Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 16 Agustus 2018

Memperhatikan Tanda Kekuasaan Allah SWT - TAFSIR al-Furqan: 45-46



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan oleh) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan al-zhill; dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikannya tetap, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu, kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (TQS. al-Furqan [25]: 45-46).

Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT amat banyak. Tak terhitung banyaknya. Bahkan di setiap obyek yang kita lihat dan kita dengar, di situ terdapat tanda kekuasaan Allah SWT. Maka, sungguh aneh jika ada manusia yang mengingkari keberadaan-Nya, atau salah memahami siapa tuhan sebenarnya yang menjadi Pencipta dan Pengatur alam semesta.

Ayat ini adalah di antara ayat yang menunjukkan kepada manusia di antara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.

Memanjangkan Al-Zhill

Allah SWT berfirman: Alam tara ilaa Rabbika kayfa madda al-zhill (apakah kamu tidak memperhatikan [penciptaan] Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan al-zhill). Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang orang-orang yang tidak menggunakan pendengaran dan akalnya, sehingga perilaku hidup mereka seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat daripada binatang tersebut. Ayat sebelumnya lagi diberitakan tentang adanya orang-orang yang menjadikan tuhan atas dasar hawa nafsunya, atau menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.

Kemudian dalam ayat ini ditunjukkan tentang salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tanda tersebut dapat diindera oleh siapapun, sehingga orang yang menggunakan akal dan pendengarannya dengan benar akan menghasilkan keimanan tentang Allah SWT. Ayat ini diawali dengan frasa: Alam tara (tidakkah kamu melihat).

Huruf hamzah merupakan istifhaam (kalimat tanya), memberikan makna li al-taqriir (untuk mengukuhkan). Sedangkan tara merupakan al-fi'l al-mudhaari' yang berasal dari kata al-ru'yah. Menurut al-Qurthubi, kata al-ru‘yah di sini bisa jadi merupakan al-ru‘yah dengan al-'ayn (melihat dengan penglihatan mata); bisa juga dengan al-‘ilm (pengetahuan). Kedua makna tersebut dapat digunakan.

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, mukhaathab atau pihak yang diseru oleh ayat ini, adalah Rasulullah . Meskipun demikian, itu berlaku umum. Sebab, maksud ayat ini adalah memberikan penjelasan tentang nikmat Allah yang berupa al-zhill. Seluruh mukallaf termasuk dalam cakupannya karena mereka wajib diingatkan dengan kenikmatan tersebut, dan mengokohkan mereka dengan bukti-buki tersebut tentang adanya pencipta.

Perkara yang diminta untuk dilihat dan dipikirkan adalah tentang al-zhill. Menurut al-Razi, makna al-zhill adalah keadaan pertengahan antara terang-benderang dan gelap-gulita. Keadaan tersebut terjadi pada waktu di antara terbitnya fajar hingga terbitnya matahari.

Bahwa al-zhill yang dimaksudkan ayat ini terjadi antara terbitnya fajar hingga terbitnya matahari, dikemukakan oleh banyak mufassir. Menurut Ibnu Katsir, mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu al-Aliyah, Malik, Masruq, Mujahid, Said bin Jubair, Ibrahim al-Nakhai, al-Dhahhak, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, al-Sudi, dan lain-lain.

Beberapa mufassir mengatakan bahwa al-zhill merupakan keadaan yang paling bagus. Tidak terlalu gelap, namun juga tidak terlalu panas. Tentu ini merupakan kenikmatan yang luar biasa bagi manusia sekaligus menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.

Kemudian Allah SWT berfirman: Walaw syaa‘a laja'alahu saakin[an] (dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu). Kata saakin[an] dalam ayat ini bermakna daaim[an] mustaqarr[an] (tetap), tidak dihapuskan oleh matahari. Demikian menurut Imam al-Qurthubi.

Penafsiran yang sama juga dikemukakan Ibnu Katsir, yakni: daaim[an] laa yazuulu (tetap, tidak menghilang). Menurut mufassir tersebut, ayat ini sebagaimana firman Allah SWT: “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus-menerus sampai hari kiamat” (TQS. al-Qashash [28]: 71) dan firman-Nya: “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus-menerus sampai hari kiamat” (TQS. al-Qashash [28]: 72).

Ini mengingatkan kepada manusia tentang kekuasaan Allah SWT. Bahwa keadaan antara gelap-gulita dan terang-benderang yang amat disenangi manusia itu sesungguhnya terjadi karena kekuasaan Allah SWT. Seandainya Dia menghendaki, niscaya keadaan itu akan terus berlangsung. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki lain. Keadaan itu akan berakhir, ketika Allah SWT menjadikan matahari terbit. Kejadian itu terus berulang seiring dengan pergantian siang dan malam. Semua itu jelas menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT.

Lalu Allah SWT berfirman: Tsumma ja'alnaa al-syams 'alayhi daliil[an] (kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu). Kata daliil berasal dari kata dalalah. Menurut al-Asfahani, al-dalalah berarti segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada pengetahuan terhadap sesuatu. Kata al-daliil merupakan bentuk mubaalaghah (penyangatan) dari kata al-daali (bentuk faa’il-nya, artinya: yang menunjukkan), sebagaimana kata ‘aalim dengan 'aliim.

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah SWT menjadikan matahari sebagai daliil. Menurut al-Qurthubi, itu berarti matahari menjadi hujjah wa burhaan (argumentasi dan bukti yang nyata).

Masih menurut al-Qurthubi, ayat ini memberikan makna: "Kami jadikan matahari menghilangkan bayang-bayang tatkala kedatangannya menunjukkan bahwa bayangan merupakan sesuatu dan bermakna. Sebab, sesuatu itu diketahui karena ada lawannya. Seandainya tidak ada matahari, maka tidak ada bayangan. Dan seandainya tidak ada cahaya, kegelapan tidak diketahui."

Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah SWT berfirman: Tsumma qabadhnaahu ilaynaa qabadh[an] yasiir[an] (kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan). Dhamiir al-ghaaib (kata ganti pihak ketiga, dia) dalam ayat ini merujuk kembali kepada al-zhill. Demikian menurut al-Syaukani, dan para mufassir lainnya.

Menurut Ibnu Katsir, kata yasiir[an] bermakna sahl[an] (mudah). Ayyub bin Musa juga memaknainya: qaliil[an] faqaliil[an] (sedikit demi sedikit, perlahan-lahan). Penafsiran senada juga dikemukakan al-Zamakhsyari, yang menafsirkannya 'alaa mahl (perlahan). Menurut al-Alusi, bermakna al-tadarruj wa al-mahl (bertahap dan perlahan) untuk mengetahui waktu. Ini serupa dengan makna firman Allah SWT: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” (TQS. al-Baqarah [2]: 189).

Oleh karena itu, ayat ini memberikan makna bahwa Allah SWT menarik al-zhill perlahan-lahan, hingga matahari terbit. Hingga akhirnya, al-zhill tersebut lenyap sama sekali.

Demikianlah. Pergantian siang dan malam merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Siapakah yang bisa membuatnya terus berjalan ribuan, bahkan jutaan tahun. Jelas tidak ada yang bisa melakukan kecuali Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Patung-patung yang disembah orang kafir dan dijadikan sebagai tuhan, jelas mustahil. Di samping itu, pergantian siang dan malam juga merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Bayangkan jika kehidupan hanya dilalui dengan malam yang gelap-gulita, atau siang yang dipenuhi dengan terik matahari yang panas.

Sungguh, siapapun yang memperhatikan semua itu dengan benar, pasti akan berkesimpulan tentang adanya Sang Pencipta dan Pengatur alam raya. Dialah Allah SWT, yang wajib disembah oleh seluruh manusia. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Keadaan pertengahan antara gelap-gulita pada malam hari dengan terik panas oleh matahari merupakan tanda kebesaran Allah SWT sekaligus kenikmatan bagi manusia.
2. Orang yang menggunakan akal dan penglihatannya dengan benar akan menghasilkan keimanan.

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam