Faktor
terbesar yang berpengaruh membawa penduduk negeri-negeri taklukan memeluk Islam
adalah pembauran yang dilakukan kaum muslimin sendiri sebagai pihak penakluk.
Mereka dengan suka rela berbaur dengan penduduk setempat. Setelah menaklukkan,
mereka tinggal di negeri taklukan itu, berbaur dengan penduduk setempat, lalu
mengajari dan mendidik mereka dengan dan tentang tsaqafah/ khazanah Islam.
Mereka
tinggal dengan penduduk asli di rumah-rumah saling mengikat hubungan
ketetanggaan sehingga pemukiman penduduk penakluk dan bangsa-bangsa taklukan
kumpul menjadi satu. Mereka bekerja-sama dalam semua urusan kehidupan dan
secara keseluruhan mereka semua menjadi penduduk satu negara yang semua
penduduknya diikat dengan hukum-hukum publik yang satu.
Seluruh
penduduk tidak dipisahkan menjadi dua kelompok yang berbeda: kelompok penakluk
dan kelompok yang ditaklukan atau kelompok pemenang dan kelompok yang
dikalahkan. Mereka semua adalah rakyat Negara Islam yang masing-masing saling
tolong-menolong dalam menyelesaikan semua persoalan kehidupan. Mereka dipandang
sama. Urusan-urusan dan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka sama-sama mendapat
pelayanan yang sama (adil). Merekapun akhirnya melihat sifat-sifat luhur yang
menjadikan mereka dicintai oleh para penguasa dan Islam. Pembauran ini tentunya
menjadi pendorong bagi mereka untuk memeluk Islam karena mereka melihat
pengaruh Islam dalam diri khalifah dan para pejabatnya, sebagaimana mereka
melihat cahayanya dalam penerapan semua sistem. Dengan demikian, bangsa-bangsa
ini saling meleburkan diri dan akhirnya menjadi umat yang satu.
Adapun
masuknya negeri taklukan ke dalam Islam adalah dengan bentuk yang umum.
Penduduk tiap daerah memeluk Islam secara bergelombang, sampai sekelompok
penduduk di daerah terpencil dari negeri taklukan memeluk Islam. Orang-orang
masuk Islam secara berkelompok-kelompok, dan lambat-laun seluruh manusia
menjadi kaum muslimin. Islam tidak terbatas menjadi agama para penakluk. Dengan
masuknya penduduk suatu negeri dalam Islam, maka mereka melebur dengan bangsa
penakluk, lalu mereka menjadi satu umat.
Perombakan
total yang diciptakan Islam dalam diri para pemeluknya dilakukan dengan
mengangkat kesamaan akal mereka, lalu di tengah mereka didakwahkan akidah
Islam. Di atas kaidah pemikiran ini, semua pemikiran dibangun. Kebaikan dan
keburukan pemikiran dianalogikan dengan standar kaidah Islam ini. Mereka
mengalami transformasi akidah dan peribadatan, dari keimanan yang sentimentil
menuju keimanan yang rasional dan dari penyembahan berhala, api, trinitas, dan
bentuk-bentuk penyembahan lainnya yang tidak rasional menuju penyembahan Allah
dan apa-apa yang dibentuk oleh pemikiran yang mendalam dan pandangan yang luas.
Islam
menjadikan mereka membenarkan adanya kehidupan lain dan menggambarkannya dengan
gambaran yang dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dalam gambaran
kehidupan itu dijelaskan tentang adanya nikmat (Surga) dan siksaan (Neraka).
Akhirnya, mereka menggambar dan melihat kehidupan secara hakiki. Dengan
demikian, kehidupan bagi mereka memiliki makna kendali dan ladang amal karena
kedudukannya sebagai jalan bagi kehidupan lain yang lebih bahagia dan lebih
abadi. Karena itu, mereka menerima dan menghadapi kehidupan dunia dengan
sungguh-sungguh, tidak menyia-nyiakannya, dan menjadikannya sebagai sebab-sebab
[perolehan nikmat Akhirat dan rida Allah], menikmati perhiasan dan rezeki Allah
yang bagus-bagus yang dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dan menjadikan
kehidupan memiliki standar-standar yang baik dan gambaran yang hakiki.
Ini adalah tujuan amal
dan tujuannya adalah nilai amal itu. Maka, yang menjadi standar kehidupan
adalah halal dan haram. Yang menjadi gambaran kehidupan adalah halal dan haram.
Dan yang menjadi kontrol dan arah amal adalah perintah-perintah dan larangan-larangan
Allah. Selanjutnya, tujuan pengontrolan amal dengan perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya adalah ridha Allah. Nilai amal akhirnya menjadi tujuan
dari maksud pelaksanaan amalan itu.
Ada yang bentuk
amalnya adalah shalat, jihad atau ibadah yang sejenisnya. Ada yang amalnya
berbentuk jual-beli, sewa-menyewa atau yang sejenisnya. Dengan demikian, Islam
menciptakan gambaran kehidupan yang berbeda dengan gambaran yang mereka peroleh
sebelumnya dan menjadikannya hakikat kehidupan yang memiliki gambaran yang
hakiki dengan standar yang diletakkan oleh Allah. Standar itu berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, yaitu halal dan haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar