Oleh: Rokhmat S.
Labib, MEI
“Apakah kamu tidak
memperhatikan (penciptaan oleh) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan al-zhill; dan kalau Dia menghendaki niscaya
Dia menjadikannya tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas
bayang-bayang itu, kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan
tarikan yang perlahan-lahan.” (TQS. al-Furqan [25]: 45-46).
Tanda-tanda kekuasaan
Allah SWT amat banyak. Tak terhitung banyaknya. Bahkan di setiap obyek yang
kita lihat dan kita dengar, di situ terdapat tanda kekuasaan Allah SWT. Maka,
sungguh aneh jika ada manusia yang mengingkari keberadaan-Nya, atau salah memahami
siapa tuhan sebenarnya yang menjadi Pencipta dan Pengatur alam semesta.
Ayat ini adalah di
antara ayat yang menunjukkan kepada manusia di antara tanda-tanda kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT.
Memanjangkan Al-Zhill
Allah SWT berfirman: Alam tara ilaa Rabbika kayfa madda al-zhill
(apakah kamu tidak memperhatikan [penciptaan] Tuhanmu, bagaimana Dia
memanjangkan al-zhill). Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang orang-orang
yang tidak menggunakan pendengaran dan akalnya, sehingga perilaku hidup mereka
seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat daripada binatang tersebut. Ayat
sebelumnya lagi diberitakan tentang adanya orang-orang yang menjadikan tuhan
atas dasar hawa nafsunya, atau menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.
Kemudian dalam ayat
ini ditunjukkan tentang salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Tanda tersebut dapat diindera oleh siapapun, sehingga orang yang menggunakan
akal dan pendengarannya dengan benar akan menghasilkan keimanan tentang Allah
SWT. Ayat ini diawali dengan frasa: Alam tara
(tidakkah kamu melihat).
Huruf hamzah merupakan
istifhaam (kalimat tanya), memberikan
makna li al-taqriir (untuk mengukuhkan).
Sedangkan tara merupakan al-fi'l al-mudhaari' yang berasal dari kata al-ru'yah. Menurut al-Qurthubi, kata al-ru‘yah di sini bisa jadi merupakan al-ru‘yah dengan al-'ayn
(melihat dengan penglihatan mata); bisa juga dengan al-‘ilm (pengetahuan). Kedua makna tersebut dapat digunakan.
Diterangkan
Fakhruddin al-Razi, mukhaathab atau pihak yang diseru oleh ayat ini, adalah
Rasulullah ﷺ. Meskipun demikian, itu berlaku umum. Sebab, maksud
ayat ini adalah memberikan penjelasan tentang nikmat Allah yang berupa
al-zhill. Seluruh mukallaf termasuk dalam cakupannya karena mereka wajib
diingatkan dengan kenikmatan tersebut, dan mengokohkan mereka dengan bukti-buki
tersebut tentang adanya pencipta.
Perkara yang diminta
untuk dilihat dan dipikirkan adalah tentang al-zhill. Menurut al-Razi, makna
al-zhill adalah keadaan pertengahan antara terang-benderang dan gelap-gulita.
Keadaan tersebut terjadi pada waktu di antara terbitnya fajar hingga terbitnya
matahari.
Bahwa al-zhill yang
dimaksudkan ayat ini terjadi antara terbitnya fajar hingga terbitnya matahari,
dikemukakan oleh banyak mufassir. Menurut Ibnu Katsir, mereka adalah Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Abu al-Aliyah, Malik, Masruq, Mujahid, Said bin Jubair,
Ibrahim al-Nakhai, al-Dhahhak, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, al-Sudi, dan
lain-lain.
Beberapa mufassir
mengatakan bahwa al-zhill merupakan keadaan yang paling bagus. Tidak terlalu
gelap, namun juga tidak terlalu panas. Tentu ini merupakan kenikmatan yang luar
biasa bagi manusia sekaligus menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.
Kemudian Allah SWT
berfirman: Walaw syaa‘a laja'alahu saakin[an]
(dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu).
Kata saakin[an] dalam ayat ini bermakna daaim[an] mustaqarr[an] (tetap), tidak
dihapuskan oleh matahari. Demikian menurut Imam al-Qurthubi.
Penafsiran yang sama
juga dikemukakan Ibnu Katsir, yakni: daaim[an]
laa yazuulu (tetap, tidak menghilang). Menurut mufassir tersebut, ayat
ini sebagaimana firman Allah SWT: “Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu
terus-menerus sampai hari kiamat” (TQS. al-Qashash [28]: 71) dan
firman-Nya: “Katakanlah: "Terangkanlah
kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus-menerus sampai hari
kiamat” (TQS. al-Qashash [28]: 72).
Ini mengingatkan
kepada manusia tentang kekuasaan Allah SWT. Bahwa keadaan antara gelap-gulita
dan terang-benderang yang amat disenangi manusia itu sesungguhnya terjadi
karena kekuasaan Allah SWT. Seandainya Dia menghendaki, niscaya keadaan itu
akan terus berlangsung. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki lain. Keadaan itu
akan berakhir, ketika Allah SWT menjadikan matahari terbit. Kejadian itu terus
berulang seiring dengan pergantian siang dan malam. Semua itu jelas menunjukkan
kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.
Lalu Allah SWT
berfirman: Tsumma ja'alnaa al-syams 'alayhi
daliil[an] (kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas
bayang-bayang itu). Kata daliil berasal
dari kata dalalah. Menurut al-Asfahani, al-dalalah berarti segala sesuatu yang dapat
mengantarkan kepada pengetahuan terhadap sesuatu. Kata al-daliil merupakan bentuk mubaalaghah
(penyangatan) dari kata al-daali (bentuk
faa’il-nya, artinya: yang menunjukkan),
sebagaimana kata ‘aalim dengan 'aliim.
Dalam ayat ini
ditegaskan bahwa Allah SWT menjadikan matahari sebagai daliil. Menurut al-Qurthubi, itu berarti matahari menjadi hujjah wa burhaan (argumentasi dan bukti yang
nyata).
Masih menurut
al-Qurthubi, ayat ini memberikan makna: "Kami jadikan matahari
menghilangkan bayang-bayang tatkala kedatangannya menunjukkan bahwa bayangan
merupakan sesuatu dan bermakna. Sebab, sesuatu itu diketahui karena ada
lawannya. Seandainya tidak ada matahari, maka tidak ada bayangan. Dan
seandainya tidak ada cahaya, kegelapan tidak diketahui."
Kemudian dalam ayat
selanjutnya Allah SWT berfirman: Tsumma
qabadhnaahu ilaynaa qabadh[an] yasiir[an]
(kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang
perlahan-lahan). Dhamiir al-ghaaib (kata
ganti pihak ketiga, dia) dalam ayat ini merujuk kembali kepada al-zhill.
Demikian menurut al-Syaukani, dan para mufassir lainnya.
Menurut Ibnu Katsir,
kata yasiir[an] bermakna sahl[an] (mudah). Ayyub bin Musa juga
memaknainya: qaliil[an] faqaliil[an]
(sedikit demi sedikit, perlahan-lahan). Penafsiran senada juga dikemukakan
al-Zamakhsyari, yang menafsirkannya 'alaa mahl
(perlahan). Menurut al-Alusi, bermakna al-tadarruj
wa al-mahl (bertahap dan perlahan) untuk mengetahui waktu. Ini serupa
dengan makna firman Allah SWT: “Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” (TQS. al-Baqarah
[2]: 189).
Oleh karena itu, ayat
ini memberikan makna bahwa Allah SWT menarik al-zhill perlahan-lahan, hingga
matahari terbit. Hingga akhirnya, al-zhill tersebut lenyap sama sekali.
Demikianlah.
Pergantian siang dan malam merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Siapakah yang bisa membuatnya terus berjalan ribuan, bahkan jutaan tahun. Jelas
tidak ada yang bisa melakukan kecuali Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Patung-patung yang disembah orang kafir dan dijadikan sebagai tuhan, jelas
mustahil. Di samping itu, pergantian siang dan malam juga merupakan kenikmatan
dari Allah SWT. Bayangkan jika kehidupan hanya dilalui dengan malam yang
gelap-gulita, atau siang yang dipenuhi dengan terik matahari yang panas.
Sungguh, siapapun yang
memperhatikan semua itu dengan benar, pasti akan berkesimpulan tentang adanya
Sang Pencipta dan Pengatur alam raya. Dialah Allah SWT, yang wajib disembah
oleh seluruh manusia. WalLaah a'lam bi
al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Keadaan pertengahan
antara gelap-gulita pada malam hari dengan terik panas oleh matahari merupakan
tanda kebesaran Allah SWT sekaligus kenikmatan bagi manusia.
2. Orang yang
menggunakan akal dan penglihatannya dengan benar akan menghasilkan keimanan.
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar