Berhentilah mengundang
azab Allah Swt. wahai penguasa...
KISAH KAKEK DAN WARUNG KECILNYA
Sebuah
Kisah Nyata
Oleh Ahmad Sastra
Di sebuah kampung di
daerah Bogor, seorang kakek yang telah lama hidup sebatang kara membuka warung
kecil. Hampir setiap hari saya melewati warung sang kakek. Sesekali saya
membeli pisang goreng yang dijualnya. Warung yang hanya 4x4 meter berfungsi
juga sebagai kamar tidur sang kakek. Sementara dapur berada di belakang warung.
Mungkin umur kakek itu
sudah 70 tahun, sebab setiap saya tanya, dia bahkan sudah lupa berapa umurnya.
Namun ada yang ganjil di warung kakek, yakni dagangan yang dijual makin hari
makin berkurang.
“Modalnya udah habis
mas”, jawab sang kakek saat saya tanya.
Hingga pada suatu
pagi, tidak seperti biasanya, warung kakek ditutup. Saya mencoba mengetuk pintu
warung, tak ada jawaban.
Kuketuk sekali lagi,
“Assalamu’alaikum kek”, ucapku.
“Iya wa’alaikum
salam”, ada apa mas. “Biasa kek, mau beli pisang goreng”, jawab saya.
“Maaf mas, kakek udah
gak bisa lagi jualan, bahkan satu-satunya warung kakek ini juga mau saya jual”,
jawabnya.
Hatiku tersentak,
sebab berdasarkan pengakuan kakek, warungnya sudah ada yang siap membelinya.
Bahkan sang pembeli sudah menyerahkan sebagian uangnya.
“Kakek terjerat
rentiner mas, setiap hari harus membayar hutang 50.000 rupiah, karenanya
bunganya besar, saya terpaksa karena tidak punya modal”, keluh sang kakek.
Ternyata sang kakek
terjerat rentenir kelas teri yang sering mondar-mandir perkampungan. Rentenir
itu menjerat orang-orang miskin yang butuh modal dengan mematok bunga ribawi
yang tinggi. Sang kakek bukannya berkembang bisnisnya, justru bangkrut dengan menanggung
hutang yang makin mencekik.
Karena tak lagi mampu
membayar, terpaksa sang kakek menjual satu-satunya warung untuk bisa bebas dari
cekikan ribanya. Kasihan kakek, sudahlah riba itu haram hukumnya, ditambah lagi
kehilangan satu-satunya aset warung yang sekaligus sebagai tempat tinggal.
Saat tulisan ini
dibuat, sang kakek sudah meninggal sekitar setahun yang lalu. Saya teringat
nasib tragis sang kekek yang meninggal tanpa memiliki harta sepeserpun. Semoga
keterpaksaan sang kakek meminjam hutang berbunga haram diampuni oleh Allah.
Memori nasib sang
kakek yang biasa memanggil saya Mas Ahmad itu muncul berbarengan dengan
peristiwa kedatangan IMF ‘rentenir kelas kakap’ ke negeri ini. Skema hutang
ribawi ala IMF adalah jeratan mencekik bagi negara manapun yang berhutang
kepadanya.
Telah banyak negara
yang akhirnya bangkrut setelah terjerat hutang haram dari IMF. Skema riba dalam
pandangan Islam adalah haram. Islam mengibaratkan dosa riba seperti seorang
anak yang menzinahi ibu kandungnya sendiri. Riba membuat pelakunya seperti orang
yang sempoyongan karena mabok yang akhirnya tersungkur, terjerembab dan tewas.
Akankah negeri ini
juga akan bernasib sama seperti sang kakek. Entah hingga hari ini sudah berapa
ribu triliun hutang ribawi yang menjerat dan mencekik negeri ini. Entah berapa
bunga haram yang harus dibayarkan setiap tahunnya. Entah sampai kapan rakyat harus
menanggung hutang haram yang makin menggunung ini. Entahlah.
Akankah negeri ini
juga akan bernasib seperti sang kakek yang terpaksa harus menjual aset rakyat
untuk menutupi hutang. Ataukah negeri ini akan menaikkan pajak semua barang
yang digunakan rakyat. Sementara rakyat sendiri sedang dalam keadaan melarat,
sebagaimana melaratnya sang kakek.
Sang rentenir kelas
teri yang biasa berkeliling di perkampungan selalu mencari mangsa penduduk
melarat yang butuh uang. Setelah mau berhutang, sang rentenir menjeratnya
dengan bunga haram tinggi. Sang kakek yang melarat terpaksa menjadi budak
rentenir hingga ajal menjemput dan warungnyapun dijual.
Semoga negeri ini
segera bertobat dan sadar akan bahayanya model penjajahan gaya baru yakni skema
hutang ribawi. Sebab selain negeri ini akan berkubang dosa karena riba, negeri
ini juga akan melarat serta kehilangan keberkahan dari Allah.
Padahal Allah dan
Rasul-Nya telah mengingatkan bahwa jika telah merajalela riba dan zina, maka
manusia itu sungguh telah sengaja menantang datangnya azab dari Allah.
Bisa jadi bencana alam
yang silih berganti menimpa negeri ini karena kemaksiatan bangsa ini yang telah
menjadi budak riba dan merajalelanya perzinahan.
Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS An Nisaa : 79)
Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan
buta". (QS Thahaa : 124)
Bencana alam adalah
peringatan keras dari Allah, agar manusia kembali ke jalan Allah dan
meninggalkan semua jalan setan. Maka bertobatlah, kembalilah kepada syariat
Allah, jika kita masih ingin negeri ini mendapat keberkahan dari Allah.
“Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS Ar Ruum : 41)
Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs Al A’raf : 96).
Saya teringat lagi
Ebiet G Ade : Bila masih mungkin/kita menorehkan batin/atas nama jiwa dan hati
tulus ikhlas/ Mumpung masih ada kesempatan buat kita/…kita masih ingat tragedi
yang memilukan/….kita mesti bersyukur karena kita masih diberi waktu/….hanya atas
kasihNya/hanya atas kehendakNya/kita masih bertemu matahari/…..entah sampai
kapan waktu masih tersisa/… yang terbaik adalah segera bersujud/mumpung kita
masih diberi waktu… [Ebiet G Ade, Masih Ada Waktu].
Mumpung masih ada
kesempatan, mumpung kita masih bisa bertemu matahari, maka bertobatlah wahai
para pemimpin negeri, bertobatlah. Berhentilah mengundang azab Allah.
[AhmadSastra,KotaHujan,07/10/18
: 13.15 WIB]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar