Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 29 April 2013

Bukti Sejarah Khilafah Mensejahterakan

Bukti Sejarah Khilafah Mensejahterakan



{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.

Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus onta”. [Abdurrahman al-Bagdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, Gema Insani Press, Jakarta, 1988, hal. 38] Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau membiayai pernikahan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.

Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup di mana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barangsiapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”. Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah [Orang non-Muslim yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah] yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut. [Ibid. hal. 39]

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.” [Diriwayatkan dari Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj, hal. 144] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.

Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia. [Ibid, hal. 126]

Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim yang memenuhi kewajiban menegakkan Khilafah yaitu satu-satunya pemerintahan yang sah menurut hukum Allah Swt., yang menunjukkan betapa Islam dan syariatnya yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam dan Khilafah.
    
Khatimah

Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pembahasan ini, tampak bagaimana kehandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:

]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)

Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa syariat Islam?

Bukti Sejarah Khilafah Mensejahterakan

Diolah dari makalahnya Muhammad Anwar Iman SOLUSI ISLAM DALAM MASALAH KEMISKINAN (Disampaikan dalam acara Diskusi Publik “Selamatkan Indonesia dengan Syariah” Hizbut Tahrir Indonesia, di Jakarta 4 Agustus 2002)

Cara Menciptakan Lapangan Kerja

Cara Menciptakan Lapangan Kerja



{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

3.      Penyediaan Lapangan Kerja

Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara/Khalifah. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah Saw.:

Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau Saw. bersabda:

Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.

Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara Islam untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.

4.      Penyediaan Layanan Pendidikan

Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara Khilafah. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.

Syariat Islam telah mewajibkan negara Islam untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demkian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.

Cara Menciptakan Lapangan Kerja

{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}

Pengaturan Hak Milik

Pengaturan Hak Milik


{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

2.      Pengaturan Kepemilikan

Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini, sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.

Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai merikut.

a.      Jenis-jenis Kepemilikan

Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara Islam.

·         Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.

Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian negara Islamiyah, hadiah, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.

·         Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.

Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap [Rasulullah bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api”], misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu [Rasulullah bersabda: “Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” Artinya tidak ada hak bagi seorang pun untuk membuat batas atau pagar atas segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat.], misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.

Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh daulah Islam, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi dalam sistem kufur kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.

·         Kepemilikan Negara Khilafah adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai kepala negara Khilafah

Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat daulah Islamiyah, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara sistem Islam memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian negara Khilafah akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.

b.      Pengelolaan Kepemilikan

Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul Mal).

Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.

c.       Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat

Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.

Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.

Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara rinci syariat Islam mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.

Lebih dari itu, negara Islamiyah berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara Khilafah memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara Islam berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Pengaturan Hak Milik

{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}

Cara Memberantas Kemiskinan

Cara Memberantas Kemiskinan



{{LANJUTAN DARI ARTIKEL SEBELUMNYA}}

Cara Islam Mengatasi Kemiskinan

Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:

]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ[
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki. (TQS. ar-Rum [30]: 40)

]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)

Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.

Dalam pandangan ekonomi kufur kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.

Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara Islam yang menjalankan sistem tersebut.

Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.      Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer

Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.

Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara Khilafah Islam akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:

a.      Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.

Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:

]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah Saw. bersabda:

Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya [HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah]

Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)

Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.

b.     Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya

Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?

Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. [Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. Daarul Ummah, Cetakan ke-4, 1990, hal. 210]

Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.

Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah Saw. bersabda:

Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)

Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah)

Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. [Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963]

c.      Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin

Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara Islamiyah). Dengan kata lain, negara Khilafah melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami. (HR. Imam Muslim)

Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.

Anggaran yang digunakan negara Islam untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt. berfirman:

]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin… (TQS. at-Taubah [9]: 60)

Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara Khilafah wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.

d.     Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin

Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:

]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)

Rasulullah Saw. juga bersabda:

Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)

Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar)

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara Khilafah Islam mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara Khilafah harus dihentikan.

Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara Khilafah Islamiyah memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.

Cara Memberantas Kemiskinan

{{BERSAMBUNG KE ARTIKEL LANJUTAN}}

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam