisa mengetahui bahwa itulah masa haidnya dan kebiasaannya,
sehingga dia beralih pada masa dan kebiasaannya itu, dan berhukum sesuai
dengannya.
Darah akan berhenti
keluar terkadang selama dua minggu, sepuluh hari, tujuh hari, tiga hari atau
kurang. Sehingga masa keluarnya darah untuk kali pertama, yang kemudian
berulang pada bulan berikutnya itu menjadi kebiasaan haidnya, sehingga saat itu
dia beralih dari kondisi pemula ke kondisi wanita yang sudah memiliki
kebiasaan.
2. Kemudian jika
setelah itu darah tetap keluar melewati masa haid dan kebiasaannya, dan darah
tersebut berwarna merah, maka si wanita mengetahui bahwa itu adalah darah istihadhah, maka dia harus mandi dan mengqadha shalat dan puasa yang luput selama
beberapa hari setelah (melewati) masa haidnya itu.
Tetapi jika darah
tersebut keluar, kemudian berulang keluar di bulan berikutnya dan berwarna
hitam setelah selesai masa haid dan kebiasaannya, maka si wanita harus menunggu
sampai darah hitam itu saja yang berhenti keluar. Kemudian dia mandi dan shalat
walaupun darah yang merah atau kuning terus-menerus keluar. Saat itu si wanita
beralih pada kebiasaannya yang baru. Tindakan yang harus dilakukan di masa haid
berbeda dengan yang harus dilakukannya di masa mengeluarkan darah istihadhah. Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan Aisyah ra.:
“Bahwasanya Fathimah
binti Abu Hubaisy mengeluarkan darah istihadhah,
lalu dia bertanya pada Nabi saw. Maka beliau Saw. bersabda: “Itu hanyalah
pembuluh darah yang pecah, bukan darah haid. Jika datang waktu haid maka
tinggalkanlah shalat, dan jika selesai waktu haid maka mandilah dan shalatlah.”
(HR. Bukhari)
Waktu haid datang
ketika darah yang keluar berwarna hitam dan berbau busuk. Sedangkan waktu haid
dipandang selesai ketika darah yang keluar itu berwarna merah segar.
3. Semua ini berlaku
jika si wanita tersebut mampu membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah, maka si wanita harus menjalani,
misalnya selama enam atau tujuh hari, kemudian mandi dan shalat. Ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Hamnah binti Jahsy bahwasanya Rasulullah
Saw. berkata padanya setelah dia bertanya pada beliau Saw. perihal dirinya yang
banyak mengeluarkan darah istihadhah:
“Sesungguhnya itu
hanyalah salah satu hentakan setan, maka jalanilah haidmu enam atau tujuh hari
berdasar ilmu Allah, kemudian mandilah, hingga ketika engkau tahu bahwa engkau
benar-benar telah suci dan bersuci, maka shalatlah dua puluh tiga malam atau dua
puluh empat malam dan siang, dan berpuasalah. Hal itu sudah memadai bagimu.
Seperti itulah yang harus engkau lakukan setiap bulan sebagaimana wanita lain
menjalani masa haid dan masa suci.” (HR. Abu Dawud)
Tirmidzi dan Ahmad
meriwayatkan dan menshahihkan hadits
ini.
b. Wanita yang sudah biasa (al-mu'tadah), yakni seorang wanita yang sudah
biasa mengeluarkan darah haid secara konstan dan dalam jangka waktu tertentu
dari setiap bulannya. Warna darah yang dilihatnya selama masa haidnya itu
dipandang sebagai darah haid. Tidak ada perbedaan apakah berwarna hitam, merah
ataupun kuning, tidak ada perbedaan apakah padat ataukah lembut, selama keluar
pada waktu haidnya yang sudah tetap dan konstan itu. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Alqamah bin Abi Alqamah dari ibunya yang menjadi pelayan
Aisyah Ummul Mukminin bahwasanya dia berkata:
“Kaum wanita mengirim
kotak berisi kapas kepada Aisyah Ummul Mukminin. Pada kapas tersebut ada cairan
berwarna kekuningan dari darah haid. Mereka bertanya kepada Aisyah tentang
shalat, maka Aisyah berkata pada mereka: Janganlah kalian tergesa-gesa melakukan
shalat hingga kalian melihat kapas tersebut putih bersih. Yang dimaksud oleh
Aisyah adalah suci dari haid.” (HR. Malik)
Ketika cairan tersebut
berwarna kuning atau keruh, dan keluar setelah masa haidnya yang biasa, maka
itu bukan darah haid. Wanita tersebut tetap suci berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Ummu Athiyah -seorang wanita yang ikut membaiat Nabi Saw.- dia
berkata:
“Kami tidak memandang
cairan yang keruh dan cairan yang berwarna kekuningan (seperti nanah) yang
keluar setelah suci (berhentinya darah) itu sebagai sesuatu.” (HR. Abu Dawud)
Ketika kebiasaan
wanita mu'tadah ini berubah, maka dia
tidak akan keluar dari tiga kondisi berikut:
1. Dia melihat darah
berhenti sama sekali -menemui masa suci- sebelum selesai masa haid yang biasa
dijalaninya, maka dalam kondisi ini dia harus mandi dan shalat karena dia sudah
suci dengan berhentinya darah. Dia tidak boleh tetap menunggu tidak perlu mandi
dan shalat.
Jika darah kembali
keluar masih di dalam masa haid yang biasa dijalaninya, maka dia dipastikan
haid, karena itu merupakan darah yang keluar bertepatan dengan kebiasaan
haidnya, sehingga dia dipandang sedang haid dan harus duduk menunggu hingga
darah berhenti, lalu dia mandi kedua kalinya dan kemudian shalat.
Namun jika darah
kembali keluar setelah selesai masa haid yang biasa dijalaninya, maka itu
merupakan darah istihadhah, sehingga dia
hanya menunggu selama masa haid yang biasa dijalaninya saja, lalu dia mandi dan
shalat walaupun darah terus keluar selama waktu selebihnya itu (waktu setelah
masa haidnya).
Jika darah
terus-menerus keluar dan berwarna hitam selama tiga hari yang lain (hari
setelah masa haidnya-pen.), dan kemudian
berulang pada bulan berikutnya, maka itu merupakan darah haid, sehingga si
wanita harus beralih pada kebiasaan barunya.
Tetapi jika tidak
berulang pada bulan berikutnya maka itu bukanlah darah haid, sehingga si wanita
harus mengqadha puasa dan shalat yang
luput (yang tidak dilakukannya) dari tiga hari tersebut.
2. Si wanita melihat
darah yang bukan pada waktu biasanya, bisa sebelum atau sesudah masa haid yang
biasanya, maka dia harus menunggu. Jika pada beberapa hari di waktu kemudian
darah kembali keluar walaupun hanya satu kali, maka itu menjadi kebiasaan yang
baru baginya. Tetapi jika tidak berulang maka dia harus mengqadha shalat dan puasa yang luput darinya.
3. Hendaknya disatukan
pada kebiasaan haidnya darah yang jika dihimpunkan dengan kebiasaannya secara
keseluruhan akan melebihi masa haid yang paling banyak padanya. Ketika si
wanita mengetahui kebiasaannya maka dia harus menunggu selama waktu kebiasaannya
itu, kemudian dia mandi dan shalat. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Saw. berkata kepada Fathimah binti Abi
Hubaisy:
“Akan tetapi
tinggalkan shalat sesuai hari-harimu menjalani haid, kemudian mandilah dan
shalatlah.”
Hadits ini telah kami
sebutkan dengan lengkap dalam pembahasan hukum wanita haid. Sedangkan ketika
dia tidak bisa mengingat kebiasaannya kembali -dalam arti lupa- maka ia disebut
wanita mutahayyirah (bingung). Dalam
kondisi ini dia harus menunggu selama tujuh hari, kemudian mandi dan shalat.
Dia harus terus seperti itu, kecuali jika wanita yang lupa itu bisa mengingat
kembali kebiasaannya, maka dalam kondisi terakhir ini dia harus menunggu sesuai
kebiasaannya yang sudah diingatnya itu.
c. Tinggallah kini kondisi yang jarang terjadi
yang disebut dengan kondisi talfiq. Artinya adalah menggabungkan darah haid
dengan darah haid berikutnya, yang terpisah oleh kondisi suci. Kondisi ini bisa
dijelaskan berikut:
Ketika seorang wanita
melihat darah selama satu hari dan mengalami suci selama satu hari, atau
melihat darah selama dua hari dan suci selama satu atau dua hari, kemudian dia
melihat darah selama dua hari berikutnya dan suci pada satu atau dua hari
berikutnya, dan begitu seterusnya, maka dalam kondisi tersebut si wanita
harus mandi setelah setiap kali haid atau dalam setiap kali mengalami suci yang
datang disela-sela masa haidnya, dia kemudian shalat dan puasa. Jika itu terus
berlangsung selama masa haidnya atau selama kebiasaan haidnya, maka itu semua
dipandang sebagai darah haid, dia harus mandi setelah satu atau dua hari keluar
darahnya.
Namun jika darah itu
terus keluar melebihi masa haidnya atau melebihi kebiasaan haidnya, maka wanita
tersebut dipandang mengeluarkan darah istihadhah,
sehingga dia harus dikembalikan pada kebiasaannya yaitu jika kebiasaan haidnya
itu lima hari misalnya, maka dia harus menunggu selama lima hari keluarnya
darah itu, lalu dia mandi dan shalat selama hari-hari sucinya.
Dan jika dia bisa
membedakan di mana suatu waktu dia melihat darah hitam, dan waktu yang lain
melihat darah yang merah atau cairan kekuningan, maka dia dikembalikan pada
pembedaan tersebut, sehingga haidnya itu disandarkan pada masa keluarnya darah
hitam saja, di mana dia harus menunggu selama masa tersebut, dan dia harus
mandi dan shalat di masa selainnya, yakni masa keluarnya darah merah dan
kekuningan.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar